Ustadz Wadi Abu Hazim

Kumpulan kajian rutin bersama Ustadz Samsuril Wadi Abu Hazim, SH, M.Pd

Manusia yang paling berakal adalah orang yang mengedepankan kelezatan dan kesenangan yang abadi dibandingkan kesenangan yang singkat, fana, dan terputus.

Sebaliknya, orang yang paling bodoh adalah orang yang menjual kenikmatan yang abadi, kehidupan yang kekal, dan kelezatan yang agung, yang sama sekali tidak ada suatu kekurangan pun di dalamnya, dengan suatu kelezatan yang terputus, singkat, fana, dan tercemari oleh kepedihan serta kekhawatiran.

Sebagian ulama berkata: “Aku memikirkan tindakan orang-orang berakal. Aku pun mendapati bahwa seluruhnya berusaha menggapai satu tujuan meskipun cara mereka untuk mendapatkannya berbeda-beda. Aku melihat semuanya berusaha mengusir kegundahan dan kegelisahan dari diri mereka. Ada yang dengan cara makan dan minum, ada yang dengan berdagang dan bekerja, ada yang dengan menikah, ada yang dengan mendengarkan musik dan nyanyian, serta ada yang dengan permainan dan perkara yang sia-sia.

Atas dasar itu, aku menyimpulkan bahwa tujuan mereka itu sesuai dengan tuntutan orang-orang yang berakal. Hanya saja, semua jalan itu tidak akan mengantarkan mereka untuk meraihnya, bahkan mayoritas justru membawa mereka sampai kepada lawan dari tuntutan tersebut.

Dari Jundub bin Abdullah 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾 bahwasanya Rasulullah ﷺ mengirimkan sepasukan dari kaum Muslimin kepada suatu golongan dari kaum musyrikin dan bahwa mereka itu telah bertemu -berhadap-hadapan. Kemudian ada seorang lelaki dari kaum musyrikin menghendaki menuju kepada seorang dari kaum Muslimin lalu ditujulah tempatnya lalu dibunuhnya. Lalu ada seorang dari kaum Muslimin menuju orang itu di waktu lengahnya. Kita semua memperbincangkan bahwa orang itu adalah Usamah bin Zaid. Setelah orang Islam itu mengangkat pedangnya, tiba-tiba orang musyrik tadi mengucapkan: “La ilaha illallah.” Tetapi ia terus dibunuh olehnya. Selanjutnya datanglah seorang pembawa berita gembira kepada Rasulullah ﷺ -memberitahukan kemenangan-, beliau ﷺ bertanya kepadanya -perihal jalannya peperangan- dan orang itu memberitahukannya, sehingga akhirnya orang itu memberitahukan pula perihal orang yang membunuh di atas, apa-apa yang dilakukan olehnya. Orang itu dipanggil oleh beliau ﷺ dan menanyakan padanya, lalu sabdanya: “Mengapa engkau membunuh orang itu?” Orang tadi menjawab: “Ya Rasulullah, orang itu telah banyak menyakiti di kalangan kaum Muslimin dan telah membunuh si Fulan dan si Fulan.” Orang itu menyebutkan nama beberapa orang yang dibunuhnya. Ia melanjutkan: “Saya menyerangnya, tetapi setelah melihat pedang, ia mengucapkan: “La ilaha illallah.” Rasulullah ﷺ bertanya: “Apakah ia sampai kau bunuh?” Ia menjawab: “Ya.” Kemudian beliau bersabda: “Bagaimana yang hendak kau perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada hari kiamat?” Orang itu berkata: “Ya Rasulullah, mohonkanlah pengampunan -kepada Allah- untukku.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Bagaimana yang hendak kau perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada hari kiamat?” Beliau ﷺ tidak menambahkan sabdanya lebih dari kata-kata: “Bagaimanakah yang hendak kau perbuat dengan La ilaha illallah, jikalau ia telah tiba pada hari kiamat?” (Riwayat Muslim)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Masing-masing dari “tindakan” dan “tidak adanya tindakan” yang dilakukan karena pilihan dan kesadaran merupakan perkara yang hanya dikedepankan oleh orang yang hidup. Tujuannya ialah memperoleh manfaat yang dengannya seseorang merasakan kelezatan atau untuk menghilangkan rasa sakit yang dengannya dia mendapatkan kesembuhan.

Oleh karena itu, secara etimologi dikatakan: “Sembuhlah dadanya, atau sembuhlah hatinya.”

Seorang penya’ir berkata: Ia adalah penyembuh sakitku jika aku mendapatkannya, meskipun tidak ada obat penyakit yang dihasilkannya.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Pasal ini adalah penyempurna kajian sebelumnya dimana seseorang mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu yang merupakan pilihan untuk mendapatkan kesenangan. Dia mendapatkan kelezatan dalam hal perbuatan sesuatu atau dia mendapatkan kesenangan dari keselamatan dengan meninggalkan sesuatu.

Kita meninggalkan sesuatu agar selamat dari sesuatu yang menyakitkan. Seperti halnya memilih makanan untuk mendapatkan manfaat atau mudharat.

Seseorang tersebut melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan kelezatan dan meninggalkan untuk mendapatkan keselamatan. Tetapi jalan untuk mendapatkan itu bermacam-macam dan setiap jalan untuk menempuhnya bisa jadi jalan menuju kebinasaannya.

Maka cara dan jalan untuk mendapatkan kesenangan perlu dilihat kemaslahatannya.

Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah ﷺ mengirim kita ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kita berpagi-pagi menduduki tempat air mereka. Saya dan seorang lagi dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelaki dari golongan mereka -musuh-. Setelah kita dekat padanya, ia lalu mengucapkan: La ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar itu menahan diri daripadanya -tidak menyakiti sama sekali-, sedang saya lalu menusuknya dengan tombakku sehingga saya membunuhnya. Setelah kita datang -di Madinah-, peristiwa itu sampai kepada Nabi ﷺ, kemudian beliau bertanya padaku: “Hai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan La ilaha illallah?” Saya berkata: “Ya Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya untuk mencari perlindungan diri saja -yakni mengatakan syahadat itu hanya untuk mencari selamat-, sedang hatinya tidak meyakinkan itu.” Beliau ﷺ. bersabda lagi: “Adakah ia engkau bunuh setelah mengucapkan La ilaha illallah?” Ucapan itu senantiasa diulang-ulangi oleh Nabi ﷺ., sehingga saya mengharap-harapkan, bahwa saya belum menjadi Islam sebelum hari itu -yakni bahwa saya mengharapkan menjadi orang Islam itu mulai hari itu saja-, supaya tidak ada dosa dalam diriku.” (Muttafaq ‘alaih)

Penutup Kajian Libur Summer 2014 – Ringkasan dan Murajaah Materi Sebelumnya.

▪️ Setiap penyakit ada obatnya.

Dalam Shahih Al-Bukhari tercantum sebuah hadits yang dikutip dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ًمَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاء

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari, no. 5354)

Disebutkan juga dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِلِكُلِّ دَاءِ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِاِذْنِ الله

“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim, no. 2204)

Disebutkan pula dalam Musnad Imam Ahmad, dari Usamah bin Syarik, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُإِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِل دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَه

“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.” (HR. Ahmad, 4:278, Sanad hadits ini sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, juga ada hadits dari Ibnu Mas’ud)

📖 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Asal setiap keburukan adalah sedikitnya pengetahuan serta kelemahan dan kerendahan jiwa. Sebaliknya, asal setiap kebaikan adalah kesempurnaan pengetahuan yang diiringi oleh kekuatan, kemuliaan, dan keberanian jiwa.

Cinta dan keinginan merupakan pokok dan landasan dari segala sesuatu, sedangkan benci merupakan pokok dan landasan dari meninggalkan sesuatu. Dua kekuatan yang terdapat dalam hati tersebut merupakan asal dari kebahagiaan atau kesengsaraan seorang hamba.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Seperti yang dijelaskan Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa cinta adalah penggerak amal. Setiap kali cinta itu kuat pada jiwa seseorang, maka gerakannya akan semakin kuat, apapun jenisnya.

Begitu juga ketika pada amal shaleh yang merupakan keridhaan Al-Amhbuub Allah ﷻ. Cinta merupakan mesin penggerak amal.

Hadits 2:

391 – وعن أَبي عبدِ الله طارِق بن أشَيْم – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْتُ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: «مَنْ قالَ لاَ إلهَ إلاَّ الله، وَكَفَرَ بمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ، حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى الله تَعَالَى». رواه مسلم.

Dari Abu Abdillah yaitu Thariq bin as-Syam 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾, katanya: “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan La ilaha illallah dan kafir mengingkari -dengan sesuatu yang disembah selain dari Allah-, maka haramlah harta benda serta darahnya, sedang hisabnya adalah terserah kepada Allah.” (Riwayat Muslim)

📖 Syarah Hadits

Hadits ini menunjukkan barangsiapa yang telah mengucapkan kalimat tauhid, maka dia telah haramlah harta benda serta darahnya. Adapun urusan hati seperti berbohong, maka itu urusan Allah ﷻ. Kita hanya menilai dhahirnya saja.

Kalimat Tauhid inilah yang menjadikannya sebagai seorang muslim, jika meninggal dunia mengucapkannya maka ada jaminan surga baginya dan kalimat ini sangat berat timbangannya. Dan tidak seorang rasul pun kecuali untuk diutus mendakwakan kalimat tauhid!

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidaklah seorang hamba meninggalkan perkara yang dicintai dan diinginkannya, melainkan karena adanya perkara lain yang lebih dicintai dan diinginkannya. Hamba itu meninggalkan sesuatu yang kurang dicintainya untuk mendapatkan hal yang lebih dia cintai; sebagaimana seseorang melakukan perkara yang dibenci untuk mendapatkan sesuatu lebih dicintainya daripada kebenciannya atas perbuatan tadi; atau untuk membebaskan diri dari suatu perkara yang dibencinya, sementara kebenciannya terhadap perkara tersebut lebih besar dibandingkan kebenciannya terhadap perbuatan tadi.

Telah dijelaskan pula keistimewaan akal, yaitu ia mengedepankan sesuatu yang paling dicintai daripada yang kurang dicintai, serta mendahulukan kebencian yang paling ringan daripada kebencian yang paling kuat. Sudah dijelaskan bahwasanya hal ini termasuk kesempurnaan kekuatan cinta dan benci.

Kali ini kita membahas Al-Khullah. Ia mengandung puncak dan akhir kecintaan sehingga dalam hati orang yang mencintai tidak lagi tersisa kelapangan untuk selain yang dicintainya. Tingkatan cinta ini tidak lagi menerima segala bentuk perserikatan. Kedudukan ini hanyalah dikhususkan untuk dua orang, Ibrahim dan Muhammad-semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk keduanya-sebagaimana sabda Nabi:

(( إِنَّ اللَّهَ اتَّخَذَنِي خَلِيْلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيْلًا.))

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil (kekasih), sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.” (HR. Muslim (no. 532), dari Jundub).

Disebutkan dalam kitab as-Shahih, dari Rasulullah, bahwasanya beliau bersabda:

(( لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ خَلِيْلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلًا، وَلَكِنَّ صَاحِبَكُمْ خَلِيْلُ اللَّهِ.))

“Sekiranya aku mengambil kekasih dari penduduk bumi ini, tentulah aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih, tetapi sahabat kalian ini -yaitu Nabi Muhammad-adalah kekasih Allah.” (HR. Al-Bukhari (no. 3456) dan Muslim (no. 2383).

– باب إجراء أحكام الناس عَلَى الظاهر وسرائرهم إِلَى الله تَعَالَى

Bab 49. Menjalankan Hukum-hukum Terhadap Manusia Menurut Lahirnya, Sedang Keadaan Hati Mereka Terserah Allah Ta’ala

قَالَ الله تَعَالَى: {فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُم} [التوبة: 5].

Allah Ta’ala berfirman: “Maka jikalau orang-orang itu bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka bebaskanlah jalannya -yakni tidak boleh dimusuhi lagi-.” (at-Taubah: 5)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan bahwasanya Ahlussunnah menghukumi manusia sesuai dengan Dzahir amalnya. Dan di akhirat nanti Allah ﷻ akan menghukumi manusia dari perkara-perkara di dalam hatinya. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Adiyat ayat 9-11:

أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِى ٱلْقُبُورِ وَحُصِّلَ مَا فِى ٱلصُّدُورِ إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌۢ

Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.