Tazkiyatun Nufus

Termasuk berlebih-lebihan adalah menjadikan kuburan sebagai tempat perayaan (berhari raya). led (hari raya) secara bahasa berarti sesuatu yang biasa didatangi, baik berupa tempat atau masa. Adapun yang bersifat masa adalah sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Hari Arafah, hari kurban, dan hari-kari Mina adalah hari raya kita umat Islam.”

Diriwayatkan Abu Daud (2419), Tirmidzi (773) dan lainnya dengan sanad hasan, lihat Al-Itmam (17417) untuk mengetahui takhrij-nya yang lain.

Sedangkan yang bersifat tempat adalah sebagaimana sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jangan kalian jadikan kuburanku (sebagai tempat) berhari raya”.

Orang-orang musyrik juga memiliki hari raya, baik berupa tempat atau masa. Tetapi ketika Allah mensyariatkan agama Islam maka berbagai hari raya itu dihapuskan. Allah menggantikan berbagai hari raya itu buat umat Islam berupa Hari Raya Fitrah dan Hari Raya Kurban, juga hari-hari Mina.

Sebagaimana Allah juga menggantikan hari-hari raya orang-orang musyrik yang bersifat tempat dengan Ka’bah Al-Baitil Haram, Arafah, Mina dan Masya’ir.

Maka, menjadikan kuburan sebagai tempat berhari raya (perayaan) adalah termasuk hari rayanya orang-orang musyrik sebelum kedatangan Islam. Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah melarang hal tersebut dilakukan pada kuburannya yang paling mulia, sebagai bentuk peringatan agar juga tidak dilakukan pada kuburan-kuburan yang lain.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidaklah seorang hamba meninggalkan perkara yang dicintai dan diinginkannya, melainkan karena adanya perkara lain yang lebih dicintai dan diinginkannya. Hamba itu meninggalkan sesuatu yang kurang dicintainya untuk mendapatkan hal yang lebih dia cintai; sebagaimana seseorang melakukan perkara yang dibenci untuk mendapatkan sesuatu lebih dicintainya daripada kebenciannya atas perbuatan tadi; atau untuk membebaskan diri dari suatu perkara yang dibencinya, sementara kebenciannya terhadap perkara tersebut lebih besar dibandingkan kebenciannya terhadap perbuatan tadi.

Telah dijelaskan pula keistimewaan akal, yaitu ia mengedepankan sesuatu yang paling dicintai daripada yang kurang dicintai, serta mendahulukan kebencian yang paling ringan daripada kebencian yang paling kuat. Sudah dijelaskan bahwasanya hal ini termasuk kesempurnaan kekuatan cinta dan benci.

Dunia adalah kehidupan yang sementara, permainan dan senda gurau. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang fana, tidak abadi. Maka barangsiapa yang mendahulukan kesenangan yang punah atas kenikmatan Akhirat, maka ia adalah orang yang merugi dan tertipu.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an :

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.

Dalam Surat Ar-Rum Ayat 7 Allah ﷻ berfirman:

يَعْلَمُونَ ظَٰهِرًا مِّنَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ ٱلْءَاخِرَةِ هُمْ غَٰفِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.

فَاصْبِرْ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ وَّلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِيْنَ لَا يُوْقِنُوْنَ ࣖ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sungguh, janji Allah itu benar dan sekali-kali jangan sampai orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan engkau. (QS Ar-Rum ayat 60)

Sunnatullah bahwa setiap yang hidup akan mengalami kematian. Bahkan nabi Isa alaihissalam yang diangkat Allah ﷻ pun akan meninggal dunia.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabut Ayat 57:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.

Setiap manusia, pernah merasakan yang namanya musibah. Senikmat apapun keadaan dia. Baik berupa sakit, rugi dalam bisnis atau perkara lainnya. Ini adalah sunnatullah.

Dalam ayatnya yang mulia Allah ta’ala berfirman,

الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Alif lam mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya mengucapkan kami beriman kepada Allah sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum kalian, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang jujur dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabut: 1-3)

Allah menguji hamba-hamba-Nya yang beriman sesuai dengan tingkat keimanan mereka. Apakah manusia mengira Allah akan membiarkan mereka saja ketika mereka berkata “Kami beriman” tanpa menguji kebenaran perkataan mereka itu dengan ujian melalui harta dan diri mereka?

Tidaklah demikian, Tuhan mereka pasti akan menguji mereka agar menjadi jelas tingkat kebenaran dan keteguhan mereka. Dan ayat ini tetap berlaku bagi umat ini.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 214:

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَّثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۗ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاۤءُ وَالضَّرَّاۤءُ وَزُلْزِلُوْا حَتّٰى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ مَتٰى نَصْرُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ نَصْرَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ ٢١٤

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.

Cobaan dan ujian yang dialami seorang muslim itu bermacam macam; adakalanya berkaitan dengan dirinya, anak keturunannya atau harta benda yang dimilikinya.

Kali ini kita membahas Al-Khullah. Ia mengandung puncak dan akhir kecintaan sehingga dalam hati orang yang mencintai tidak lagi tersisa kelapangan untuk selain yang dicintainya. Tingkatan cinta ini tidak lagi menerima segala bentuk perserikatan. Kedudukan ini hanyalah dikhususkan untuk dua orang, Ibrahim dan Muhammad-semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk keduanya-sebagaimana sabda Nabi:

(( إِنَّ اللَّهَ اتَّخَذَنِي خَلِيْلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيْلًا.))

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil (kekasih), sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.” (HR. Muslim (no. 532), dari Jundub).

Disebutkan dalam kitab as-Shahih, dari Rasulullah, bahwasanya beliau bersabda:

(( لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ خَلِيْلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلًا، وَلَكِنَّ صَاحِبَكُمْ خَلِيْلُ اللَّهِ.))

“Sekiranya aku mengambil kekasih dari penduduk bumi ini, tentulah aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih, tetapi sahabat kalian ini -yaitu Nabi Muhammad-adalah kekasih Allah.” (HR. Al-Bukhari (no. 3456) dan Muslim (no. 2383).

Termasuk perangkap syetan yang paling besar dan memperdaya banyak manusia, serta tidak dapat selamat daripadanya kecuali orang yang Allah tidak menginginkan fitnah baginya adalah apa yang dihembus-hembuskan syetan, baik dahulu maupun sekarang terhadap kelompok dan orang-orang yang setia padanya berupa fitnah kubur. Bahkan masalahnya bisa meningkat hingga pada penyembahan kepada selain Allah; orang yang dikubur juga kuburannya disembah, lalu dibuatlah patung-patung, didirikan pula bangunan-bangunan, orang-orang yang di dalam kubur dilukis, lalu lukisan itu diubah menjadi gambar fisik yang memiliki bayangan, sehingga terbentuklah patung-patung, kemudian ia disembah bersama Allah.

“Nuh berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar. ‘Dan mereka berkata, ‘Jangan sekalikali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd dan jangan pula Suwaa’, Yaghust, Ya’uq dan Nasr.’Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan banyak (manusia).” (Nuh: 21-24).

Di sini terdapat empat macam cinta yang wajib dibedakan, sebab orang yang tidak membedakan akan tersesat karenanya:

1. Mahabbatullah (cinta kepada Allah). Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan memperoleh pahalaNya. Sebab, kaum musyrikin, penyembah salib, bangsa Yahudi, dan selain mereka juga mencintai Allah ﷻ.

Inilah bantahan tuntas terhadap musuh musuh manhaj Salaf yang tidak dapat membedakan antara kurus dan gemuk serta batu dan berlian. Mereka menyangka setiap yang berkilau itu adalah emas. Mereka menyangka—atau membuat persangkaan—bahwa sekadar Cinta atau keikhlasan—sudah cukup membuat suatu amal perbuatan diterima dan mendapat ridha Allah. Mereka lalai—atau berpura pura lupa— dari ittiba’, yakni peneladanan sempurna terhadap Rasulullah ﷺ.

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Ini adalah penegasan terhadap bentuk-bentuk cinta dan pemisahan bentuk-bentuk cinta tersebut, karena jika tidak mampu membedakan akan berbahaya terhadap agama dirinya.

Cinta yang paling asas adalah mencintai Allah ﷻ dengan penuh keikhlasan. Jangan sampai seperti orang-orang kafir yang disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 165:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

Mereka menyamakan cinta kepada Allah ﷻ dengan cinta selain-Nya. Karena Allah ﷻ tidak menerima ibadah kecuali dengan ikhlas dan bersih.

2. Mahabbatu maa yuhibbullah (mencintai perkara yang dicintai Allah). Perkara inilah yang memasukkan pelakunya ke dalam Islam dan mengeluarkannya dari kekufuran.

JAWABAN ATAS HUJJAH ORANG-ORANG YANG WAS-WAS

Adapun ucapan mereka, “Apa yang kami lakukan itu adalah karena kehati-hatian, bukan was-was.”

Kami menjawab, “Namakan apa saja semau kalian, kami hanya ingin bertanya kepada kalian, ‘Apakah perbuatanmu itu sesuai dengan yang dilakukan dan diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, serta para sahabatnya atau malah bertentangan? Jika kalian mengaku, bahwa perbuatan kalian itu sesuai dengannya maka ini adalah kebohongan dan kedustaan yang nyata. Karena itu, kalian mau tidak mau harus mengakui bahwa ia tidak sesuai dengan yang dilakukan dan diperintahkan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, ia sama sekali bertentangan dengannya.

Maka, tidak ada gunanya kalian menamakan hal itu dengan kehati-hatian. Ini sama dengan orang yang melakukan sesuatu yang dilarang lalu ia menamakannya dengan sesuatu yang bukan namanya. Seperti mereka menamakan khamar dengan bukan namanya, riba dikatakan muamalah,’ tahlil (menghalalkan pernikahan yang diharamkan) yang pelakunya dilaknat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam disebut dengan pernikahan (yang sah) .

Lalu, mematuk dalam shalat (ketika sujud)’ yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa pelakunya belum shalat, dan kewajiban shalatnya belum gugur, serta shalat itu tidak diterima Allah Ta’ala, ia sebut sebagai keringanan (dalam shalat)! Demikianlah, mereka menamakan berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam agama sebagai bentuk kehati-hatian.

Perlu dicamkan, kehati-hatian yang bermanfaat bagi pelakunya dan yang Allah balas dengan pahala adalah kehati-hatian yang sesuai dengan Sunnah, serta meninggalkan hal-hal yang menyelisihinya. Inilah kehatihatian yang sesungguhnya. Jika tidak, maka orang tersebut tidak berhati-hati untuk dirinya, karena ia telah keluar dari Sunnah dan tidak meninggalkan yang menyelisihinya.

Dosa yang paling besar di sisi Allah adalah syirik. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang yang menyekutukan-Nya. Adapun pokok perbuatan syirik kepada Allah adalah menyekutukan-Nya dalam hal kecintaan.

Allah ﷻ berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يَّتَّخِذُ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ اَنۡدَادًا يُّحِبُّوۡنَهُمۡ كَحُبِّ اللّٰهِؕ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ؕ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingantandingan selain Allah: mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah ….” (QS. Al-Baqarah: 165)

Allah mengabarkan bahwa di antara manusia ada yang menyekutukan-Nya dengan menjadikan selain-Nya sebagai tandingan, lalu mencintainya sebagaimana dia mencintai Allah. Selanjutnya, Allah mengabarkan bahwasanya cinta orang-orang yang beriman kepada Allah jauh lebih besar daripada cinta orang-orang yang mencintai tandingan-tandingan Allah.

Ada pula yang berpendapat: “Makna yang sesungguhnya adalah orang-orang yang beriman lebih mencintai Allah dibandingkan kecintaan orang yang menjadikan tandingan selain Allah ﷻ meskipun orang-orang itu mencintai Allah, tetapi mereka telah menyekutukan kecintaan tersebut dengan tandingan-Nya sehingga kecintaan mereka itu pun melemah. Adapun orang-orang yang mentauhidkan Allah, mereka memurnikan kecintaan kepada Nya, bahkan kecintaan mereka lebih besar daripada orang-orang musyrik. Yang dimaksud menyetarakan Rabb semesta alam serta menyamakan antara Dia dan tandinganNya adalah dengan menyamakan kecintaan tersebut, sebagaimana telah dijelaskan.”

Di bulan Ramadhan, setiap muslim akan dimudahkan untuk menjaga hati dan Allah ﷻ memudahkan hamba-Nya untuk menyucikan diri dari dosa-dosa. Sedangkan setelah Ramadhan, banyak kaum muslimin mengabaikan penyucian jiwa dari maksiat dan syahwat. Padahal tujuan berpuasa di bulan Ramadhan adalah untuk membentuk manusia yang bertakwa, bersih dari dosa dan maksiat.

Semoga kita tidak termasuk golongan yang disebut Ka’ab Al Ahbar rahimahullah (tabiin) dimana beliau berkata:

“Barangsiapa puasa Ramadhan sedangkan dalam hati dia berniat seusai bulan Ramadhan dia tidak akan bermaksiat, dia akan masuk Jannah tanpa ditanya dan tanpa dihisab. Dan barangsiapa puasa Ramadhan sedangkan dalam hati dia berniat setelah Ramadhan akan kembali maksiat, maka puasanya tertolak (tidak diterima Allah).” (Lathoif al-maarif, hal 136-137).

Baik buruknya perilaku seorang manusia sangat bergantung pada hatinya. Jika hatinya baik maka perilakunya akan baik. Sebalikmya, bila hatinya buruk maka akan berakibat pada buruknya perilaku manusia tersebut.

Allah tidak memandang rupa, wajah, atau kulit hamba-Nya. Yang dipandang darinya hanyalah hatinya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ :

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ، فَمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ صَالِحٌ تَحَنَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا أَنْتُمْ بَنِي آدَمَ أَكْرَمُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amalan kalian. Siapa saja yang memiliki hati yang bersih, maka Allah menaruh simpati padanya. Kalian hanyalah anak cucu Adam. Tetaplah yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa (HR Al-Thabrani).

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).