Kiat Pertama:Mengikhlaskan Niat Dalam Menuntut Ilmu
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itlllah agama yang lunts.” (QS. AI-Bayyinah: 5)
Kiat Kedua: Memohon Ilmu Yang Bermanfaat Kepada Allah Ta’ala
Dan di antara do’a yang Rasulullah shallallaahll ‘alaihi wa sallam ucapkan adalah:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Humaidi (1/143, no. 299), Ahmad (VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 110), dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 102), dari Shahabivah Ummu Salamah radhiyallaahu ’anha. Lihat Shahiih lbnu Majah (1/152, no. 753).]
Juga do’ a beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599) dan ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu’anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2845) dan Shahiih Sunan lbni Majah (no. 203).]
Kiat Ketiga: Bersungguh-Sungguh Dalam Menuntut Ilmu Dan Rindu Untuk mendapatkannya
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya,
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
[Diwaan lmam asy-Syafi’i (hal. 378). Cet. Daml Fikr, th. 1415 H.]
Kiat Keempat: Menjauhkan Diri Dari Dosa Dan Maksiyat Dengan Bertaqwa Kepada Allah Azza Wa Jalla
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah menjelaskan dalam kitabnya ad-Daa’ wad Dawaa’ bahwa seseorang tidak mendapatkan ilmu disebabkan dosa dan maksiyat yang dilakukannya. Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiyat.
Seorang Muslim dan Muslimah harus menjauhi dosa-dosa besar, apalagi ia seorang penuntut ilmu, oleh sebab itu kita harus menjauhi dosa dan maksiyat. Dosa yang paling besar adalah syirik, durhaka kepada kedua orang tua, melakukan bid’ah, kemudian menjauhkan dosa-dosa besar seperti muamalah riba dengan berbagai macamnya (di antaranya bunga bank, renten, dsb), minum khamr (minuman keras), narkoba, merokok, mencukur jenggot, makan dan minum dari usaha yang haram, isbal (memanjangkan kain atau celana melebihi mata kaki bagi laki-laki), tabarruj (wanita membuka aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya), durhaka kepada suami, namimah (mengadu domba), dusta (berbohong), ghibah (membicarakan aib seorang Muslim), menggunjing, menuduh seorang Muslim dengan tuduhan yang tidak benar, memfitnah seorang Muslim, dan lain sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Di antara hal yang sangat mengherankan bahwa ada seseorang yang mudah menjaga dirinya dan berhati-hati dari makan makanan yang haram, berbuat berzina, mencuri, minum khamr, melihat kepada sesuatu yang haram, dan selainnya. Namun, ia sangat sulit untuk menahan gerak lisannya hingga Anda dapat melihat seseorang yang dianggap faham agama, zuhud, dan banyak beribadah, ia berbicara dengan kata-kata yang tanpa sadar dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala. Yang dengan satu kalimat darinya ia dimasuk-kan ke dalam Neraka yang dalamnya lebih jauh dari-pada jarak antara timur dan barat.”
[ad-Daa’ wad Dawaa’ (hat 244), tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin’ Ali ‘Abdul Hamid.]
Perhatikanlah, sesungguhnya dosa dan maksiyat dapat menghalangi ilmu yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan, dan mendatangkan siksa Allah Ta’ ala.
Kiat Kelima: Tidak Boleh Sombong Dan Tidak Boleh Malu Dalam Menuntut Ilmu
Ketahuilah bahwa sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam dirinya.
Ummul Mukminin ‘Aisyah (wafat th. 58 H) radhiyallaahu’anha pemah berkata tentang sifat para wanita Anshar,
”Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahiihnya kitab al-ilmu bab al-Hayaa’ fil ‘ilmi.]
Para wanita Anshar radhiyallaahu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallaahu ‘anha pemah bertanya kepada RasuIullah, ”Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjima’)?” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Apabila ia melihat air.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 130).]
Maksudnya seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi berjima’ dan keluar air mani. Ia dapati air mani setelah terbangun dari tidumya. Ini menunjukkan bahwa wanita pun mengeluarkan air mani sebagaimana halnya laki-laki. Penyerupaan anak kepada ayah atau ibunya tergantung pada air mani keduanya, mana yang lebih unggul, maka anak itu akan mirip dengannya.
Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahima-hullaah mengatakan, “Tidak akan mendapatkan ilmu orang yang malu dan orang yang sombong.”
[Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahiihnya kitab al-’Ilmu bab al-Hayaa’ fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (1/534-535, no. 879).]
Kiat Keenam: Mendengarkan Baik-Baik Pelajaran Yang Disampaikan Ustadz, Syaikh, Atau Guru
Para Salafush Shalih adalah manusia yang sangat antusias terhadap ilmu. Apabila seorang syaikh atau guru menyampaikan pelajaran, mereka pun mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Imam adz-Dzahabi (wafat th. 748 H) rahimahullaah menyebutkan dalam kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ dan Tadzkiratul Huffaazh bahwa Ahmad bin Sinan (wafat th. 256 H) rahimahullaah berkata, “Dalam majelis ‘Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) tidak ada seorang pun yang berbicara, tidak ada pensil yang diraut, dan tidak ada seorang pun yang berdiri. Seolah-olah di atas kepala mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang shalat.”
[Tadzkiratul Huffa£lzh (1/242, no. 313) cet. Darul Kutub aJ-’Ilmiyyah.]
Kiat Ketujuh: Diam Ketika Pelajaran Disampaikan
Ketika belajar dan mengkaji ilmu syar’i kita tidak boleh berbicara yang tidak bermanfaat, tanpa ada keperluan, dan tidak ada hubungannya dengan ilmu syar’i yang disampaikan, tidak boleh ngobrol. Haruslah dibedakan antara majelis ilmu dan majelis yang lainnya; antara tempat kita menuntut ilmu syar’i dengan tempat yang lain, apalagi yang disampaikan adalah ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Secara umum Allah menyebutkan tentang hal ini dalam firman-Nya,”Dan apabila dibacakan Al-Qur-an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raaf: 204)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6018, 6136), Muslim (no. 47), dan at-Tirmidzi (no. 2500), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Barangsiapa yang diam, maka ia akan selamat.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/159, 177), at-Tirmidzi (no. 2301), dan ad-Darimi (lI/299), dari Shahabat ‘ Abdullah bin’ Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 536) dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6367).]
Kiat Kedelapan: Berusaha Memahami Ilmu Syar’i Yang Disampaikan
Dalam memahami pelajaran, manusia berbeda-beda keadaannya, ada yang langsung tanggap dan memahami pelajaran yang disampaikan, ada pula yang lambat. Namun, kita harus senantiasa berusaha memahami dan memohon kepada Allah agar diberikan pemahaman. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.]
Shahabat’Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berdo’ a:
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman (yang benar).”
[Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam As-Sunnah (I/368, no. 797) dan al-Laalikai dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1704). AI-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan sanadnya shahih dalam Fat-hul Baari (I/48).]
Kiat Kesembilan: Menghafalkan Ilmu Syar’i Yang Disampaikan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang rnernbawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2658), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.]
Dalarn hadits tersebut Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’ a kepada Allah agar Dia memberikan cahaya pada wajah orang-orang yang mendengar, memahami, menghafal, dan mengamalkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka, kita pun diperintahkan untuk menghafalkan pelajaran-pelajaran yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kiat Kesepuluh: Mengikat Ilmu Atau Pelajaran Dengan Tulisan
Ketika belajar, seorang penuntut ilmu harus mencatat pelajaran, poin-poin penting, atau berbagai dalil bagi suatu permasalahan yang dibawakan oleh syaikh atau gurunya. Tujuannya agar ilmu yang disampaikannya tidak hilang dan terus tertancap diingatannya setiap kali ia mengulangi pelajarannya. Karena daya tangkap atau kemampuan menghafal dan memahami pelajaran berbeda antara satu orang dengan yang lain-nya. Selain itu, dengan mencatat pelajaran ia dapat memahami dan menghafalkannya.
Adanya catatan atau alat tulis serta buku tulis mempakan bekal seorang penuntut ilmu untuk memperoleh ilmu sebagaimana hal itu telah diisyaratkan oleh imam asy-Syafi’i rahimahullaah.
Rasulullah shallallaahu ‘ alaihi wa sallam bersabda,
“Ikatlah ilmu dengan tulisan.”
[Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘ Abdil Barr dalam al-Jaami’ (1/306, no. 395), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallanhu’anhu. Lihat takhrij lengkapnya dalam kitab Silsilah ash-Shahiihah (no. 2026) dan Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4434).]
Kiat Kesebelas: Mengamalkan Ilmu Syar’i Yang Telah Dipelajari
Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah untuk diamalkan, bukan sekedar untuk dihafalkan. Para ulama menasehati kita bahwa menghafal ilmu dengan cara mengamalkannya. Hendaklah seorang penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk menghafalkan ilmu syar’i ini dengan mengamalkannya dan ittiba’. Sebagian Salaf mengatakan, “Kami biasa memohon bantuan dalam menghafalkan ilmu dengan cara mengamalkannya.”
[Lihat kitab Miftaah Daaris Sa’aadah (1/344) dan lqtidha’ al-’llmi al-’Amal (no. 149).]
Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai pengantar kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu tersebut. Dengan demikian, maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan untuk diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu, kemuliaannya, dan ganjaran pahalanya yang besar.
[Kaifa Tatahammas li Thalabil ‘Ilmi Syar’i (hal. 74),]
Allah Ta’ ala berfirman:
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105)
Dan Surga diwariskan bagi orang yang mengamalkan Islam dengan benar, sebagaimana firman-Nya:
“Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar kita mengamalkan ilmu yang sudah diketahui (dipelajari), beliau bersabda,
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan; tentang hartanya darimana ia peroleh dan ke mana ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan’ letihnya-untuk apa ia habiskan.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), dari Shahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid al-Aslami radhiyallaahu ‘anhu, At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan shahih.”]
Kiat Kedua belas: Mendakwahkan Ilmu
Ilmu syar’i yang telah kita peroleh dan fahami bukanlah untuk kita sendiri. Namun, kita harus mendakwahkannya.
Dakwah ini harus dengan mengetahui syari’at Allah ‘Azza wa Jalla sehingga dakwah tersebut tegak di atas ilmu dan bashirah, berdasarkan firrnan Allah Ta’ala,
“Katakanlah (Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud bashirah dalam dakwah adalah seorang da’i harus mengetahui hukum syar’i, cara berdakwah, dan mengetahui keadaan orang yang menjadi objek dakwah.
[Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 22).]
Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita karena Allah Ta’ ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6)
Mengenai pengertian ayat ini ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Didik dan ajarkanlah mereka.”
Ibnu ‘Abbas (wafat th. 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah, takutlah berbuat maksiat kepada-Nya, dan suruhlah keluarga kalian berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari Neraka.”
Maraji’: Makalah Daurah Muslimah X di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Sabtu, 24-25 Rabiul Akhir 1428/ 12-13 Mei 2007 (Baiturrahmah)
Artikel: assunnah-qatar.com