Fiqh

Shalat sunnah dianjurkan setiap waktu, selain pada waktu-waktu yang dilarang. Namun shalat yang dilarang untuk dikerjakan pada dua waktu tersebut adalah shalat yang ghayru dzawatil asbab. Adapun shalat yang dzawatil asbab, shalat yang memiliki sebab khusus, boleh dikerjakan walaupun di dua waktu tersebut. Seperti Tahiyatul masjid atau gerhana matahari yang terjadi setelah ashar.

Shalat malam sendiri lebih baik dari shalat di siang hari, berdasarkan penjelasan di atas. Dan shalat malam yang paling utama adalah pada sepertiga malam, setelah lewatnya pertengahan, berdasarkan hadits dalam Shahih Bukhari.

Ash-haabus Sunan meriwayatkan bahwasanya Nabi ﷺ, ditanya tentang apa shalat yang terbaik setelah shalat wajib. Beliau menjawab: “shalat di pertengahan malam.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah (no.1163-203 (2756))( IV:296), kitab ash-Shiam, bab 38.

Orang yang melaksanakan qiyamul lail akan memperoleh suatu kenikmatan yang didapat berupa kedekatan dengan tuhannya. Rasulullah bersabda

​​​​​​​وروى التِّرْمِذِيّ عن عمرو بن عسبه أنه سمع النبي صلى الله عَلَيْهِ وسلم قَالَ: أقرب مَا يكون الرب من العَبْد فِي جَوف اللَّيْل الآخر، فَإِن اسْتَطَعْت أَن تكون مِمَّن يذكر فِي تِلْكَ السَّاعَة فَكُن

“Keadaan yang paling dekat untuk hamba dan Tuhannya adalah pada malam yang terakhir. Jika mereka sanggup mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah” (HR Tirmidzi 3579)

Termasuk tipu daya dan senjata syetan yang dengannya ia sampai pada maksud yang diinginkannya adalah tipu dayanya dalam hal at-tahlil yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat pelakunya, bahkan beliau menyamakannya dengan at-taisul musta’ar (pejantan), dan karenanya ia menanggung aib yang sangat besar, bahkan hingga orang-orang kafir mengolok-olok umat Islam karenanya, dan terjadilah berbagai kerusakan karenanya, yang tidak dapat menghitung seberapa besar kerusakan itu kecuali Tuhan segenap hamba. Para pejantan itu terpedaya dan lengah, sedang orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih merasa sempit dan sesak karena perbuatan mereka, jiwa-jiwa itu merasa jijik kepada perbuatan mereka, bahkan lebih jijik daripada kepada perbuatan zina, seraya berkata, “Seandainya ia adalah nikah yang benar, tentu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak akan melaknatnya. Sebab nikah adalah Sunnahnya, sedang orang yang melakukan Sunnah berarti dia orang yang ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dan ia tidak akan dilaknat. Sedangkan muhallil, di samping ia dilaknat ia juga disebut sebagai at-taisul musta’ar (pejantan) oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sedangkan para salaf menamai mereka dengan mismarun nar (pakunya neraka).”

Sujud tilawah merupakan pembahasan yang penting karena menyangkut amalan sunnah yang dicontohkan Rasulullah ﷺ.

Pembahasan masalah ini, telah banyak dikupas oleh banyak ulama lintas madzhab baik salaf maupun khalaf, diantaranya: Dalam madzhab Hanafi, ada Kitab Al-Hidayah karya Burhan al-Din al-Marghinani Rahimahullah, dalam Madzhab Maliki dijelaskan tentang sujud tilawah oleh Imam Malik dalam kitab Al-mudawwana al-kubrà dan Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm, demikian juga Madzhab Hambali dalam Kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah Rahimahumullah.

Beberapa alasan pentingnya sujud tilawah:

1. Ibadah yang sangat ditekankan (sunnah muakkadah) untuk dilakukan. Maka apabila ikhlas dan ittibâ maka akan mendapatkan pahala.

Imam Syafi’i berkata sujud tilawah adalah sunnah yang ditekankan (muakkadah). Sehingga pelakunya akan diberi pahala oleh Allah ﷻ. (Kitab Al-Umm 2/183).

Dhuha adalah nama untuk waktu. Secara bahasa “Dhuha” diambil dari kata ad-Dhahwu [arab: الضَّحْوُ] artinya siang hari yang mulai memanas.

Allah berfirman:

وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى

“Di surga kamu tidak akan menglami kehausan dan kepanasan karena sinar matahari” (QS. Thaha: 119).

Shalat dhuha adalah shalat sunnah yang dianjurkan dan dikerjakan di waktu dhuha, yaitu awal dari waktu siang hingga matahari meninggi.

Dhuha secara etimologi adalah waktu ketika matahari terbit hingga siang. Sedangkan menurut ulama fikih, Dhuha adalah waktu ketika matahari meninggi hingga waktu zawal (bergesernya matahari dari tengah-tengah langit). Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:221.

Shalat rawatib adalah shalat-shalat sunnah yang senantiasa dijaga dan dirawat atau dikerjakan oleh Rasulullah ﷺ baik sebelum atau sesudah shalat fardhu.

Ketahuilah, bahwa Sunnah-sunnah Rawatib sangat ditekankan untuk dikerjakan dan makruh bila ditinggalkan. Orang yang terus menerus tidak mengerjakannya, kredibelitasnya runtuh, menurut para ulama. Dan karena itu, ia berdosa. Sebab, meninggalkannya secara terus-menerus menunjukkan lemahnya agama orang tersebut, dan ketidakperduliannya terhadap agamanya.

Hukum meninggalkan shalat rawatib:
– Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan berdosa.
– Ulama lainnya menyatakan tidak berdosa karena hukumnya sunnah, tetapi dia terluput dari kebaikan yang banyak. Pendapat ini yang lebih kuat.

Rasulullah ﷺ melarang berbagai jenis jual beli yang mengandung kecurangan, sehingga berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Demikian pula jual beli yang mengandung penipuan, sehingga
menimbulkan kedengkian, pertengkaran, dan permusuhan di antara kaum Muslimin. Antara lain:

1. Jual beli barang yang belum diterima. Seorang Muslim tidak boleh membeli barang kemudian menjualnya kembali saat barang itu belum ada di tangannya. Rasulullah bersabda,

“Jika engkau membeli barang, jangan menjual kembali sebelum barang itu engkau terima”. (HR. Ahmad,3/402, Ad-Daraquthni, 3/9)

Tidak ada silang pendapat, hukumnya Sunnah Muakkadah. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.” [HR. Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761 ].

Rasulullah ﷺ menganjurkan (untuk melaksanakan) Qiyam Ramadhan namun beliau tidak mewajibkan atas kaum Muslimin. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.

Hikmah adanya khiyar adalah adanya maslahat, terutama kapada pembeli. Berfaedah bagi pembeli dalam hak memilih baik bagi muslim maupun non muslim.

Khiyar maknanya memilih. Definisi secara syari’at: penetapan hak untuk melangsungkan atau membatalkan akad.

Khiyar ada beberapa jenis seperti khiyar majelis, khiyar syart dan khiyar Aib.

Ada beberapa pembahasan terkait dengan legalitas khiyar dalam transaksi
jual beli.

1. Selama penjual dan pembeli masih berada di tempat dan belum berpisah,
keduanya berhak atas khiyar. Khiyar adalah hak memilih untuk melaksanakan jual beli atau membatalkannya (khiyar majelis).

Shalat witir itu sunah muakkad (yang ditekankan) menurut jumhur Ulama. Dan diantara para ahli fikih ada yang mewajibkannya. Yang menunjukkan tidak wajibnya adalah apa yang diriwayatkan Bukhori, (1891) dan Muslim, (11) dari Tolhah bin Ubaidillah radhiallahu anhu berkata:

Ada seseorang mendatangi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan bertanya,”Wahai Rasulullah, tolong saya diberitahu apa yang Allah wajibkan shalat atas diriku? Maka beliau menjawab, “Shalat lima waktu. Kecuali anda melakukan sesuatu yang sunah.” Dalam redaksi Muslim, “Lima shalat sehari semalam. Bertanya,”Apakah adalah selain itu untuku? Beliau menjawab, “Tidak, kecuali shalat sunah untukmu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya menunjukkan bahwa shalat witir bukan wajib.”