بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Khusus – Al Khor
Al-Khor, 11 Jumadil Awwal 1446 / 13 November 2024
Bergandengan Tangan ke Tujuan
Sesi 1 oleh Ustadz Nefri Abu Abdillah 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Setelah memuji Allâh dan bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada kita berupa kesehatan dan kesempatan untuk menghadiri majelis ilmu. Ustadz memotivasi hadirin dalam mengawali kajian ini dengan perkataan Imam Ibnu Hazm 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 (dari Andalusia), beliau berkata cita-citaku tertinggi adalah agar aku bisa menyebarkan ilmu ke seluruh bumi dan menyebarkan di kota dan desa-desa dan menyebarkan aqidah yang shahih di kalangan mereka (Syiar A’laminubala – Imam Adzahabi).
Judul kajian ini mengandung kata bergandengan tangan dan koordinat tujuan, ini mengandung makna khissi maupun maknawi, baik bermakna bergandengan tangan secara fisik atau berusaha bersama untuk menggapai (koordinat) tujuan akhir kita berupa surga.
Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan Bilal Ibnu rabbah dalam perang Khaibar untuk mengumumkan di hadapan manusia prinsip: ketahuilah tidak masuk surga kecuali orang yang memiliki jiwa yang selamat (muslim yang beriman).
Apa yang dimaksud dengan jiwa yang muslim? Yaitu orang yang bersyahadat, “Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah” dan tidak melakukan pembatal-pembatalnya. Karena orang yang mengucapkan “Asyhadu alla ilaaha illallah” tapi dia melakukan pembatalnya seperti syirik besar, maka tentu tidak masuk di dalam kategori نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ di sini.
Maka, prinsip bergandengan tangan ini adalah pekerjaan rumah tangga kaum muslimin agar menggapai tujuan bersama yaitu surga yang prinsip utamanya adalah taqwa. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 10:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam Hadits Shahih Al-Bukhari No. 5552:
تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).”
Maka, Nilai persaudaraan tercermin dari hubungan baik, nilai persaudaraan juga terlihat dari keinginan untuk berbagi, tolong menolong yang saling menguntungkan, kepedulian terhadap perasaan orang lain, serta keterlibatan dalam usaha amal.
Beberapa prinsip dalam bergandengan tangan antara lain:
1. Hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam masalah fiqh yang banyak ijtihad atau ranah perbedaan seharusnya disikapi dengan lapang dada.
Hal ini banyak dicontohkan para salaf dalam memahami perbedaan dalam berijtihad hukum seperti menggerakkan jari atau posisi tangan saat sujud dan banyak permasalahan lainnya. Bahkan di zaman sahabat tatkala menafsirkan perkataan Rasulullah ﷺ:
لَا يُصَلِّيَنَّ اَحَدُكُمْ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِى قُرَيْظَة
“Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Pada akhirnya para sahabat berselisih pendapat karena keadaan yang memaksa karena jika dilanjutkan waktu ashar sudah habis. Jika shalat di jalan akan menyelisihi perkataan Rasulullah ﷺ. Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah ﷺ Beliau tidak menyalahkan salah satu pikiran sahabat-sahabatnya, malahan memberikan penghargaan kepada keduanya atas usaha mencari kebenaran. Inilah prinsip bergandengan tangan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ.
2. Salah satu semangat para ulama dalam menuntut ilmu tercermin dalam usaha mereka untuk belajar dengan banyak guru.
Kita tidak akan tahu bahwa pendapat itu salah atau benar apabila kita tidak mebandingkan dengan yang lain atau mendapatkan faidah dari yang lain. Hammad bin Zaid berkata,
إنك لا تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره
“Sesungguhnya engkau tidak mengetahui kesalahan gurumu sampai engkau berguru dengan yang lain.” (Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi I/414 no.607).
Beragama datang dari kebenaran, bukan dari satu guru, maka siapapun yang menyampaikan jika sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka diambil ilmunya.
3. Hendaklah tetap bergandengan tangan ketika berbeda dalam urusan duniawi. Seperti halnya dalam masalah hutang piutang.
Sesama Ahlussunnah dan kaum muslimin hendaknya mengesampingkan perbedaan urusan duniawi guna mengeratkan genggaman tangan kaum muslimin.
Kita lihat teladan dari Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu’anhuma dalam perang shifin. Seperti dijelaskan imam Adzahabi dan Ibnu Katsir dalam Al bidayah wa nihayah.
Muawiyah bahkan menolak tawaran tambahan pasukan perang dari Romawi untuk memerangi Ali. Karena beliau lebih mengedepankan Ali sebagai sesama muslim meskipun sedang dalam suasana konflik.
Bergandengan Tangan di Akhirat
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Azumar ayat 73:
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ رَبَّهُمْ إِلَى ٱلْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَٰبُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَٱدْخُلُوهَا خَٰلِدِينَ
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”.
Rasulullah ﷺ bersabda :
“Akan masuk surga dari umatku 70.000 atau 700.000 (keraguan dari perawi hadits), mereka saling bergandengan tangan di antara mereka sehingga masuklah awal mereka dan akhir mereka ke dalam surga wajah-wajah mereka terang seperti bulan di malam bulan purnama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semoga Allah ﷻ memudahkan perjalanan kita bersama-sama menuju surgaNya. Aamiin.
Sesi 2 bersama Ustadz Harits Abu Naufal 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Ustadz mengawali kajian dengan menyampaikan syukur kepada penyelenggara atas kesempatan yang diberikan. Siapa yang tidak tahu berterima kasih pada orang yang telah berbuat baik padanya, maka ia sulit pula bersyukur pada Allah.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Abu Daud no. 4811 dan Tirmidzi no. 1954).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, ‘Sungguh Allah Ta’ala memasukkan tiga orang ke dalam surga lantaran satu anak panah. (Ialah) orang yang saat membuatnya mengharapkan kebaikan, orang yang menyiapkannya di jalan Allah Ta’ala, dan orang yang memanahkannya di jalan-Nya.’”
Hadis ini merupakan penjelasan mengenai keutamaan orang-orang yang bekerja sama dalam kebaikan. Sesungguhnya setiap orang yang bekerjasama dalam melakukan kebaikan, niscaya ia memperoleh pahala sesuai kontribusinya dari Allah ﷻ.
Hadirin Rahimakumullah… Tempat kita di surgaNya sangat ditentukan oleh teman kita di dunia.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an QS. Az-Zukhruf Ayat 67:
اَلۡاَخِلَّاۤءُ يَوۡمَٮِٕذٍۢ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ اِلَّا الۡمُتَّقِيۡنَ
Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.
Surat Al-Furqan Ayat 28:
يَٰوَيْلَتَىٰ لَيْتَنِى لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku).
Yang dimaksud dengan si fulan, adalah setan atau orang yang telah menyesatkannya di dunia. Yakni mengapa aku malah memusuhi manusia yang paling tulus kepadaku, paling baik dan paling lembut kepadaku (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan aku malah berteman dengan musuhku yang tidak memberiku manfaat apa-apa selain kecelakaan, kerugian, kehinaan dan kebinasaan.
Ada lelaki yang paling berjasa dalam kebangkitan Islam, tetapi dia masuk neraka yaitu Abi Thalib karena mati bukan dalam keadaan muslim. Hal ini dikarenakan teman-teman yang jelek yang mempengaruhinya.
Disebutkan, siksa paling ringan yang didapat ahli neraka ini berupa api yang diletakkan di tumitnya, tapi mampu mendidihkan otaknya. Beberapa ahli tafsir mengatakan, sandal neraka yang mampu mendidihkan otak. An-Nu’man bin Bisyr 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾 mengatakan bahwa ia mendengar Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوضَعُ فِي أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ ، يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
“Sesungguhnya seringan-ringan siksaan ahli neraka di hari kiamat, ialah orang yang diletakkan bara api di bawah tumitnya namun mampu membuat otaknya mendidih.” (HR Bukhari)
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Mukhtashar Shahih Muslim, orang yang dimaksud dalam hadits di atas adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad ﷺ.
Demikian juga kisah Heraklius yang mengakui kebenaran Nabi ﷺ melalui Abu Sufyan, tetapi terhalangi hidayahnya karena temannya yang buruk.
Di akhir percakapannya dengan Abu Sufyan, dia berkata: Jika yang telah kau katakan adalah benar, maka ia akan dapat memiliki tempat kedua kakiku berdiri ini. Aku tahu bahwa ia akan diutus. Aku tidak menyangka ternyata dia dari bangsa kalian. Jika saja aku dapat memastikan bahwa aku akan bertemu dengannya, niscaya aku memilih bertemu dengannya. Jika aku ada di sisinya, pasti aku cuci kedua kakinya (Sebagai bentuk penghormatan).
Nikmat Teman yang baik adalah Hak Allah ﷻ
Karena yang mampu menyatukan hati-hati kaum muslimin adalah Allah ﷻ.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal Ayat 63:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا مَّآ أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُۥ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
Ibnu Abbas berkata : Sesunguhnya nikmat telah dikufuri, dan kasih sayang telah diputuskan, dan sesungguhnya Allah ta’ala mempersatuhan diantara hati-hati hamba-Nya, dan jika Dia mendekati hati-hati hamba-hamba Nya niscaya tidak akan terusik oleh hal apapun selamanya, kemudian Ibnu Abbas mengutip firman Allah : { لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ } “Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka”.
Dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 103:
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Maka, jika hanya mencintai keluarganya saja, sementara dia mempunyai tetangga dan kerabat dari kaum muslimin, tetapi dia tidak mencintainya, maka pada hakikatnya dia tidak mendapatkan nikmat bersaudara dari Allah ﷻ.
Maka materi yang pertama diajarkan setelah tauhid pada saat membangun peradaban islam adalah persaudaraan di kalangan kaum muslimin. Rasulullah ﷺ bersabda dalam haditsnya:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أيُّهَا النَّاسُ : أَفْشُوا السَّلامَ ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلاَمٍ )) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .
Dari ‘Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, tebarkanlah salam, bagikanlah makanan, dan shalatlah pada waktu malam ketika orang-orang sedang tidur, niscaya kalian pasti masuk surga dengan selamat.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).
Dikuatkan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar, hingga banyak kisah kehebatan para sahabat dalam hal ini. Sampai isterinya sendiri ditawarkan saking cintanya diantara sesama mereka.
Bagaimana Cara Mencari Teman yang Baik
1. Mencari Teman atas Dasar Taqwa, bukan dunia.
Efek pertemanan yang baik seharusnya diprioritaskan dalam mencari sahabat, bukan sekedar mencari teman kerja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadapa baik dan buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
Sahabat yang saleh akan selalu membenarkan dan menasehati kita apabila salah. Inilah sahabat yang sesungguhnya, bukan hanya sahabat saat bersenang-senang saja atau sahabat yang memuji karena basa-basi saja. Sebuah ungkapan arab berbunyi:
ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ
“Shadiqaka man shadaqaka laa man shaddaqaka”
“Sahabat sejati-mu adalah yang senantiasa jujur (kalau salah diingatkan), bukan yang senantiasa membenarkanmu”
Akan tetapi, prioritas kaum muslimin zaman ini adalah urusan dunia, maka siapa yang membantu dalam hal materi biasanya lebih diprioritaskan dibanding san penasehat urusan akhirat.
2. Saling toleransi atau memahami jika teman kita berbuat salah.
Yaitu orang yang memaafkan manusia dan berbuat kebaikan. Karena manusia adalah manusia, tempatnya salah dan bisa mengecewakan.
Maka Allah ﷻ memulai dengan kata sabar, disaat menyuruh mencari pertemanan yang shaleh. Bahkan tatkala Rasulullah ﷺ ditawarkan malaikat untuk menghimpit gunung kaum musyrikin, beliau tidak menerima dengan harapan ada yang masih bisa terbuka hatinya. Maka, bagaimana sikap Rasulullah ﷺ yang sayang kepada orang-orang kafir, bagaimana tidak lebih sayangnya dengan kaum muslimin?
Inilah sifat kelapangan dada Rasulullah ﷺ yang seharusnya menjadi teladan kita. Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan nasehat akan dua hal yang penting, yaitu dua hal yang harus selalu kita lupakan: kebaikan kita kepada orang lain dan keburukan orang lain kepada kita, dan dua hal yang harus kita ingat: kebaikan orang lain kepada kita dan keburukan kita kepada orang lain.
Maka dia akan melihat orang lain selalu memiliki kebaikan.
3. Memberitahukan kecintaan kita kepada orang lain.
Salah satu perintah dalam Islam adalah menyatakan cinta karena Allah.
Dari Habib bin ‘Ubaid, dari Miqdam ibnu Ma’dy Kariba –dan Habib menjumpai Miqdam ibnu Ma’di Kariba-, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ أَحَبَّهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 421/542, shahih kata Syaikh Al Albani)
Inilah ajaran Islam yang mengajarkan untuk saling mencintai. Ketika kita mencintai saudara kita karena Allah, maka ungkapkanlah cinta tersebut dengan mengatakan, “Inni uhibbuk” atau “Inni uhibbuk fillah”.
Lalu ketika saudaranya mendengar, maka balaslah dengan mengucapkan “ahabbakallahu alladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah turut mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintaiku karena-Nya).
Kalau sesama muslim aja kita disuruh mengungkapkan cinta, apalagi kepada isteri sendiri yang sudah bertahun tahun hidup bersama. Inilah hal sederhana yang memberi efek yang luar biasa bagi hidup kita.
4. Saling Menasihati
Tidak ada manusia yang sempurna. Dan jangan sampai orang jenuh untuk menasehati kita karena selalu membela. Orang yang paling mencintai kita sejatinya adalah orang yang paling sering menasehati kita.
Abdullah Ibnul Mubarak pernah berkata, bukti Allah sayang kepada kita adalah difakihkan dalam agama, atau mempunyai akhlak yang baik, atau teman yang baik yang selalu menasihati. Jika ketiganya tidak ada maka dia lebih baik diam, tetapi jika diam pun dia tidak bisa maka mati lebih baik. Karena jika beraktifitas akan menghasilkan kesalahan dan dosa.
Maka saling menasehati adalah salah satu kecintaan Allah ﷻ kepada kaum muslimin. Berbahagialah, jika selalu ada yang mengajak kebaikan.
5. Mementingkan sahabat kita (Itsar).
Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam urusan dunia walau kita pun sebenarnya butuh.
Contohnya dapat dilihat pada orang Muhajirin dan Anshar dalam ayat,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).
Yang dimaksudkan ayat ini adalah ia mendahulukan mereka yang butuh dari kebutuhannya sendiri padahal dirinya juga sebenarnya butuh.
Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali air”.
Kemudian Rasulullah menawarkan sahabat yang dapat menjamunya, tetapi ternyata di rumah juga hanya tinggal sedikit.
Maka sahabat Anshar ini berkata kepada istrinya, “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya.
Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar.
Rasulullah ﷺ mengabarkan, malam itu Allah tertawa atau takjub dengan perilaku suami isteri berdua. Lalu Allah menurunkan ayat 9 surat Al-Hasyr di atas. Inilah itsar!
Maka, terkadang seseorang pecah kongsi karena bisnis. Padahal keduanya saling menikmati hasilnya. Tatkala diuji kerugian, maka keduanya saling menjatuhkan…
Inilah persahabatan yang sejati karena dunia! Bersahabat lah karena Allah ﷻ yang tetap bertahan meskipun tidak mendapatkan manfaat dunia. Baarokallohufiikum.