Assunnah Qatar

Kegiatan Kajian Melayu Assunnah Qatar

Pada kisah Nabi Musa dan Khidir ‘alaihimussalam didapatkan faedah-faedah yang banyak, bahkan dikatakan seandainya aku menghitungnya, bisa ada seratus lebih faedahnya dan diantara faedahnya:
1. Bagaimana perjalanan dalam menuntut ilmu.
2. Ilmu didapatkan dengan belajar dan mencari tambahan ilmu adalah tanda-tanda kebaikan.
3. Sabar dalam menuntut ilmu dan tidak malas. Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata: “Saudaraku, tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya yaitu kecerdasan, semangat, sungguh-sungguh, berkecukupan, bersahabat (belajar) dengan ustadz (guru), dan membutuhkan waktu yang lama.”
4. Tidak mengaku menguasai sesuatu. Nabi Musa saat ditanya Bani Israil siapa yang paling alim, Musa menjawab saya. Meskipun posisi Musa menjawab adalah benar, karena Nabi Musa tidak mengembalikan ilmunya kepada Allâh ﷻ.
5. Berusaha mencari Syaikh atau guru yang alim yang mengamalkannya. Karena iman adalah ucapan dan amalan.
6. Allâh ﷻ memerintahkan untuk duduk-duduk dengan orang yang berdzikir kepada Allâh ﷻ, bertahlil, memuji-Nya, bertasbih, bertakbir dan mereka meminta kepada Allâh ﷻ siang dan malam, sama saja meskipun mereka orang yang fakir, lemah atau tidak berkedudukan.

Hadits 1:

360. Dari Anas radhiyallahu’anhu, berkata: “Abu Bakar berkata kepada Umar radhiallahu ‘anhuma setelah wafatnya Rasulullah ﷺ : “Marilah berangkat bersama kita ke tempat Ummu Aiman agar kita dapat berziarah padanya, sebagaimana Rasulullah ﷺ juga menziarahinya. Setelah keduanya sampai di tempatnya, Ummu Aiman menangis, lalu keduanya bertanya: “Apakah yang menyebabkan engkau menangis? Tidakkah engkau ketahui bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik untuk Rasulullah ﷺ ?” Ummu Aiman lalu menjawab: “Sesungguhnya saya bukannya menangis karena saya tidak mengerti bahwa apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik untuk Rasulullah ﷺ itu, tetapi saya menangis ini ialah karena sesungguhnya wahyu itu kini telah terputus dari langit.” Jawaban Ummu Aiman menyebabkan tergeraknya hati kedua orang tersebut untuk menangis lalu kedua orang itu pun mulai pula menangis bersama Ummu Aiman.” (Riwayat Muslim no. 2454)

Di antara kelemahan setan adalah mereka tidak bisa menguasai hamba Allah yang sholeh yang bagus iman dan akidahnya.

Dan ingat, tipu daya setan itu lemah,

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“Sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah” (QS. An Nisa’: 76).

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga.” (QS. Al Isra’: 65).

Allah mengabarkan bahwa musuh-Nya tidak akan memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan bertawakal kepada-Nya. Allah befirman dalam surat Al-Hijr,

قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ قَالَ هٰذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيْمٌ اِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطٰنٌ اِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغٰوِيْنَ

“Iblis berkata, Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. Allah befirman, ‘Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Akulah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 39-42).

Tafakur termasuk ibadah yang agung. Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Adzariyat ayat 21:

وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ

dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Siapakah kita? Tentu sebagian besar kita akan menjawab Hamba Allah. Dan ini tidak salah…

Perkataan khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah sangatlah relevan dalam hal ini, yaitu:

رَحِمَ اللهُ امرءاً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ

“Semoga Allah Merahmati seseorang yang mengetahui kapasitas dirinya”

Seseorang yang mengetahui kadar dirinya, tidak akan bersikap sombong, menyayangi orang lain dan menghormati mereka. Dia akan sadar, ada yang lebih besar dan tinggi darinya.

Kalau dia tahu statusnya sebagai hamba, maka ia akan tahu tanggung jawabnya terhadap Tuhanya. Kalau dia sebagai kepala keluarga, dia akan sadar akan tanggung jawab terhadap keluarganya, kalo dia sebagai pekerja, dia akan paham akan tanggung jawabnya, dan seterusnya…

Hadits dhaif dengan makna yang benar:

“Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.”

Rasulullah ﷺ menghendaki kita, kaum muslimin, untuk punya budaya tafakur yang akan bisa mengantarkan kita kepada kemajuan, kemanfaatan, kebaikan, ketaatan, keimanan, dan ketundukan kepada Allah Ta’ala.

F. Peringatan Dan Rayuan

Al-Quran dan Sunnah datang memberi peringatan terbaik untuk jadi pedoman bagi manusia. Bahwa genderang perang sudah ditabuh Iblis untuk benar-benar menyesatkan keturunan Adam p sebagai bentuk kepuasannya dalam melampiaskan dendam lama. Allâh ﷻ berfirman:

وَمَا كَانَ لَهٗ عَلَيْهِمْ مِّنْ سُلْطَانٍ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يُّؤْمِنُ بِالْاٰخِرَةِ مِمَّنْ هُوَ مِنْهَا فِيْ شَكٍّ ۗوَرَبُّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ ࣖ .

Dan tidak ada kekuasaan (Iblis) terhadap mereka, melainkan hanya agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya akhirat dan siapa yang masih ragu-ragu tentang (akhirat) itu. Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu. (QS. Saba: 21)

قَالَ فَالْحَقُّۖ وَالْحَقَّ اَقُوْلُۚ لَاَمْلَئَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ

“Allah berfirman: “Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Ku-katakan”. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka kesemuanya”. (QS. Shad: 84-85)

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيْهِمْۗ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطٰنُ اِلَّا غُرُوْرًا وَمَنۡ يَّتَّخِذِ الشَّيۡطٰنَ وَلِيًّا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ فَقَدۡ خَسِرَ خُسۡرَانًا مُّبِيۡنًا

“Siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”. (QS. An-Nisa: 119-120)

Allâh ﷻ dengan rahmat dan kasih sayang-Nya mengingatkan keturunan Adam akan permusuhan Iblis yang belum selesai. Peperangan belum usai. Iblis dan pasukannya akan senantiasa terus mencari mangsa manusia-manusia lalai, siang dan malam tanpa lelah, usia yang panjang ia benar-benar manfaatkan untuk menggoda anak Adam, agar dijadikan pengikut yang bernasib sama menghuni negri yang mengerikan.

G. Negri Perantauan

Sejatinya dunia ini merupakan negri perantauan. Semenjak ayah kita Adam alaihissalam menginjakan kaki di muka bumi, maka semenjak itulah sifat ujian berlaku bagi beliau dan anak cucu keturunannya. Setiap orang yang merantau akan selalu ingat dengan kampung halaman, dan berbekal untuk pulang. Dunia bukan negri kekelalan, setiap yang datang sudah membawa catatan nasib dan jatah ajal masing-masing. Ada yang bahagia dan tidak sedikit yang sengsara. Ada yang menyudahi kehidupan dengan kebaikan, juga tidak sedikit yang mati diatas keburukan dan kekafiran. Semuanya berjalan dalam rahasia Allah dan suratan yang sudah tersimpan. Allâh ﷻ berfirman:

وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُۥ بِمِقْدَارٍ

“Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”. (QS. Ar-Ra’ad: 8)

Ayat ini merupakan dalil adanya takdir. Hal itu sesuai catatan takdir di lauhul mahfudz.

فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَّسَعِيْدٌ

“Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia”. (QS. Hud: 105)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak seorang pun diantara kalian kecuali telah dicatat baginya tempat kembalinya disurga atau di neraka”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kita tidak bersandar saja kepada Takdir? Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak, tapi beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan untuk beramal sesuai takdirnya diciptakan”. ( HR. Bukhari (no. 4947).

Manusia dan kehidupan diciptakan beragam, seperti firman Allah ta’aala:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ – ٤٩

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Az Zariyat: 49).

Faedah ayat:
1. Allah menciptakan makhluk yang beragam
2. Makna mafhum mukholafah [Makna kebalikan dari hukum yang dilafadzkan] yaitu yang tidak beragam hanyalah Allah ta’alaa.
3. Keberagaman ditujukan agar kita bisa mengambil pelajaran.

Perbedaan ada dua: masalah dunia [kauni] dan masalah syariat.

Allah ta’aala berfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. [QS Ar-Ruum ayat 21]

Faedah ayat:
1. Allah menciptakan sesuatu berpasangan agar kita bersyukur dan menjadikan pelajaran.
2. Allah ta’aala menciptakan adanya kebaikan dan keburukan, agar kita lebih bersyukur telah dipilihkan sesuatu yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk.

Dalam masalah syariat ada tiga:
1. Dalam masalah ushul agama [Aqidah]; seperti banyaknya agama. Ini adalah masalah iradah Al-Kauniyah, yang telah Allah Ta’aala kehendaki.
Dan dalam masalah aqidah ini sebenarnya tidak boleh berbeda, semua harus di atas tauhid.
2. Cabang Agama. Ada nilai rahmat Allah ta’aala. Dan selama di atas pemahaman yang benar, maka ini harus Berlapang dada.
3. Tidak berpegang pada salah satu dari keduanya. Tidak ada dasarnya dan kita tidak boleh dalam posisi ini.

151. Allah menyatakan, “Sesungguhnya pemberian nikmat kami atas kalian dengan menghadap ke Ka’bah dan penyempurnaannya dengan dasar-dasar syariat serta nikmat-nikmat penyempurna, bukanlah sesuatu yang aneh dalam kebaikan Kami dan bukan pula yang pertama bahkan kami telah memberikan nikmat atas kalian dengan nikmat-nikmat dasar dan penyempurnanya, dan yang paling besar adalah Kami mengutus kepada kalian seorang Rasul yang mulia dari kalangan kalian, di mana kalian mengetahui garis keturunannya, kejujuran, amanah, kesempurnaan, dan ketulusannya.

“yang membacakan ayat-ayat kami kepadamu.” Ini mencakup segala ayat-ayatNya baik ayat Al-Qur’an maupun ayat-ayat lainnya, beliau membacakan kepada kalian ayat-ayat yang menjelaskan kebenaran dari kebatilan dan hidayah dari kesesatan, yang menunjukkan kepada kalian, pertama, tentang keesaan Allah dan kesempurnaanNya, kedua, tentang kebenaran rasulNya dan wajibnya beriman kepadanya, kemudian kepada segala hal yang dikabarkan olehnya berupa Hari pembalasan maupun hal-hal yang ghaib, hingga kalian memperoleh Hidayah yang sempurna dan ilmu yang meyakinkan.

“Dan menyucikan kamu,” maksudnya, menyucikan akhlak dan jiwa kalian dengan mendidiknya. Dengan akhlak yang mulia, dan membersihkannya dari akhlak yang tercela, dan demikian itu seperti menyucikan mereka dari kesyirikan kepada ketauhidan, dan riya kepada keikhlasan, dari kebohongan kepada kejujuran, dari penghianatan kepada amanah, dan dari kesombongan kepada kerendahan hati, dari akhlak yang buruk kepada akhlak yang luhur, dan dari saling benci, saling bermusuhan serta saling memutuskan hubungan kepada saling mencintai, saling bersilaturahmi, dan saling kasih mengasihi, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk penyucian.

Shalat lima waktu telah ditetapkan dalam waktu-waktu tertentu. Maka, shalat tidak boleh dilakukan sebelum masuknya waktu-waktu tersebut. Banyak orang yang tidak mengetahui masuknya waktu shalat, atau mungkin terlalu sibuk, sehingga tidak menyadari waktu shalat telah masuk. Karenanya, Allâh ﷻ mensyari’atkan Adzan, sebagai tanda masuknya waktu shalat.

🏷️ Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata : Barangsiapa yang secara sengaja sholat dan belum masuk waktunya, maka tidak sah. Dan dia terjerumus ke dalam dosa. Jika dia tidak sengaja, karena ada sangkaan sudah masuk, maka tiada dosa baginya, dan sholatnya dikategorikan sholat sunnah, dan dia harus mengulang sholatnya, karena syarat sholat adalah masuk waktunya.

Disyariatkan bagi para muadzin untuk segera melakukan adzan tepat pada waktunya. Agar bersama dengan lainnya, jika mengakhirkan, akan membuat kebingungan bagi kaum muslimin.

Adzan disyari’atkan pada tahun pertama hijriah.

Penyebab disyari’atkannya Adzan adalah saat kaum muslimin kesulitan mengetahui waktu-waktu shalat. Mereka bermusyawarah untuk membuat tanda masuknya waktu shalat. Tiba-tiba ‘Abdullah bin Zaid memimpikan Adzan tersebut dalam tidurnya. Mimpi itu kemudian dibenarkan oleh wahyu. (Hadits Riwayat Abu Dawud 499 – Hasan Shahih)

Bab 45. Berziarah Kepada Para Ahli Kebaikan, Duduk-duduk Dengan Mereka, Mengawani -Menemani- Mereka, Mencintai Mereka, Meminta Mereka Supaya Berziarah Ke Tempat Kita, Meminta Doa Dari Mereka Serta Berziarah Ke Tempat-tempat Yang Utama

Bab ini membahas tema lanjutan dari bab sebelumnya yang faedahnya, sahabat yang shalih bisa memberikan syafaat sahabatnya sehingga akan ditarik ke surga.

Sesuai hadits riwayat Muslim: Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.

Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka.

Para mukminin inipun MENGELUARKAN BANYAK SAUDARANYA yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.

Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.”….

Bab 12 – 3 – Mengobati Penyakit Hati dari Setan

Pada pembahasan yang lalu telah dijelaskan perintah meminta perlindungan kepada Allâh ﷻ dari godaan setan dengan berta’awudz.

Bacaan ta’awudz yang bisa dibaca,

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

“A’udzu billahis samii’il ‘aliim, minasy syaithoonir rojiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih”

(artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela).”

(HR. Abu Daud no. 775 dan Tirmidzi no. 242).

Allâh ﷻ berfirman :

وَاَعُوْذُ بِكَ رَبِّ اَنْ يَّحْضُرُوْنِ

“dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, agar mereka tidak mendekati aku.” (QS Al-Mukminun ayat 98).

Allah menyebutkan ayat tersebut (tentang perintah isti’adzah) setelah firman-Nya,

 اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ السَّيِّئَةَۗ نَحْنُ اَعْلَمُ بِمَا يَصِفُوْنَ

Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan (cara) yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan (kepada Allah). (Al-Mukminun: 96).

Firman Allâh ﷻ , “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raaf: 199).

Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar menolak kejahatan orang-orang yang bodoh dengan berpaling dari mereka, kemudian memerintahkan mereka dalam menolak kejahatan syetan dengan isti’adzah daripadanya.

Kita mungkin tak asing lagi dengan petikan ayat, “Kalian adalah umat terbaik,” yang diungkap dalam Surat Ali ‘Imran ayat 110.

Secara umum, ayat itu jelas ditujukan kepada umat Rasulullah ﷺ . Ayat di atas dikuatkan dengan sabda Rasulullah ﷺ : “Umatku dijadikan sebagai umat terbaik… (HR Ahmad).

Pertanyaannya kemudian, menyadarikah kita sebagai umat terbaik? Lantas di manakah sisi “terbaik” dan keistimewaannya?

Jika menilik lanjutan ayat di atas, maka kriteria umat terbaik, selain beriman kepada Allah, adalah memiliki kewajiban amar ma’ruf-nahi mungkar, alias memerintah kebaikan dan melarang kemungkaran, yang dilekatkan kepada mereka. Andai umat terdahulu beriman, dan amar ma‘ruf-nahi mungkar, niscaya mereka pun lebih baik dari umat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam…