بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Senin – Kitab Ad Daa’ wa Ad Dawaa’
Karya: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, Ph.D Hafidzahullah
Al Khor, 19 Rabi’ul Awal 1446 / 23 September 2024.
Macam-macam yang Dicintai
📖 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:
Dua Perkara yang Dicintai
Perkara yang dicintai terdiri dari dua bagian:
1. Perkara yang dicintai karena dirinya (mahbub li nafsihí).
2. Perkara yang dicintai karena yang lain (mahbub li ghairibi).
Perkara yang dicintai karena yang lain pasti berakhir pada perkara yang dicintai karena dirinya (mahbub li nafsihi). Hal ini untuk mencegah terjadinya lingkaran setan. Segala sesuatu yang dicintai selain dari Allah merupakan sesuatu yang dicintai karena yang lain (mahbub li ghairibi). Tidak ada sesuatu yang dicintai karena dirinya (dzatnya), melainkan Allah semata. Segala sesuatu yang dicintai selain Allah hanyalah mengikuti kecintaan kepada Allah, seperti kecintaan terhadap para Malaikat Nabi, dan wali-Nya, maka kecintaan tersebut mengikuti kecintaannya kepada Allah ﷻ dan itu termasuk syarat mencintai-Nya. Sebab, mencintai Allah mewajibkan mencintai juga apa yang dicintai-Nya. Perkara ini wajib diperhatikan karena merupakan pembeda antara kecintaan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang membahayakan.
Ketahuilah, bahwasanya tidak ada yang dicintai karena dzatnya selain yang kesempurnaan, uluhiyyah, rububiyyah, dan kekayaan-Nya merupakan ciri dari dzat-Nya. Adapun selain-Nya, maka ia dibenci dan tidak disukai karena meniadakan dan bertentangan dengan hal-hal yang dicintai-Nya. Kebencian tersebut sangat bergantung pada kuat dan lemahnya ketiadaan tadi. Apa saja yang meniadakan hal-hal yang dicintai-Nya akan sangat dibenci, baik berupa benda, sifat, perbuatan, keinginan, dan semisalnya.
Inilah neraca yang adil untuk menimbang kesesuaian, penyelisihan, loyalitas, dan permusuhan terhadap Allah. Jika kita melihat seseorang mencintai perkara yang Allah benci, serta membenci perkara yang Allah cintai, maka kita mengetahui bahwa dalam diri orang tersebut terdapat pertentangan terhadap-Nya, sesuai dengan tingkatan perbuatannya tadi.
Sebaliknya, jika kita melihat seseorang yang mencintai apa yang Allah cintai, serta membenci apa yang Allah benci; bahkan untuk segala sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah, dia lebih mencintai dan mengedepankannya. Begitu pula sebaliknya, segala sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah, dia lebih membencinya dan menjauhinya.
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa dalam diri orang tersebut terdapat loyalitas kepada-Nya, sesuai dengan tingkatan perbuatannya tadi.
Berpegang teguhlah pada pokok ini, baik untukmu maupun untuk orang lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah (perwalian, loyalitas) adalah kesesuaian seorang hamba dengan Allah, Yang Maha Memelihara lagi Maha Terpuji, dalam perkara-perkara yang Dia cintai dan Dia benci. Bukan dengan banyaknya puasa, shalat, atau memaksakan diri melaksanakan banyak ibadah.
Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah masih menyambung tentang mahabah. Kesyirikan dimulai dari mahabah. Dan perkara cinta ini penting, terutama kecintaan kepada Allah ﷻ, maka ini sangat penting dalam hal kecintaan yang telah dijelaskan tadi.
Ini dianggap sebagai timbangan yang adil. Kalau seseorang mampu menjaga timbangan dalam perkara ini, maka seseorang akan menjadi istiqomah, semakin khusyuk kepada Allah ﷻ. Dan ini telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Dan kita tahu bahwa cinta adalah ruhnya amal dan kita akan tergerak mengerjakan sesuatu karena cinta. Dan seorang yang terbiasa karena cinta, maka dia akan menyesal jika meninggalkannya. Cinta inilah penggerak amal. Dan ini berlaku pada Cinta tabiat.
Perkara yang dicintai terdiri dari dua bagian:
1. Perkara yang dicintai karena dirinya (mahbub li nafsihí). Hanya untuk Allah ﷻ. Karena kesempurnaan sifat-sifat Allah ﷻ, keagungan dan kesempurnaanNya. Dicintai karena Dzat Nya, maka hanya Allah ﷻ yang dicintai secara DzatNya. Dan makhluk itu lemah dan fakir.
Oleh karena itu cinta punya dasar dan cabang. Dasarnya adalah cinta kepada Allah dan cabangnya adalah mencintai apa yang dicintai Allah ﷻ, baik mencintai seseorang karena taat, amanah, pemaaf dan lainnya. Kita mencintainya karena Allah ﷻ cinta kepada orang yang selalu dalam kebaikan itu.
Maka, kita seyogyanya selalu berdo’a do’a nabi Daud:
وَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كَانَ مِنْ دُعَاءِ دَاوُدَ يَقُوْلُ : اللَّهُمَّ ! إِنِّي أَسْألُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ ، وَالعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ . اللَّهُمَّ ! اِجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِليَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِي ، وَمِنَ المَاءِ البَارِدِ
رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَقاَلَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ
Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Di antara doa Nabi Daud adalah ‘ALLOHUMMA INNI AS-ALUKA HUBBAK, WA HUBBA MAYYUHIBBUK, WAL ‘AMALA ALLADZI YUBALLIGHUNII HUBBAK. ALLOHUMMAJ’AL HUBBAKA AHABBA ILAYYA MIN NAFSII WA AHLII WA MINAL MAA-IL BAARID’ (artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk selalu cinta kepada-Mu, mencintai orang yang selalu mencintai-Mu, dana mal yang dapat menyampaikanku untuk mencintai-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta kepada-Mu melebihi cintaku terhadap diriku sendiri, keluarga, dan air yang dingin).” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Oleh karena itu seseorang hendaknya mengetahui sifat-sifat Allah ﷻ yang agung tersebut. Setiap kali bertambah pengetahuan tentang keagungan Allah ﷻ maka semakin cinta kepada Allah ﷻ.
Apabila ia mengetahui asal cinta Allah adalah sumber segala cinta, maka dia akan semakin mencintai apa yang dicintai Allah ﷻ.
Ini adalah timbangan yang adil karena semua bersumber dari kecintaan kepada Allah ﷻ. Inilah manisnya iman. Kalau benar dia mencintai Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan mencintainya dan dia akan mencintai siapa saja yang Allah ﷻ cintai. San sebaliknya, akan membenci apa saja yang Allah ﷻ benci.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”
2. Perkara yang dicintai karena yang lain (mahbub li ghairihi).
📖 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:
Perkara yang dicintai karena yang lainnya (mahbub li ghairihi) terbagi menjadi dua:
a . Segala perkara yang mendatangkan kenikmatan bagi seseorang yang mencintainya, dengan cara mengetahui dan memperolehnya.
b. Segala perkara yang mendatangkan penderitaan bagi seseorang yang mencintainya, tetapi ia bertahan menanggungnya karena hal itu mengantarkan kepada perkara yang dicintainya, seperti halnya meminum obat-obatan yang tidak disukai.
Allah berfirman:
كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ لَّـكُمۡۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216)
Allah mengabarkan bahwa peperangan itu dibenci, tetapi hal ini baik bagi mereka karena ia mengantarkan kepada perkara yang sangat dicintai dan paling bermanfaat. Kebencian ini muncul karena jiwa mencintai kesenangan, ketenangan, dan kemewahan. Padahal, semua itu termasuk keburukan karena dapat menyebabkan hilangnya perkara yang dicintai.
Orang yang berakal tidak memandang nikmatnya kecintaan yang sementara lalu mengedepankannya, juga deritanya kebencian yang sementara lalu menjauhinya karena tindakan tersebut mungkin berdampak buruk bagi dirinya; bahkan bisa jadi mendatangkan puncak kepedihan sekaligus menghilangkan kelezatan yang luar biasa. Akibatnya, orang yang berakal di dunia ini senantiasa berupaya menanggung beban berat lagi dibenci untuk mendapatkan kelezatan sesudahnya, meskipun kelezatan tersebut sebenarnya akan terputus.
Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :
– Seorang tersebut merasakan nikmat tatkala mendapatkannya.
– Apa yang dia rasakan derita tetapi menahannya untuk sesuatu yang dicintai.
Sepatutnya bagi yang berakal melihat efek ke depan. Jangan hanya kesenangan yang segera… Karena jiwa senang yang nyantai… Jika dituruti maka akan sedikit kebaikan baginya.
Maka perlu ada perlawanan dari jiwa meskipun dengan mengorbankan harta dan perasaan, karena Inilah tabiat manusia. Ingin yang nyantai dan malas berkorban… Seperti malas bangun pagi disaat ngantuk, membayar mahal biaya haji, dan lainnya…
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم