Ustadz Isnan Efendi

Kumpulan kajian rutin bersma Ustadz Isnan Efendi, BA Hafidzahullah

Semua mengetahui bahwa riba tidak diharamkan karena bentuk dan lafazh (nama)-nya saja, tetapi ia diharamkan karena hakikat, makna dan maksudnya. Dan hakikat, makna serta maksud tersebut ada dalam siasat ribawi sebagaimana adanya dalam bentuknya yang nyata. Dan dua orang yang melakukan transaksi, mengetahui hal tersebut dalam hati mereka masing-masing, demikian pula orang yang menjadi saksi mereka mengetahuinya, dan Allah mengetahui bahwa maksud keduanya adalah riba, tetapi keduanya mencari sarana yang bentuknya tampak bukan riba, dan mereka menamakannya dengan nama yang bukan namanya (riba).

Padahal semua itu tidak bisa menolak pengharaman riba, juga tidak bisa menghilangkan kerusakan yang karenanya riba diharamkan, bahkan ia semakin menambah dan memberatkan kerusakan tersebut dari berbagai segi.

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Termasuk kaidah besar yang mereka yakini, mereka terpedaya dengan jumlah yang banyak.

Mereka berhujjah benarnya sesuatu karena diikuti oleh orang banyak dan mereka berdalil batilnya sesuatu karena yang mengikutinya sedikit dan asing. Maka nabi pun membawa sesuatu yang bertentangan dengan mereka dan menjelaskannya pada beberapa tempat di dalam Al Qur’an.

Diantara tipu daya setan adalah siasat, makar danpenipuan yang mengandung penghalalan apa yang diharamkan Allah dan membebaskan diri dari kewajiban serta menentang apa yang diperintah dan dilarangNya.

Siasat Hilah

Hilah (Berkilah atau merekayasa hukum) atau akal-akalan terhadap hukum yang telah Allâh Ta’ala tetapkan. Padahal Allah ﷻ mengetahui segala sesuatu.

Beberapa bentuk akal-akalan yang dimaksud antara lain:

Agama mereka dibangun di atas pondasi yang paling utama bagi mereka yaitu taklid.

Ini adalah kaidah besar yang dipegang oleh semua orang kafir dari masa awal sampai akhir. Sebagaimana firman Allah :

وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقْتَدُونَ

_“Dan Demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata “Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”._ (Az-Zuhruf ayat 23)

3. Mereka senang menyelisihi Ulil Amri (pemimpin) dan perbuatan mereka tidak taat kepada pemimpinnya dianggap sebagai keutamaan, sedangkan mendengar dan taat kepadanya dianggap kenistaan dan kerendahan.

Rasulullah ﷺ menyelisihi mereka dan memerintahkan bersabar terhadap pemerintah yang Fajir serta tetap mendengar, taat dan menasehati pemimpin. Beliau murka, membenci dan mengancam orang yang melakukan seperti yang dilakukan oleh ahlu Jahiliyyah.

Ketika perkara ini (kesyirikan, berpecah belah dalam agama dan membangkang kepada pemerintah) terkumpul dalam sebuah hadist shahih, bahwa Nabi bersabda :

إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ؛

“Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian dalam tiga hal, yaitu kalian beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, berpegang dengan tali Allah secara keseluruhan dan tidak berpecah belah serta saling menasehati diantara orang-orang yang Allah menyerahkan untuk memimpin kalian”. (HR Muslim).

2. Mereka berpecah belah dalam agamanya

Sebagaimana Firman-Nya :

كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. ( Ar-Rum ayat 32).

Demikian juga dalam perkara dunia (mereka juga berselisih) dan menganggapnya itu adalah suatu kebenaran. Kemudian (Para Rosul) membawa misi untuk bersatu padu dalam agama Allah, sebagaimana Firman-Nya :

شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. ( As-Syura ayat 13)

Dan Firman-Nya :

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ ۚ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka”. (Al-An’am ayat 159).

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Kajian Kitab Masail Jahiliyah (Perkara-perkara Jahiliyah) Karya: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 Pertemuan 3: 5 Jumadil Akhir 1446 / 7 Desember 2024 Masail Al-Jahiliyah – 3 1. Mereka Ahlu Jahiliyyah beribadah dengan menjadikan orang-orang sholih sekutu didalam berdo’a dan beribadah kepada Allah ﷻ […]

Ini adalah perkara-perkara yang Rasulullah ﷺ menyelisihi apa yang biasa dilakukan oleh Ahli Jahiliyah dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) serta Orang-orang Ummiyyin (yang tidak memiliki kitab) yang seharusnya wajib bagi kaum Muslimin mengetahuinya.

Sesuatu akan dirusak oleh yang bertentangan dengannya. Dengan mengetahui lawan sesuatu, maka akan lebih jelas.

Perkara yang paling penting dan sangat berbahaya adalah tidak adanya keimanan dalam hati terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Jika ditambah hal itu dengan menganggap baik apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyah, sehingga pada akhirnya lengkaplah kerugiannya…

Beliau adalah tokoh Ulama mujaddid abad XII H , Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah.

Beliau adalah: Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb bin Sulaimân bin ‘Alî bin Muhammad bin Ahmad bin Râsyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.

Dilahirkan di tengah keluarga Ulama yang bila ditinjau dari sisi kedudukan, berasal dari keluarga terpandang, dan bila ditinjau dari sisi ekonomi juga bukan dari keluarga miskin, karena orang tua maupun kakeknya adalah Qâdhî. Beliau dilahirkan di ‘Uyainah pada tahun 1115 H, atau kurang lebih tahun 1703 M.

Karya-karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah , meskipun kebanyakan merupakan karya ringkas, namun jutaan umat Islam yang membutuhkannya. Mereka berulang-ulang membacanya, mempelajari kandungan pesan-pesannya dan mengamalkan kebenaran yang ada di dalamnya. Bahkan karya-karya beliau rahimahullah selalu dibaca dan dicetak ulang sejak beliau masih hidup sampai beberapa ratus tahun kemudian hingga sekarang.

Karya-karya beliau tidak sama dengan karya-karya para pembencinya yang sarat dengan kedengkian, dendam, hasutan dan caci maki. Namun karya beliau sarat dengan petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah sesuai dengan pemahaman Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Kalaupun terdapat kekeliruan, itu adalah karena beliau manusia biasa yang tidak ma’shûm dari kesalahan, dan itupun tidak dominan.

Pembenci beliau memang banyak, diantaranya Sayid Ahmad Zaini Dahlan, mengkritik ‘ajaran wahabi’ yang di zamannya mulai merebak dan menguasai al-haramain (dua tanah haram, Mekah dan Madinah) di mana beliau menjadi muftinya. Pemahaman wahabi dianggapnya sebagai berbahaya dan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran sejati ahlussunnah. Untuk itu ia menulis salah satu karya yang berjudul ad-Durarus Saniyyah fi raddi ‘alal Wahhabiyyah.