بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab: 𝕀𝕘𝕙𝕠𝕥𝕤𝕒𝕥𝕦𝕝 𝕃𝕒𝕙𝕗𝕒𝕟 𝕄𝕚𝕟 𝕄𝕒𝕤𝕙𝕠𝕪𝕚𝕕𝕚𝕤𝕪 𝕊𝕪𝕒𝕚𝕥𝕙𝕒𝕟
(Penolong Orang yang Terjepit – Dari Perangkap Syaitan)
Karya: Ibnul Qayyim al-Jauziyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: 17 Rajab 1446 / 17 Januari 2025.



Bab 13 – 8: Tipu Daya Setan: Siasat

Diantara tipu daya setan adalah
siasat, makar dan penipuan yang mengandung penghalalan apa yang diharamkan Allah dan membebaskan diri dari kewajiban serta menentang apa yang diperintah dan dilarangNya.

Siasat Hilah

Hilah (Berkilah atau merekayasa hukum) atau akal-akalan terhadap hukum yang telah Allâh Ta’ala tetapkan. Padahal Allah ﷻ mengetahui segala sesuatu.

Lanjutan beberapa bentuk akal-akalan yang dimaksud antara lain:

– Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Pengubahan bentuk dan nama berbagai hal yang diharamkan.

Sungguh tidaklah Allah mengharamkan berbagai muharramat tersebut juga lainnya, kecuali karena hal-hal itu mengandung bahaya dan kerusakan agama dan duniawi. Dan Allah tidak mengharamkannya karena nama dan bentuknya. Di samping itu, semua mengetahui bahwa berbagai kerusakan itu tergantung pada hakikatnya, ia tidak hilang hanya karena diubahnya nama serta bentuknya. Seandainya berbagai kerusakan itu bisa hilang dengan berubahnya bentuk dan namanya, niscaya Allah tidak melaknat orang-orang Yahudi yang mengubah bentuk lemak dan namanya dengan mencairkannya sampai menjadi minyak lalu mereka makan dari harganya, dan mereka berkata, “Kami tidak makan lemak.” Demikian pula dengan pengubahan bentuk penangkapan ikan pada hari Sabtu dengan mengambil tangkapan pada hari Ahad.

Pengubahan bentuk dan nama berbagai hal yang diharamkan dengan masih tetapnya substansi sesuatu itu, justru semakin menambah kerusakan yang karenanya sesuatu itu diharamkan, disamping hal itu juga mengandung penipuan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berarti menisbatkan makar, penipuan dan nifaq kepada syariat dan agama-Nya, dan bahwa Dia mengharamkan sesuatu karena kerusakan yang bakal ditimbulkannya, tetapi membolehkan sesuatu yang menimbulkan kerusakan jauh lebih besar.

Karena itu Ayyub As-Sakhtiyani berkata, “Mereka menipu Allah seperti mereka menipu anak-anak, seandainya mereka melakukan hal itu secara apa adanya tentu akan lebih ringan (masalahnya).”

Bisyr bin As-Siri -beliau adalah Syaikh Imam Ahmad- berkata, “Aku merenungkan masalah ilmu, ternyata ia adalah hadits dan pendapat. Adapun hadits maka aku dapati berupa peringatan para nabi dan rasul, peringatan mati, peringatan Rububiyah Allah, kemuliaan dan keagunganNya, peringatan surga dan neraka, halal dan haram serta anjuran untuk menyambung tali silaturrahim dan memperbanyak kebaikan. Lalu aku melihat masalah pendapat, maka aku dapati di dalamnya adalah makar, penipuan, kekikiran, pendiskriditan kebenaran, mengenyampingkan agama, penggunaan siasat, pemutusan tali silaturrahim dan keberanian melakukan hal-hal yang diharamkan.”

Penjelasan:

Akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla.

Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal menurut Mu’tazilah adalah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan (mengalahkan) dalil-dalil syar’i.

Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.

– Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Abu Daud berkata, “Aku mendengar Ahmad bin Hambal, saat disebutkan para pelaku siasat, maka beliau berkata, ‘Mereka bersiasat untuk membatalkan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam’.”

Dan pendapat yang daripadanya siasat diambil, yang mengandung pembebasan dari apa yang diwajibkan Allah serta menghalalkan apa yang diharamkan Allah, maka itulah pendapat yang para salaf sepakat untuk mencela dan merendahkannya.

Harb meriwayatkan dari Asy-Sya’bi bahwasanya ia berkata, “Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Jauhilah olehmu (ucapan) ‘apa pendapatmu’, ‘apa pendapatmu’, karena sesungguhnya kaum sebelum kamu telah binasa karena ‘apa pendapatmu’, ‘apa pendapatmu’, dan janganlah kamu membandingkan sesuatu dengan yang lainnya, sebab akan menggelincirkan telapak kaki setelah ia teguh’.”

Dari Asy-Sya’bi dari Masruq ia berkata, “Abdullah berkata, Tidaklah berlalu suatu tahun kecuali tahun sesudahnya lebih buruk daripadanya.’ Aku tidak mengatakan, ‘Seorang pemimpin lebih baik daripada pemimpin lain’, atau, ‘Suatu tahun lebih subur dari tahun yang lain’, tetapi (masalahnya adalah) kematian orang-orang terbaik dan ulama-ulama kalian, lalu timbullah suatu kaum yang mengukur semua masalah berdasarkan pendapat mereka, sehingga Islam menjadi hancur dan binasa.”

Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “Jauhilah orang-orang yang suka berpendapat, karena mereka adalah musuh Sunnah, hadits-hadits itu menyuruh mereka menghafalnya, dan sebagian mereka enggan memperhatikannya, tetapi mereka malu ketika ditanya untuk mengatakan. ‘Aku tidak tahu’, maka mereka pun memusuhi Sunnah dengan pendapat mereka, karena itu jauhilah mereka, jauhilah mereka.”

Penjelasan:

#) Abdullah yang dimaksud adalah Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu, karena yang meriwayatkan adalah sahabat dari Kufah.

Ucapan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu terbukti benar karena kematian ulama, melahirkan generasi tanpa ilmu yang berhukum berdasarkan pendapatnya.

Akal ditempatkan secara tepat pada posisinya. Walau memiliki keterbatasan, logika dan akal sehat tidak diremehkan, tak juga diperlakukan berlebihan sehingga menjadikan standar kebenaran agama semata-mata dari akal. Karenanya akal tetap memerlukan bimbingan wahyu, baik Al Quran maupun As Sunnah.

Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dan keluarga kita dari perangkap setan. Aamiin.

Penjelasan lengkapnya silakan merujuk terjemah Kitab Ighotsatul Lahfan halaman 320-321.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم