Aqidah

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, katanya: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketika Allah menciptakan semua makhluk, maka ditulislah olehNya dalam suatu kitab, maka kitab itu ada di sisiNya di atas ‘Arasy, yang isinya: Bahwasanya kerahmatanKu itu dapat mengalahkan kemurkaanKu.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Telah mengalahkan kemurkaanKu” dan dalam riwayat lainnya lagi disebutkan: “Telah mendahului kemurkaanKu.” -maksudnya bahwa kerahmatan itu jauh lebih besar daripada kemurkaanNya. (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Maksudnya “KerahmatanKu itu mengalahkan atau mendahului kemurkaanKu” itu ialah bahwa kemurkaan Allah Ta’ala ataupun keridhaanNya itu kembali kepada pengertian iradah yakni kehendak Allah sendiri. Jadi sudah menjadi kehendak Allah bahwa pahala itu tentulah diberikan kepada orang yang mentaatiNya, sedangkan seorang hamba Allah yang memperoleh kemuliaan dari Allah itu berarti mendapatkan keridhaan serta kerahmatanNya. Sebaliknya jika Allah berkehendak menyiksa orang yang melakukan kemaksiatan itupun sudah sepatutnya, sedang kehinaan yang diterima oleh manusia semacam itulah yang dinamakan kemurkaan Allah. Jadi pengertian mendahului dan mengalahkan di sini ialah karena banyaknya kerahmatan dan apa saja yang terkandung dalam makna rahmat atau kasih sayang Allah itu.

Ghuluw ( sikap berlebihan ) terhadap ahli ilmu dan orang shalih, sebagaimana firman Allah :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ

” Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar “. ( QS. an-Nisa : 171 ).

11-12. Mengambil Qiyas ( analogi ) yang Salah Dan Mengingkari Qiyas ( analogi ) yang Benar.

Berargumen dengan kias yang salah, seperti perkataan mereka:

إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا

“Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga”. ( QS. Ibrahim : 10 ).

Membuang analogi yang benar, kesamaan masalah ini dan masalah sebelumnya yaitu tidak paham kompromi masalah dan tidak paham perbedaan masalah.

Dari Umar bin Alkhaththab Radhiyallahu’anhu, katanya: “Kepada Rasulullah ﷺ disampaikanlah tawanan perang. Tiba-tiba ada seorang wanita dari golongan kaum tawanan itu berjalan ketika menemukan seorang anak yang juga termasuk dalam kelompok tawanan tadi. Wanita itu lalu mengambil anak tersebut lalu diletakkannya pada perutnya, kemudian disusuinya. Rasulullah ﷺ lalu bersabda: “Adakah engkau semua dapat menyangka bahwa wanita ini akan sampai hati meletakkan anaknya dalam api?” Kita -yakni para sahabat- menjawab: “Tidak, demi Allah -maksudnya wanita yang begitu sayang pada anaknya, tidak mungkin akan sampai meletakkan anaknya dalam api.” Selanjutnya beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah itu lebih kasih sayang kepada sekalian hamba-hambaNya daripada kasih sayangnya wanita ini kepada anaknya.” (Muttafaq ‘alaih)

– Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

10. Mereka Menjuluki Ahli Agama Islam dengan Kurang Pemahaman dan Tidak Punya Hafalan (Tidak Pandai).

Berargumen atas batilnya agama dengan sebab kurangnya pemahaman ahlinya dan tidak punya hafalan, sebagaimana perkataan mereka:

بَادِيَ الرَّأْيِۚ

Yang dangkal pemikiran. ( QS. Hud : 27 ).

Dunia merupakan tempatnya ujian dan sunnatullah yang pasti terjadi. Bahkan orang-orang terpilih seperti para Nabi ﷺ, semuanya diuji dengan berbagai musibah dan cobaan.

Ujian bermacam-macam seperti firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Ujian merupakan wasilah untuk membedakan antara orang-orang yang beriman dengan orang yang yang lalai. Maka, salah satu diantara ujian adalah pembeda orang yang beriman atau sekedar pengakuan.

– Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

8. Mereka berdalil batilnya sesuatu ketika yang mengikutinya hanyalah orang-orang yang lemah.

Sebagaimana firman Allah ﷻ:

قَالُوٓا۟ أَنُؤْمِنُ لَكَ وَٱتَّبَعَكَ ٱلْأَرْذَلُونَ

Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?”. (QS Asy-Syu’ara ayat 111).

Dan firman-Nya :

أَهَؤُلاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا

“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka “. (QS. al-An’am : 53 ).

Maka Allah membantahnya dengan firman-Nya :

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

“Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” . (QS. al-An’am : 53 ).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu atau dari Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhuma -yang merawikan Hadis ini ragu-ragu apakah dari Abu Hurairah atau dari Abu Said, tetapi keragu-raguan semacam ini tidak membahayakan shahihnya hadis dalam diri sahabat, sebab semua itu adalah orang-orang adil, katanya: “Ketika terjadi perang Tabuk, maka orang-orang sama menderita kelaparan, lalu mereka berkata: “Ya Rasulullah bagaimana andaikata Tuan izinkan saja kita menyembelih unta-unta kita, kemudian kita dapat bersama-sama makan dan berminyak -dengan lemaknya. Rasulullah ﷺ lalu bersabda: “Lakukanlah itu -yakni sembelihlah-.” Kemudian datanglah Umar Radhiyallahu’anhu lalu berkata: “Ya Rasulullah, jikalau Tuan membolehkan itu dilaksanakan, maka berkuranglah kendaraan yang dapat dinaiki, tetapi panggillah orang-orang itu dengan membawa sisa-sisa bekalnya sendiri, kemudian berdoalah kepada Allah untuk mereka agar mendapatkan keberkahan, barangkali Allah akan memberikan keberkahan dalam makanan mereka.” Rasulullah ﷺ lalu bersabda: “Ya.” Beliau ﷺ meminta didatangkan selembar kulit kering kemudian dibeberkannya, lalu menyuruh orang-orang itu meletakkan sisa-sisa bekalnya. Di situ ada seorang yang datang dengan membawa segenggam gandum, yang lainnya datang dengan segenggam kurma, yang lainnya pula dengan sekerat roti, sehingga berkumpullah di atas kulit tadi sekadar makanan yang amat sedikit. Selanjutnya Rasulullah mendoakan agar makanan itu mendapatkan keberkahan Allah, lalu beliau ﷺ bersabda: “Ambillah itu di masing-masing wadahmu.” Orang-orang sama mengambilnya di wadahnya sendiri-sendiri sehingga tidak sebuah wadah pun yang mereka tinggalkan di kalangan tentara itu melainkan sudah diisi penuh-penuh. Mereka dapat makan sampai kenyang dan masih ada sisa kelebihannya. Seterusnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Saya menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya saya adalah Rasulullah. Tiada seorang hamba pun yang menemui kedua kalimat syahadat itu -setelah matinya nanti-, sedangkan ia tidak ragu-ragu, lalu ditolak dari masuk syurga -maksudnya orang yang diketahui mempunyai keyakinan yang mantap mengenai dua kalimat syahadat itu, pasti tidak terhalang untuk masuk syurga-.” (Riwayat Muslim)

Mereka berhujjah dengan nenek moyang mereka.

Sebagaimana firman Allah ﷻ:

قَالَ فَمَا بَالُ ٱلْقُرُونِ ٱلْأُولَىٰ

Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (Surat Thaha ayat 51).

Dan firman-Nya :

مَّا سَمِعْنَا بِهَٰذَا فِىٓ ءَابَآئِنَا ٱلْأَوَّلِينَ

“Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti Ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu”. (Al muminuun ayat 24)

Termasuk kaidah besar yang mereka yakini, mereka terpedaya dengan jumlah yang banyak.

Mereka berhujjah benarnya sesuatu karena diikuti oleh orang banyak dan mereka berdalil batilnya sesuatu karena yang mengikutinya sedikit dan asing. Maka nabi pun membawa sesuatu yang bertentangan dengan mereka dan menjelaskannya pada beberapa tempat di dalam Al Qur’an.