Fiqh

Ketahuilah, bahwa Allah ﷻ telah mensyari’atkan kepada anda untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan shalat-shalat sunnah, di samping shalat-shalat fardhu.

– Perkara yang Pertama dihisab adalah Shalat

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Boleh memberikan syarat berupa spesifikasi barang yang diinginkan. Jika memenuhi syarat tentang barang yang dinginkan maka jual beli menjadi sah. Namun, jika tidak memenuhi syarat maka transaksi jual beli tidak sah.

Misalnya: Seorang pembeli mensyaratkan bahwa buku yang diinginkan harus menggunakan kertas berukuran kecil. Atau, seseorang yang ingin membeli rumah mensyaratkan bahwa rumah yang diinginkannya harus menggunakan pintu yang terbuat dari besi.

Boleh pula memberi persyaratan tertentu dengan tujuan memperoleh manfaat tertentu. Misalnya,disyaratkan agar penjual mengantarkan binatang ternaknya ke tempat tertentu. Disyaratkan agar penjual rumah mengizinkan calon pembeli untuk tinggal selama sebulan di rumah yang dijual. Seseorang yang ingin membeli baju mensyaratkan bahwa dia akan membeli baju itu jika penjahitnya adalah orang yang ditentukan. Seorang pembeli mensyaratkan bahwa kayu yang dibelinya harus dibelah-belah terlebih dahulu.

Dasarnya adalah Jabir memberi syarat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam agar ada dua orang yang mengantarkan keledai yang dibeli dari Rasulullah.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-ahzab ayat 41-42:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اذۡكُرُوۡا اللّٰهَ ذِكۡرًا كَثِيۡرًا ۙ‏ ٤١ وَّ سَبِّحُوۡهُ بُكۡرَةً وَّاَصِيۡلًا‏ ٤٢

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.

Pada ayat ini Allah ﷻ memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu berdzikir mengingatNya. Siapa yang mencintai Allah ﷻ maka pasti akan selalu mengingatNya setiap waktu.

Sebagian salaf mengatakan : Barangsiapa yang mengenal Allah ﷻ pasti akan mengingatNya dan barangsiapa yang cinta kepada Allah ﷻ maka dia akan berdzikir mengingatNya.

Maka, dalam ayat ini Allah ﷻ memanggil hanya untuk orang yang beriman, bukan orang yang berislam.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 mengatakan berdzikir kepada Allah ﷻ kecuali bagi orang yang beriman yaitu bagi orang yang hatinya selalu cinta kepada Allah ﷻ.

Dzikir kepada Allah ﷻ adalah bacaan yang ringan bagi orang yang mendapat hidayah dariNya, namun bagi orang yang tidak mendapat hidayah akan terasa berat.

Manakala manusia memiliki kecenderungan untuk lengah dan lupa, sementara syaitan amat gigih menggoda manusia dalam shalatnya, dengan membangkitkan berbagai pikiran dan menyibukkan benaknya, hingga mengganggu konsentrasi shalatnya, di mana boleh jadi hal itu berakibat pada pengurangan atau penambahan dalam shalat, karena faktor lengah dan lalai tersebut.

Begitulah, manusia memiliki tabiat pelupa. Seorang penyair berkata:

وَمَاسُمِّيَ الإِنْسَانُ إِلاَّ لِنِسْيَانِهِ @ وَلاَ الْقَلْبُ إِلاَّ أَنَّهُ يَتَقَلَّبُ

Tidaklah manusia dinamakan insan kecuali karena pelupanya (an-nasyu).

Dan tidaklah hati dinamakan qalbu kecuali karena sifatnya yang suka bolak-balik (taqallub).

Terdapat hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhuma : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.” Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

Orang yang sedang shalat, dibolehkan mengenakan pakaian dan sejenisnya, membawa dan meletakkan sesuatu, membuka pintu, atau membunuh ular dan kalajengking.

Selama benda yang dibawa suci dan tidak najis.

– Boleh Menggendong anak Ketika Shalat

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ ( قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ , فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا , وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

وَلِمُسْلِمٍ : { وَهُوَ يَؤُمُّ اَلنَّاسَ فِي اَلْمَسْجِدِ } .

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.” (Muttafaqun ‘alaih. Dalam riwayat Muslim, “Sedang beliau mengimami orang-orang di masjid.”) [HR. Bukhari, no. 516 dan Muslim, no. 543]

Harus dipastikan anak yang digendong tidak membawa najis. Demikian disampaikan juga oleh Imam Ahmad 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.

Ibnu Qudamah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan shalat yang membawa najis membatalkan shalat.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/163 : Menurut madzhab kami (Syafi’i) tidak ada kewajiban mengulangi jika tahu setelah selesai shalat.

– Membuka pintu saat shalat.

Hendaknya jangan tergesa-gesa, ucapkan Subhanallah bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita.

Ibnu Baz rahimahullahu menjelaskan, jika dalam shalat sunnah diingatkan dengan membaca tasbih bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi wanita. Maka ini sudah cukup. Tetapi jika jauh, boleh membatalkan shalat.

Dalam shalat fardhu, jika perkara yang penting, maka boleh membatalkan shalat (Syaikh Fauzan dalam fatwanya).

BAB: HAL YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT

1. ORANG YANG SHALAT DISUNNAHKAN MENCEGAH SIAPA PUN YANG LEWAT DEKAT DI DEPANNYA.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukannya:
1. Wajib. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505).

Dalam hadits ini Nabi ﷺ menggunakan kata perintah (فليدفَع), dan terdapat sebuah kaidah:

الأصل في الأمر للوجوب إلا مادل الدليل على خلافه

“Hukum dasar dalam ‘perintah’ itu wajib kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya.“

Pendapat ini disampaikan oleh ulama dzahiriyah.

2. Sunnah Muakadah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti pendapat Imam Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱. Hukum sunnah ini menjadi pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 3:446: aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang mewajibkan.

🏷️ Pendapat yang kuat: ada perinciannya. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 :
1. Jika yang lewat bakal membatalkan sholat kita seperti : perempuan yang baligh, anjing hitam dan khimar. Maka wajib dicegah.

DALAM SHALAT, MENOLEH DENGAN WAJAH DAN DADA HUKUMNYA ADALAH MAKRUH.

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

سألت رسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الالتفَاتِ في الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «هُوَ اخْتِلاَسٌ (¬1) يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ العَبْدِ». رواه البخاري

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Beliau menjawab: “Menoleh di dalam shalat adalah sebuah hasil curian setan yang diperoleh dari shalat seorang hamba”. (HR Al-Bukhari)

Imam Abu Ismail Ash-Shan’ani dalam kitab subulus salam berkata ini adalah dalil dimakruhkannya menoleh dalam shalat. Jumhur ulama memaknakan hadits ini jika badannya tidak membelakangi kiblat, tetapi jika membelakangi kiblat maka shalatnya batal.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah bahwa menoleh itu ada dua macam:
1. Menoleh fisik dengan badan, yaitu menoleh dengan kepala.
2. Menoleh non fisik dengan hati, yaitu was-was dan sibuk dengan pikiran yang menghampiri hati (tidak khusyu). Inilah penyakit yang kita tidak bisa lepas, sangat sulit mengobatinya! Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Hal ini mengurangi kualitas shalat. Masih bagus kalau cuma sebagiannya, namun yang terjadi tidak khusyu dari awal shalat sampai terakhir shalat. Perkara ini cocok dikatakan sebagai curian setan dari shalat seorang hamba” (As Syarhu al Mumti’: 3/70)

Kecuali, jika hal itu dilakukan untuk suatu keperluan, maka tidak menjadi masalah. Seperti saat dalam suasana peperangan, atau untuk tujuan yang dibenarkan syari’at.

Materi Ketiga: Tata Cara Menentukan Taruhan dalam Pacuan Kuda dan Panahan

Pihak yang paling pantas menentukan hadiah dalam ketangkasan berkuda dan panahan adalah pemerintah atau yayasan sosial, atau para dermawan agar bersih dari segala syubhat (keragu-raguan) dan agar menjadi motivasi untuk yang tidak bertujuan selain menimbulkan kecintaan pada persiapan kekuatan untuk jihad.

Diperbolehkan pula salah seorang dari kedua peserta menentukan hadiah tersebut. Misalnya, ia mengatakan kepada peserta yang lain, “Jika engkau mengalahkanku maka engkau mendapatkan 10 atau 100 dinar dariku” Mayoritas ulama memperbolehkan masing-masing peserta menentukan taruhannya apabila mereka herdua memasukan peserta yang ketiga tanpa menentukan taruhan apa pun *), Ini adalah pendapat Sa’id bin Musayyab, tetapi Malik menolaknya, sedangkan yang lain menyetujuinya.

Pembahasan Bab ini menunjukkan lengkapnya Islam dimana seluruh lini kehidupan telah dibahas dan disampaikan Rasulullah ﷺ.

Perlombaan di sini adalah perlombaan memanah, olah raga, dan cerdas cermat. Pemhahasan bab ini dibagi menjadi lima materi, yaitu:

Materi Pertama: Tujuan Olah Raga

Ada banyak cabang olahraga di dunia. Ternyata, ada tiga olahraga yang disunnahkan atau dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ. Tiga olahraga sunnah Rasul tersebut adalah memanah, berkuda dan berenang.

”Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang, dan memanah,” (HR Bukhari, Muslim).

Tujuan semua olah raga, yang dikenal pada masa awal kelahiran Islam dengan nama furusiyah (ketangkasan berkuda) adalah untuk memelihara kebenaran, mempertahankannya, dan membelanya. Tujuannya sama sekali bukan untuk memperoleh harta dan mengumpulkannya, bukan pula untuk popularitas dan kesukaan pada ketenaran, bukan pula untuk kemegahan di dunia beserta segala kerusakan yang mengiringinya, seperti yang terjadi pada olahragawan zaman sekarang.

Tujuan dari semua jenis olah raga adalah untuk menguatkan tubuh dan meningkatkan kemampuan jihad di jalan Allah ﷻ. Berdasarkan hal ini, olah raga dalam Islam harus dipahami dalam pengertian tersebut. Jika ada orang yang memahami olah raga secara berbeda, berarti ia mengeluarkan olah raga dari tujuannya yang baik ke tujuan yang buruk, yaitu permainan yang batil dan perjudian yang dilarang.

Dasar hukum disyariatkan dan dianjurkannya olah raga adalah firman Allah ﷻ dalam surat Al-A’raf ayat 60:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ…

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki…

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ…

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah….” (HR Muslim).

Kemudian beliau duduk untuk melakukan tasyabhud pertama, dengan iftiraasy, seperti duduk di antara dua sujud.

Hukum Tasyahud Awal

Ulama berbeda pendapat. Yang rajih adalah wajib sebagaimana pendapat Hanabilah, Hanafiyah, dan salah salah satu pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Dikuatkan oleh Syaikh bin Baz dan Syaikh Utsaimin Rahimahumullahu.

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ، فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَييْنِ، وَلَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، حَتَّى إِذَا قَضَى الصَّلاةَ، وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ، كَبَّرَ وهُو جَالِسٌ. وَسَجَدَ سَجْدَتَيْن، قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّمَ. أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَهَذَا لَفْظُ الْبُخَارِيِّ.

Dari ‘Abdullah bin Buhainah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Zhuhur bersama mereka. Beliau berdiri pada dua rakaat pertama dan tidak sempat duduk tasyahud awal. Orang-orang pun ikut berdiri bersama beliau hingga beliau akan mengakhiri shalat dan orang-orang menunggu salamnya. Beliau takbir dengan duduk kemudian beliau sujud dua kali sebelum salam, lalu beliau salam. (Dikeluarkan oleh imam yang tujuh dan lafaz ini menurut riwayat Al-Bukhari) [HR. Bukhari, no. 829 dan Muslim, no. 570; juga Abu Daud, no. 1034; Tirmidzi, no. 391; An-Nasai, 19:3; Ibnu Majah, no. 1206; Ahmad, 7:38].