Artikel

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Hendaklah penghafal Al-Qur’an bangun malam dengan membaca Al Qur’an ketika orang-orang tidur dan berpuasa di siang hari ketika orang-orang tidak puasa”.

Hendaklah ia bersedih ketika orang-orang gembira dan menangis ketika orang-orang tertawa, diam ketika orang-orang berbicara dan menampakkan kekhusyukannya ketika orang-orang menyombongkan diri.

Dunia merupakan tempatnya ujian dan sunnatullah yang pasti terjadi. Bahkan orang-orang terpilih seperti para Nabi ﷺ, semuanya diuji dengan berbagai musibah dan cobaan.

Ujian bermacam-macam seperti firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Ujian merupakan wasilah untuk membedakan antara orang-orang yang beriman dengan orang yang yang lalai. Maka, salah satu diantara ujian adalah pembeda orang yang beriman atau sekedar pengakuan.

Ibadah adalah seluruh amalan baik perkataan atau perbuatan yang dicintai Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Dan Allah ﷻ menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِْنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku [Adz Dzariyat 51: 57].

Allah ﷻ menciptakan kita agar beribadah hingga memiliki ketakwaan,

ياَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِىْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Hai manusia, sembahlah Tuhan mu yang telah menjadikan kamu dan juga orang-orang sebelummu supaya kamu bertakwa [Al Baqarah 2:22].

Hikmah ibadah ada dua: hikmah dunia dan akhirat.

Dari Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seorang wanita menunaikan shalat lima waktunya, berpuasa pada bulan (Ramadhan), menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.’” 📖 HR. Ahmad dalam Musnadnya (1661).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dari Nabi ﷺ , beliau bersabda: “Seorang wanita tidak boleh berpuasa (sunnah) sementara suaminya hadir kecuali dengan izinnya, dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya sementara suaminya hadir kecuali dengan izinnya. Apa yang ia infakkan dari harta suaminya tanpa perintahnya, maka setengah dari pahalanya diberikan kepada suaminya.” 📖 HR al-Bukhari (5195), Muslim (1026) dengan lafaz ini.

– Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

8. Mereka berdalil batilnya sesuatu ketika yang mengikutinya hanyalah orang-orang yang lemah.

Sebagaimana firman Allah ﷻ:

قَالُوٓا۟ أَنُؤْمِنُ لَكَ وَٱتَّبَعَكَ ٱلْأَرْذَلُونَ

Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?”. (QS Asy-Syu’ara ayat 111).

Dan firman-Nya :

أَهَؤُلاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا

“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka “. (QS. al-An’am : 53 ).

Maka Allah membantahnya dengan firman-Nya :

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

“Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” . (QS. al-An’am : 53 ).

Jika Anda merenungkan syariat, maka Anda akan dapati bahwa ia menutup segala sarana ke arah yang diharamkan, dan itu merupakan lawan dari siasat yang justru untuk mencapainya. Siasat adalah berbagai sarana dan pintu menuju keharaman, sedang saddudh dhara’i’ merupakan lawan daripadanya.

Jadi dua masalah tersebut adalah dua hal yang sangat bertentangan. Pembuat Syariat mengharamkan berbagai sarana (yang bisa menghantarkan pada keburukan), meskipun dengannya itu ia tidak memaksudkan hal yang haram, sebab ia bisa mengakibatkan kepada hal tersebut, apatah lagi jika dia memaksudkan terhadap sesuatu yang diharamkan itu sendiri.

Sesungguhnya orang yang tidak melaksanakan shalat berjama’ah, jika ia shalat seorang diri, berada dalam salah satu dari dua kondisi:

Pertama, ia tidak melaksanakan shalat berjama’ah karena udzur, baik itu berupa sakit ataupun kondisi perang misalnya. Dan bukan merupakan kebiasaannya mengabaikan shalat berjama’ah, jika tidak ada udzur.

Orang semacam ini akan memperoleh pahala shalat berjama’ah, berdasarkan sebuah hadits shahih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah ketika mensyarah hadits ini, beliau mendatangkan perkataan Imam As-Subki Al-Kabir (Tajuddin As-Subki) putera Imam Taqiyyudin As-Suyuti rahimahumallahu:
– Barangsiapa yang punya kebiasaan shalat berjama’ah dan ada udzur yang menghalanginya maka dicatat baginya shalat berjama’ah.
– Tapi barangsiapa tidak punya kebiasaan dan dia ingin shalat berjama’ah dan terhalangi adanya udzur, sehingga shalat sendirian ditulis baginya pahala karena niat yang baik, bukan pahala berjama’ah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah mengatakan barangsiapa yang berniat mengikuti kebaikan dan dia berusaha bersemangat melakukannya, jika itu merupakan kebiasaannya dan terhalang udzur syar’i maka dicatat baginya secara sempurna.

Dari Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian memukul istrinya seperti memukul budak, kemudian menggaulinya di akhir hari.” HR.Bukhari (5204) dengan lafaz ini, dan Muslim (2855).

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu- secara marfū’, “Andaikan aku boleh memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan memerintahkan seorang istri agar bersujud kepada suaminya.”
[Hadis sahih] – [Diriwayatkan oleh Tirmiżi]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu atau dari Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhuma -yang merawikan Hadis ini ragu-ragu apakah dari Abu Hurairah atau dari Abu Said, tetapi keragu-raguan semacam ini tidak membahayakan shahihnya hadis dalam diri sahabat, sebab semua itu adalah orang-orang adil, katanya: “Ketika terjadi perang Tabuk, maka orang-orang sama menderita kelaparan, lalu mereka berkata: “Ya Rasulullah bagaimana andaikata Tuan izinkan saja kita menyembelih unta-unta kita, kemudian kita dapat bersama-sama makan dan berminyak -dengan lemaknya. Rasulullah ﷺ lalu bersabda: “Lakukanlah itu -yakni sembelihlah-.” Kemudian datanglah Umar Radhiyallahu’anhu lalu berkata: “Ya Rasulullah, jikalau Tuan membolehkan itu dilaksanakan, maka berkuranglah kendaraan yang dapat dinaiki, tetapi panggillah orang-orang itu dengan membawa sisa-sisa bekalnya sendiri, kemudian berdoalah kepada Allah untuk mereka agar mendapatkan keberkahan, barangkali Allah akan memberikan keberkahan dalam makanan mereka.” Rasulullah ﷺ lalu bersabda: “Ya.” Beliau ﷺ meminta didatangkan selembar kulit kering kemudian dibeberkannya, lalu menyuruh orang-orang itu meletakkan sisa-sisa bekalnya. Di situ ada seorang yang datang dengan membawa segenggam gandum, yang lainnya datang dengan segenggam kurma, yang lainnya pula dengan sekerat roti, sehingga berkumpullah di atas kulit tadi sekadar makanan yang amat sedikit. Selanjutnya Rasulullah mendoakan agar makanan itu mendapatkan keberkahan Allah, lalu beliau ﷺ bersabda: “Ambillah itu di masing-masing wadahmu.” Orang-orang sama mengambilnya di wadahnya sendiri-sendiri sehingga tidak sebuah wadah pun yang mereka tinggalkan di kalangan tentara itu melainkan sudah diisi penuh-penuh. Mereka dapat makan sampai kenyang dan masih ada sisa kelebihannya. Seterusnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Saya menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya saya adalah Rasulullah. Tiada seorang hamba pun yang menemui kedua kalimat syahadat itu -setelah matinya nanti-, sedangkan ia tidak ragu-ragu, lalu ditolak dari masuk syurga -maksudnya orang yang diketahui mempunyai keyakinan yang mantap mengenai dua kalimat syahadat itu, pasti tidak terhalang untuk masuk syurga-.” (Riwayat Muslim)

Pengubahan bentuk dan nama berbagai hal yang diharamkan.

Sungguh tidaklah Allah mengharamkan berbagai muharramat tersebut juga lainnya, kecuali karena hal-hal itu mengandung bahaya dan kerusakan agama dan duniawi. Dan Allah tidak mengharamkannya karena nama dan bentuknya. Di samping itu, semua mengetahui bahwa berbagai kerusakan itu tergantung pada hakikatnya, ia tidak hilang hanya karena diubahnya nama serta bentuknya. Seandainya berbagai kerusakan itu bisa hilang dengan berubahnya bentuk dan namanya, niscaya Allah tidak melaknat orang-orang Yahudi yang mengubah bentuk lemak dan namanya dengan mencairkannya sampai menjadi minyak lalu mereka makan dari harganya, dan mereka berkata, “Kami tidak makan lemak.” Demikian pula dengan pengubahan bentuk penangkapan ikan pada hari Sabtu dengan mengambil tangkapan pada hari Ahad.