Assunnah Qatar

Kegiatan Kajian Melayu Assunnah Qatar

Dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ibnu Mâjah juga para imam lainnya terdapat hadits dari Abu Ayyub al-Anshâri Radhiyallahu anhu . Dalam hadits itu diberitakan bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan:

عِظْنِي وَأَوْجِزْ وفي رواية عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ قَالَ: إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمِعِ الْيَأْسَ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

Berilah aku nasehat dengan ringkas! (dalam riwayat lain) Ajarilah aku dengan ringkas! Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali (di kemudian hari). Dan kumpulkan rasa putus asa dari apa yang di miliki orang lain.”

📖 HR. Imam Ahmad, no. 23498 dan Ibnu Majah, no. 4171. Lihat as-Shahihah, no. 401

Sungguh bahagia orang yang menjadikan petuah dan wasiat Rasûlullâh sebagai panduan hidupnya. Hadits di atas adalah sebagian dari wasiat yang pernah disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebuah wasiat yang singkat namun sarat makna serta menyentuh hati (Jawami Alkalim). Wasiat yang menghimpun kebaikan dunia dan akhirat dengan sempurna.

Pertama, wasiat untuk menjaga shalat dan mendirikan shalat dalam kondisi yang paling sempurna.

Wasiat yang pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa siapa saja yang hendak mendirikan shalat, hendaklah dia shalat sebagaimana shalat orang-orang yang hendak berpisah. Kita tentu mengetahui bahwa orang yang akan bepergian jauh dengan niat tidak akan pernah kembali, tentu berbeda kondisinya dengan orang yang bepergian namun akan segera kembali pulang.

Muraja’ah Hadits ke-49: Iman Berkurang dengan Berkurangnya Ketaatan

Dari Abu Sa’īd Al-Khudri -raḍiyallāhu ‘anhu- ia berkata,

“Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- keluar waktu iduladha atau idulfitri ke tempat salat lalu beliau melewati para wanita.

Lantas beliau bersabda, “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka. Mereka bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Kalian banyak mengumpat dan mengingkari suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang menghilangkan akal seorang lelaki cerdas daripada kalian.”

Mereka bertanya, “Apa kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah kesaksian seorang wanita separuh kesaksian seorang lelaki?”

Mereka menjawab, “Ya, betul.” Beliau bersabda, “Itulah kekurangan akalnya. Bukankah apabila seorang wanita haid ia tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, “Ya, betul.” Beliau bersabda, “Itulah kekurangan agamanya.”

(HR Bukhari – Kitab Haid Bab Wanita Haid Meninggalkan Puasa).

📖 Hadits ke-50: Beriman kepada Allah adalah Amalan yang Paling Utama

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519).

Riyadhus Shalihin Bab Sabar memuat beberapa hadits lanjutan:

32. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada balasan bagi seorang hambaKu yang mu’min di sisiKu, di waktu Aku mengambil -mematikan- kekasihnya dari ahli dunia, kemudian ia mengharapkan keridhaan Allah, melainkan orang itu akan mendapatkan syurga.” (Riwayat Bukhari)

33. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam perihal penyakit taun, lalu beliau memberitahukannya bahwa sesungguhnya taun itu adalah sebagai siksaan yang dikirimkan oleh Allah Ta’ala kepada siapa saja yang dikehendaki olehNya, tetapi juga sebagai kerahmatan yang dijadikan oleh Allah Ta’ala kepada kaum mu’minin. Maka tidak seorang hambapun yang tertimpa oleh taun, kemudian menetap di negerinya sambil bersabar dan mengharapkan keridhaan Allah serta mengetahui pula bahwa taun itu tidak akan mengenainya kecuali karena telah ditetapkan oleh Allah untuknya, kecuali ia akan memperoleh seperti pahala orang yang mati syahid.” (Riwayat Bukhari)

34. Dari Anas radhiyallahu anhu, katanya: “Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azzawajalla berfirman: “Jikalau Aku memberi cobaan kepada hambaKu dengan melenyapkan kedua matanya -yakni menjadi buta, kemudian ia bersabar, maka untuknya akan Kuberi ganti syurga karena kehilangan keduanya yakni kedua matanya itu.” (Riwayat Bukhari)

35. Dari ‘Atha’ bin Abu Rabah, katanya: “Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan padaku: “Apakah engkau suka saya tunjukkan seorang wanita yang tergolong ahli syurga?” Saya berkata: “Baiklah.” Ia berkata lagi: “Wanita hitam itu pernah datang kepada Nabi shalallahu alaihi wasalam lalu berkata: “Sesungguhnya saya ini terserang oleh penyakit ayan dan oleh sebab itu lalu saya membuka aurat tubuhku. Oleh karenanya haraplah Tuan mendoakan untuk saya kepada Allah -agar saya sembuh.” Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Jikalau engkau suka hendaklah bersabar saja dan untukmu adalah syurga, tetapi jikalau engkau suka maka saya akan mendoakan untukmu kepada Allah Ta’ala agar penyakitmu itu disembuhkan olehNya.” Wanita itu lalu berkata: “Saya bersabar,” lalu katanya pula: “Sesungguhnya karena penyakit itu, saya membuka aurat tubuh saya. Kalau begitu sudilah Tuan mendoakan saja untuk saya kepada Allah agar saya tidak sampai membuka aurat tubuh itu.” Nabi shalallahu alaihi wasalam lalu mendoakan untuknya -sebagaimana yang dikehendakinya itu.” (Muttafaq ‘alaih)

Allah Ta’ala befirman mengabarkan tentang musuhnya iblis saat Dia menanyakan padanya mengapa menolak bersujud kepada Adam serta alasannya bahwa dia lebih baik dari Adam, sehingga Dia mengusirnya dari surga lalu iblis meminta tenggang waktu, dan Allah pun memberikannya, kemudian berkatalah musuh Allah tersebut, bisa terlihat pada surat Al-A’raf ayat 16-17 yang berbunyi:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيم ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”

Makna bahwa saya akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus adalah seakan-akan syetan itu berkata, “Saya akan tekan mereka, saya akan terus mengintai mereka, dan saya akan senantiasa membelokkan mereka dan sebagainya.”

Ibnu Abbas berkata, “Maksud dari jalan Engkau yang lurus adalah dari agama-Mu yang nyata.” Ibnu Mas’ud berkata, “la adalah Kitabullah.” Jabir berkata, “la adalah Islam.” Mujahid berkata, “la adalah kebenaran.”

Semua yang dikatakan di atas, sesungguhnya kembali kepada satu makna, yaitu jalan yang menghubungkan kepada Allah Ta’ala.

Dan dalam hadits Sabrah bin Al-Fakih di muka telah disebutkan, “Sesungguhnya syetan menghalang-halangi anak Adam dengan segala jalan. ” (Al-Hadits). Sehingga tidak ada suatu jalan kebaikan pun melainkan syetan menghalang-halangi dan memutuskan orang yang melaluinya.

Adapun firman Allah, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka mereka”, menurut Al-Hasan (Maksudnya Hasan Al-Bashri) maksudnya adalah dari sisi akhirat, dengan mendustakan Hari Kebangkitan, surga dan neraka.

Mujahid (Murid Ibnu Abbas) berkata, “Dari muka mereka”, maksudnya ke mana saja mereka memandang.”

“Dan dari belakang mereka”, Ibnu Abbas berkata, “Saya akan membuat mereka cinta terhadap dunia.” Al-Hasan berkata, “Saya akan menghiasi dunia mereka dan membuat mereka cinta kepadanya.” Dan dalam riwayat Ibnu Abbas yang lain disebutkan, “Maksudnya dari sisi akhirat.” Abu Shalih berkata, “Saya akan membuat mereka ragu-ragu dalam hal akhirat dan menjauhkan mereka daripadanya.” Mujahid juga berkata, “Dari sisi mana mereka tidak mampu melihat.”

H. Musuh Bebuyutan dan Perangkapnya

Musuh yang berat dan berbahaya itu adalah musuh yang tidak kelihatan, yang senantiasa siap memangsa kita dari arah yang tidak kita perkirakan. Ada bekas, tapi tidak terlihat wujudnya, serangannya nyata namun sulit dideteksi arahnya, senjata dan perangkap yang digunakan justru rata disukai manusia. Itulah syaithan musuh manusia yang senantiasa memalingkan manusia dari jalan menuju surga. Allâh ﷻ berfirman:

اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّاۗ اِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَهٗ لِيَكُوْنُوْا مِنْ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِۗ

Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Fathir: 6).

اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

“Sungguh ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al-A’raf: 27)

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ وَمَنْ يَّتَّبِعْ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ فَاِنَّهٗ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Siapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar”. (QS. An-Nur: 21)

Ada enam tahapan iblis dalam menyesatkan manusia:

▪️ Tahapan Pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, dan berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya

▪️ Langkah Kedua: Diajak untuk berbuat bid’ah

▪️Langkah Ketiga: Diajak melakukan dosa-dosa besar (al-Kabair) (Pembagian dosa besar dan kecil terdapat dalam nash Al-Quran dan Hadist. Dosa besar umumnya dosa yang diancam azab dunia dan akhirat, laknat, kemurkaan, seperti riba, zina. Lihat kitab “Al-Kabair” karya Imam Az-Zahabi).

▪️ Langkah Keempat: Diajak melakukan dosa-dosa kecil

▪️ Langkah Kelima: Disibukkan dengan perkara yang mubah (sifatnya dibolehkan)

▪️ Langkah Keenam: Disibukkan dengan amalan yang kurang utama dengan melalaikan yang utama

Syetan akan berusaha menggoda manusia untuk sibuk dengan sesuatu amalan yang kurang penting, sehingga melalaikan yang sangat utama, penting bahkan wajib. Contoh, rajin tahajjud namun luput shalat shubuh. Rajin baca quran, tapi lalai dari belajar kandungan petunjuk al-Quran. Sibuk menata fisik, namun lalai menata iman dan hati. Loyal dan lembut kepada teman, tapi kasar terhadap saudara dan orang tua. Habis umur belajar ilmu dunia, tapi lalai belajar agama. (Lihat Badai’ul Fawaid 2/260-261 (maktabah as-Syamilah) dengan penyesuaian).

Iman yang dimaksud bukan hanya percaya, tetapi adalah membenarkan dengan hati dengan ilmu, mengucapkan dengan lisan dan melakukan dengan amal perbuatan.

Beriman dengan adanya Malaikat adalah salah satu landasan agama Islam dan rukun Iman kedua yang wajib bagi diyakini setiap muslim.

Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 285:

Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.

Pembahasan ini berkaitan dengan haji dan umrah, karena ziarah ke makam Nabi ﷺ biasanya dilakukan setelah melakukan kedua ibadah tersebut.

Dalam bahasa Arab, Umrah bermakna ziarah. Dan ziarah adalah bagian dari ibadah. Seperti hadits syaddur rihal.

Syaddur rihal adalah istilah agama yang memiliki makna “mempersiapkan dengan matang untuk melakukan sebuah safar/perjalanan.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي

“Tidak boleh melakukan syaddur rihal kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid al-Aqsha, dan masjidku.” (HR. al-Bukhari no. 1132 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu dan Muslim no. 1397 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Maka, jika seseorang bermaksud ziarah ke tiga masjid itu, akan dihitung pahala, bahkan sholatnya dihitung 1000 kali untuk masjid Nabawi dibandingkan dengan masjid lainnya.

Ini berbeda dengan niat awalnya adalah ziarah kubur, meskipun ziarah kubur adalah ibadah, tetapi khusus untuk perjalanan jauh hanya untuk ziarah, maka ini sesuatu yang dilarang seperti dhohir hadits di atas.

Maka, ziarah ke masjid bersejarah lainnya, seperti Masjid Qiblatain dengan niat untuk mendapatkan keutamaan tertentu, ini dilarang.

💡 Kesimpulannya: ziarah ke Madinah, bukan bertujuan utama ziarah ke makam Nabi ﷺ akan tetapi niatnya ziarah ke masjid Nabawi, yang otomatis akan ke ziarah kubur Nabi ﷺ.

Maka tujuan ziarah ke Madinah adalah untuk aktivitas di:

Masjid Nabawi
Makam Nabi ﷺ, Abu Bakar dan Umar
Maka baqi
Masjid Quba
Makam perang uhud

Inilah ziarah yang disyariatkan dalam rangkaian kunjungan ke Madinah. Adapun kunjungan ke tempat-tempat lain jangan menjadikannya salah dalam niat. Karena amalan-amalan akan dinilai jika dengan niat yang ikhlas dan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allâh ﷻ melalui Rasul-Nya.

Pohon Kurma merupakan tumbuhan yang paling banyak disebutkan di dalam al-Qur’an. Allâh ﷻ menyebut Nakhlah (pohon kurma) dalam Al-Qur’an dan dalam Sunnah Rasul-Nya. Yaitu merupakan tanaman pohon di surga bagi yang bertasbih. Maka, sesuatu yang telah disebut Allâh ﷻ dalam kitab Nya dan Rasul-Nya, pasti memiliki keutamaan.

Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 99:

ٱنظُرُوٓا۟ إِلَىٰ ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثْمَرَ وَيَنْعِهِۦٓ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكُمْ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.

Pohon kurma memiliki karakteristik jika semakin panas atau humidity tinggi maka buahnya semakin manis.

KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Adzan dan Iqamah – Bagian 2

Tidak boleh menambahkan lafadz-Iafadz dzikir lain dalam adzan. Baik sebelum atau sesudahnya, dengan suara keras. Karena itu termasuk bid’ah yang diada-adakan. Setiap lafadz yang dikumandangkan, selain dari lafadz-lafadz adzan yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ, termasuk bid’ah yang diharamkan. Seperti tasbih, nasyid, do’a dan shalawat kepada Nabi yang diucapkan secara keras sebelum atau sesudah adzan. Semua itu termasuk bid’ah yang diada-adakan dan haram dilakukan. Siapapun yang melakukannya harus dilarang.

Al-Baihaqi dalam Sunan Alkubro: menambah lafadz selain lafadz adzan (hayya ala khoiril amal) maka tidak ada contohnya dari Rasulullah seperti yang diajarkan kepada bilal.

Demikian juga membaca taawudz dan basmalah sebelum adzan, tidak ada anjuran akan hal ini (Fatwa Lajnah Daaimah)

Iqamah terdiri dari sebelas kalimat, dibaca agak cepat. Disunnahkan yang Iqamah adalah yang adzan. Dan tidak boleh qomat sebelum adanya izin imam dan dilakukan oleh muadzin.

Muazin berhak mengumandangkan azan, karena ia adalah orang yang dibebani menjalani tugas.
Iqamah tidaklah dikumandangkan sampai imam memberi isyarat.

Adzan yang dikumandangkan sebelum waktunya, tidaklah sah. Karena adzan disyari’atkan untuk mengumumkan masuknya waktu shalat. Sehingga bila tidak, tujuan syari’at tersebut tidaklah tercapai. Juga dapat mempedaya orangyang mendengarnya.

Kecuali adzan Shubuh, boleh dilakukan sebelum fajar, agar kaum muslimin bersiap-siap untuk shalat Shubuh. Tapi tetap harus dikumandangkan adzan lain, saat terbitnya fajar. Agar kaum muslimin mengetahui masuknya waktu shalat, dan mulainya waktu berpuasa.

Hadits ke-48: Mencintai Kaum Anshar Sebagian dari Iman

Al-Bara’ Radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Nabi ﷺ bersabda: “Tiada yang mencintai orang-orang Anshar melainkan ia mukmin dan tiada yang membenci mereka melainkan ia munafik. Siapa yang mencintai mereka, Allah cinta kepadanya. Dan siapa yang membenci mereka, Allah benci kepadanya.” (HR. Bukhari, Kitab: “Perangai Orang-Orang Anshar” (63), Bab: Mencintai orang orang Anshar (4)) Ketika Allâh ﷻ telah mencintai sesuatu, maka tentu kita akan mencintainya. Sama halnya ketika Allâh ﷻ mencintai Anshar maka orang-orang mukmin akan mencintai mereka, kecuali orang-orang munafik.

Hadits ke-49: Iman Berkurang dengan Berkurangnya Ketaatan

Dari Abu Sa’īd Al-Khudri -raḍiyallāhu ‘anhu- ia berkata, “Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- keluar waktu iduladha atau idulfitri ke tempat salat lalu beliau melewati para wanita.
Lantas beliau bersabda, “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka. Mereka bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Kalian banyak mengumpat dan mengingkari suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang menghilangkan akal seorang lelaki cerdas daripada kalian.”

Mereka bertanya, “Apa kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukankah kesaksian seorang wanita separuh kesaksian seorang lelaki?”

Mereka menjawab, “Ya, betul.” Beliau bersabda, “Itulah kekurangan akalnya. Bukankah apabila seorang wanita haid ia tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, “Ya, betul.” Beliau bersabda, “Itulah kekurangan agamanya.”

(HR Bukhari – Kitab Haid Bab Wanita Haid Meninggalkan Puasa).