Ustadz Hanafi Abu Arify

Telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya tentang Rukun-Rukun shalat:

Rukun Pertama: BERDIRI DALAM SHALAT FARDHU
Rukun Kedua: TAKBIRATUL IHRAM DI AWAL SHALAT
Rukun Ketiga: MEMBACA AL-FAATIHAH

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Jika posisinya sebagai makmum, para ulama berbeda pendapat. Yang lebih berhati-hati, makmum membaca surat Al-Fatihah baik pada shalat sirriyah atau jahriyah.

Rukun Keempat: RUKU’ PADA SETIAP RAKAAT

Merupakan kebahagiaan tatkala anak-anak kita masuk ke lembaga pendidikan yang menerapkan aqidah sesuai dengan contoh Rasulullah ﷺ dan belajar menghafal Al-Quran.

Karena penghafal Al-Qur’an memiliki banyak keutamaan. Orang yang menghafal Al Qur’an akan mudah mendapatkan syafa’at di hari kiamat kelak.

Di akhirat, hafalannya akan menolong dirinya untuk menggapai derajat mulia. Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

“Dikatakan kepada orang yang membaca (menghafalkan) Al Qur’an nanti : ‘Bacalah dan naiklah serta tartillah sebagaimana engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi no. 2914, shahih kata Syaikh Al Albani)

Demikian juga orang tua akan mendapatkan pahala karena berusaha menjadikan anak-anaknya penghafal Al-Qur’an.

Hadits Buroidah Al-aslamiy radhiyallaahu ‘anhu :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ الأَسْلَمِيِّ ، عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَتَعَلَّمَهُ وَعَمِلَ بِهِ أُلْبِسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَاجًا مِنْ نُورٍ ضَوْءُهُ مِثْلُ ضَوْءِ الشَّمْسِ، وَيُكْسَى وَالِدَيْهِ حُلَّتَانِ لاَ يَقُومُ بِهِمَا الدُّنْيَا فَيَقُولانِ : بِمَا كُسِيْنَا ؟ فَيُقَالُ : بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ .

Dari Abdulloh bin Buraidah Al-Aslamiy, dari bapaknya radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka akan dipakaikan kepadanya sebuah mahkota yang terbuat dari nur (cahaya), sinarnya seperti sinar matahari. Kedua orang tuanya akan dipakaikan sepasang pakaian yang tiada bandingannya di dunia ini. Orang tuanya akan bertanya, “Mengapa kami diberi pakaian ini?” Maka dijawab, “Disebabkan anakmu berpegang dengan Al-Qur’an”.

([HR. Al-Hakim, no. 2086; dan dia menshohihkannya. Syaikh Al-Albani berkata: “Hasan lighoirihi”. Lihat: Shohih At-Targhib, no. 1434 ])

Sesungguhnya shalat adalah ibadah yang agung, meliputi ucapan dan perbuatan yang disyari’atkan. Dari keduanya, terangkai tata caranya yang begitu sempurna. Shalat, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama, adalah: Rangkaian ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus, dimulai dengan takbir, dan ditutup dengan salam.

Rangkaian ucapan dan perbuatan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga bagian: Rukun-rukun, hal-hal yang wajib, dan hal-hal yang disunnahkan.

Rukun-rukun shalat, adalah hal-hal dalam shalat yang apabila sebagian darinya ditinggalkan, maka shalat menjadi batal. Baik itu ditinggalkan secara sengaja atau karena lupa. Atau minimal rakaat di mana hal itu ditinggalkan menjadi tidak sah, sehingga digantikan dengan rakaat selanjutnya, seperti akan dijelaskan nanti.

Hal-hal yang wajib dalam shalat, adalah hal-hal yang apabila sebagian darinya ditinggalkan dengan sengaja, maka shalat menjadi batal. Dan apabila ditinggalkan karena lupa, maka shalat tidak batal, tapi harus diganti dengan sujud sahwi.

Hal-hal yang disunnahkan dalam shalat, adalah hal-hal yang apabila sebagian darinya ditinggalkan, tidak menyebabkan shalat batal, baik dengan sengaja atau karena lupa. Akan tetapi menyebabkan nilai shalat menjadi berkurang.

Nabi ﷺ, melaksanakan shalat dengan sempurna,lengkap dengan semua rukun, hal-hal yang wajib, serta hal-hal yang disunnahkan di dalamnya. Beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalar.” (HR Bukhori)

KITAB SHALAT
Bab Tentang Syarat-syarat Sahnya Shalat – 5

Telah berlalu pembahasan tentang syarat-syarat sahnya shalat:
1. Masuk waktu shalat
2. Menutup aurat

Syarat Ketiga: MENGHINDARI NAJIS – lanjutan

Hukum Masjid di Kuburan atau Mengubur Mayit di Masjid

Semua lokasi yang masuk dalam wilayah ‘kuburan’, termasuk wilayah di seputar kuburan, tidak boleh digunakan untuk shalat. Karena larangan tersebut berlaku terhadap kuburan dan juga halaman kuburan di sekitarnya.

Kenapa Shalat di Masjid Nabawi yang Ada Kubur Nabi ﷺ?

Kita sudah tahu bahwa terlarang shalat di masjid yang ada kubur. Namun masih ada yang bersihkeras, tetap menganggap tidak terlarangnya hal itu. Mereka beralasan bahwa masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri (Masjid Nabawi) di dalamnya terdapat kubur Nabi. Lantas kenapa masalah?

Cukup, syubhat di atas dijawab dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berikut ini…

Syarat Kedua: MENUTUP AURAT

Di antara syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Yakni menutupi aurat yang wajib ditutupi, yang apabila terlihat akan menjadi aib dan membuat orang malu.

Allâh ﷻ berfirman,

۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak, Adam, pakailah pahaianmu yang indab di setiap (memasuki) measjid…” (QS. Al-A’raaf: 3 1)

Yakni setiap waktu shalat. Nabi ﷺ, bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat seorang wanita yang sudah haidh (baligh), kecuali bila ia menggunakan kerudung.” (Hadits shahih. Diriwayatkan dari ‘Aisyah oleh Ahmad (no.25823) [II:248], Abu Dawud (64I) (I:298)

💡 Apabila rambut perempuan tersingkap sedikit:
1. Sholatnya batal: pendapat Imam Syafi’i Rahimahullah yang dinukil Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.
2. Sholatnya tidak batal: pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 2/123: sholatnya sah (tidak mengulang). Ini pendapat mayoritas ulama.

💡 Apabila rambut perempuan tersingkap banyak:
1. Apabila tidak mengetahui kecuali setelah sholat, maka sholatnya tidak batal.
2. Tahu rambutnya tersingkap saat sholat dan langsung menutupnya, maka sholatnya tetap sah. Demikian disampaikan oleh Ulama syafiiyah.
3. Tahu rambutnya tersingkap saat sholat, tapi dibiarkan. Maka sholatnya tidak sah (batal) dan wajib mengulangi.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa: Jika rambut tersingkap banyak, maka harus mengulangi dan ini pendapat mayoritas ulama.

Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Para ulama ber-ijma’ tentang batalnya shalat orang yang tidak berpakaian, sementara ia masih mampu menutupi tubuhnya dengan pakaian, namun ia shalat dengan telanjang.”

Allâh ﷻ berfirman:

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ…

“Jagalah shalat- shalatmu…” (QS. Al-Baqarah: 238)

Di antara implementasi menjaga shalat adalah melaksanakannya di awal waktu.

Ibnu Bathol saat mengomentari hadits shalat di awal waktu, berkata: bersegera melakukan shalat di awal waktu adalah lebih utama dibandingkan dengan shalat yang setelahnya, yang dinukil Ibnu Rajab dalam Fathul Bari.

Shalat wajib ada lima kali dalam sehari semalam. Setiap shalat memiliki waktu relevan yang dipilih oleh Allah untuk shalat tersebut. Sangat relevan dengan kondisi hamba-hamba-Nya, sehingga mereka bisa melaksanakan shalat-shalat tersebut pada waktunya. Shalat-shalat tersebut tidak menjadi penghalang bagi pekerjaan-pekerjaan mereka yang lain. Bahkan justru membantu mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dan dapat menghapus segala kesalahan yang mereka lakukan.

Nabi ﷺ mengumpamakan shalat ibarat sungai yang mengalir, di mana seseorang mandi di dalamnya lima kali sehari, sehingga tak tersisa sedikit pun daki di tubuhnya. (Muttaafaq alaihi).

Waktu-waktu shalat tersebut adalah sebagai berikut:

1. SHALAT DZUHUR.

Dimulai saat matahari tergelincir dari atas kepala, yakni condong ke arah barat dari garis tengah. Itulah arti دلوك yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir…” (QS. Israa’: 28)

Tergelincirnya matahari itu dapat diketahui dengan adanya bayangan di sisi timur, setelah bayangan itu hilang di sisi barat.

Waktu shalat Dzuhur berlangsung hingga panjang bayangan suatu benda sama dengan panjang benda tersebut. Dan saat itulah waktu Zhuhur habis. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

“Waktu Zhuhur adalah saat matahari tergelincir matahari (hingga) bayangan seseorang sama dengan tinggi tubuhnya.” Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits ‘Abdullah bin Amru (no. 173).

Shalat Zhuhur sebaiknya dilakukan di awal waktu, kecuali bila panas terik. Saat itu dianjurkan menangguhkannya sejenak, hingga panas berkurang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

“Apabila panas sangat terik, tundalah shalat hingga agak dingin. Sesungguhnya teriknya panas berasal dari uap Neraka Jahannam”. (Muttaafaq alaihi).

Syarat, secara bahasa berarti tanda. Secara terminologi syari’at, artinya sesuatu yang ketiadaannya menyebabkan amalan atau sesuatu lain menjadi tidak ada, tapi keberadaannya tidak mengharuskan sesuatu atau amalan tertentu menjadi ada atau tidak ada.

Syarat shalat artinya sesuatu yang menentukan sahnya shalat, bila mungkin dilakukan.

Shalat memiliki syarat-syarat yang menentukan sahnya shalat tersebut. Apabila secara keseluruhan atau sebagiannya tidak ada, maka shalat menjadi tidak sah. Di antaranya adalah:

Syarat Pertama: MASUKNYA WAKTU SHALAT

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An-Nisa ayat 103)

Yakni bahwa shalat itu ditentukan kewajibannya dalam waktu-waktu tertentu. Arti ‘ditentukan’ dalam ayat di atas adalah ‘dibatasi’. (Jika dikatakan), ‘Allah telah menetapkan waktu shalat’, berarti bahwa Allâh ﷻ telah membatasi baginya waktu tertentu. Kaum muslimin telah ber-ijma’ (bersepakat), bahwa shalat lima waktu memiliki waktu-waktu khusus yang ada ketentuannya. Di mana shalat tidak sah jika dilakukan sebelum waktunya.

🏷️ Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

والصلاة لا تصح قبل الوقت بإجماع المسلمين، فإن صلى قبل الوقت فإن كان معتمداً فصلاته باطلة، ولا يسلم من الإثم

Kaum muslimin sepakat, shalat tidak sah jika dikerjakan sebelum waktunya. Orang yang shalat sebelum waktunya secara sengaja maka shalatnya batal, dan dia tidak selamat dari dosa.

Jika secara sengaja melakukan ibadah shalat padahal sudah mengetahui bahwa belum masuk waktu untuk shalat, hukumnya adalah shalatnya tidak sah. Dan akan berdosa bagi tiap pelaku nya.

KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Adzan dan Iqamah – Bagian 2

Tidak boleh menambahkan lafadz-Iafadz dzikir lain dalam adzan. Baik sebelum atau sesudahnya, dengan suara keras. Karena itu termasuk bid’ah yang diada-adakan. Setiap lafadz yang dikumandangkan, selain dari lafadz-lafadz adzan yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ, termasuk bid’ah yang diharamkan. Seperti tasbih, nasyid, do’a dan shalawat kepada Nabi yang diucapkan secara keras sebelum atau sesudah adzan. Semua itu termasuk bid’ah yang diada-adakan dan haram dilakukan. Siapapun yang melakukannya harus dilarang.

Al-Baihaqi dalam Sunan Alkubro: menambah lafadz selain lafadz adzan (hayya ala khoiril amal) maka tidak ada contohnya dari Rasulullah seperti yang diajarkan kepada bilal.

Demikian juga membaca taawudz dan basmalah sebelum adzan, tidak ada anjuran akan hal ini (Fatwa Lajnah Daaimah)

Iqamah terdiri dari sebelas kalimat, dibaca agak cepat. Disunnahkan yang Iqamah adalah yang adzan. Dan tidak boleh qomat sebelum adanya izin imam dan dilakukan oleh muadzin.

Muazin berhak mengumandangkan azan, karena ia adalah orang yang dibebani menjalani tugas.
Iqamah tidaklah dikumandangkan sampai imam memberi isyarat.

Adzan yang dikumandangkan sebelum waktunya, tidaklah sah. Karena adzan disyari’atkan untuk mengumumkan masuknya waktu shalat. Sehingga bila tidak, tujuan syari’at tersebut tidaklah tercapai. Juga dapat mempedaya orangyang mendengarnya.

Kecuali adzan Shubuh, boleh dilakukan sebelum fajar, agar kaum muslimin bersiap-siap untuk shalat Shubuh. Tapi tetap harus dikumandangkan adzan lain, saat terbitnya fajar. Agar kaum muslimin mengetahui masuknya waktu shalat, dan mulainya waktu berpuasa.

Shalat lima waktu telah ditetapkan dalam waktu-waktu tertentu. Maka, shalat tidak boleh dilakukan sebelum masuknya waktu-waktu tersebut. Banyak orang yang tidak mengetahui masuknya waktu shalat, atau mungkin terlalu sibuk, sehingga tidak menyadari waktu shalat telah masuk. Karenanya, Allâh ﷻ mensyari’atkan Adzan, sebagai tanda masuknya waktu shalat.

🏷️ Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata : Barangsiapa yang secara sengaja sholat dan belum masuk waktunya, maka tidak sah. Dan dia terjerumus ke dalam dosa. Jika dia tidak sengaja, karena ada sangkaan sudah masuk, maka tiada dosa baginya, dan sholatnya dikategorikan sholat sunnah, dan dia harus mengulang sholatnya, karena syarat sholat adalah masuk waktunya.

Disyariatkan bagi para muadzin untuk segera melakukan adzan tepat pada waktunya. Agar bersama dengan lainnya, jika mengakhirkan, akan membuat kebingungan bagi kaum muslimin.

Adzan disyari’atkan pada tahun pertama hijriah.

Penyebab disyari’atkannya Adzan adalah saat kaum muslimin kesulitan mengetahui waktu-waktu shalat. Mereka bermusyawarah untuk membuat tanda masuknya waktu shalat. Tiba-tiba ‘Abdullah bin Zaid memimpikan Adzan tersebut dalam tidurnya. Mimpi itu kemudian dibenarkan oleh wahyu. (Hadits Riwayat Abu Dawud 499 – Hasan Shahih)

Orang yang menjadi wali anak kecil, harus memerintahkan anak tersebut untuk shalat jika ia sudah mencapai usia tujuh tahun. Meskipun shalat itu belum wajib baginya. Tujuannya agar anak tersebut memerhatikan shalat, dan berlatih melaksanakannya.

Rasulullah ﷺ bersabda: Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. (HR Bukhari Muslim).

Tidak ada jalan untuk diri kita dan keluarga kita kecuali taat kepada Allâh Ta’ala. Allâh ﷻ berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim ayat 6).

Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

تَعَوَّدُوا الْخَيْرَ، فَإِنَّمَا الْخَيْرُ فِي الْعَادَةِ.

“Biasakanlah berbuat baik. Karena kebaikan akan terbentuk dengan kebiasaan.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (35713); sanadnya shahih].

Apabila ia shalat, maka dia dan walinya sama-sama akan memperoleh pahala, berdasarkan firman Allah:

“Dan barangsiapa melaksanakan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala sepuluh kali lipatnya…” (QS. Al-An’aam: 160)