بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
𝕂𝕒𝕛𝕚𝕒𝕟 ℝ𝕒𝕓𝕦 𝕄𝕒𝕝𝕒𝕞
Penceramah: Abu Abdillah Nefri bin ‘Ali bin Muhammad Sa’id 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Edisi: Rabu, 5 Rabi’ul Awal 1445 / 20 September 2023
Membahas: Mata air yang Jernih
Diantara Bentuk Penyimpangan Dalam Tauhid Asma Dan Sifat:
a) Meyakini Ada Yang Mengetahui Ilmu Ghaib
Selain Allâh ﷻ Hanya Allah saja yang memiliki nama Al-‘Aliim atau ‘Aalimu Al-Ghaib (Zat Yang Maha Mengetahui perkara gahib). Selain Allâh ﷻ tidak satupun yang mengetahui perkara ghaib, tidak malaikat, tidak para nabi, apalagi selain mereka.
Sebagian manusia ada yang menyangka bahwa ada figur tertentu yang mengetahui perkara ghaib. Seperti para dukun diyakini tahu barang hilang, mengetahui nasib seseorang bahagia atau sengsara, mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, mengklaim tahu kapan hari kiamat. Ini bentuk kesyirikan dalam Asma dan Sifat. Sungguh kunci-kunci perkara ghaib hanya ada disisi Allâh ﷻ. Adapun manusia sangat lemah dan terbatas. Bahkan tentang dirinya sendiri ia sangat bodoh, namun karena proyek bisnis meraup untung dan ingin dipandang mulia, dianggap wali dan orang sakti padahal mereka pendusta. Allâh ﷻ berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. (QS. Luqman: 34)
۞ وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An’am: 59)
قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗوَمَا يَشْعُرُوْنَ اَيَّانَ يُبْعَثُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS An-Naml ayat 65).
عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ
Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu. (QS. Al-Jin: 26)
“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami”. Katakanlah: “Pasti datang, demi Tuhanku Yang Mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu.” (QS. Saba: 3)
Para Nabi, para Malaikat dan jin sekalipun tidak tahu perkara ghaib.
قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُ ۛاِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ
Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 188)
يَعْمَلُوْنَ لَهٗ مَا يَشَاۤءُ مِنْ مَّحَارِيْبَ وَتَمَاثِيْلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُوْرٍ رّٰسِيٰتٍۗ اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا ۗوَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bbersyukur. QS. Saba: 13)
Permasalahan ghaib dibagi menjadi dua:
- Ghoib Hakiki: Tidak diketahui oleh siapapun kecuali hanya Allâh ﷻ. Seperti hari kiamat. Masalah takdir.
- Ghoib nisbi: informasi ghaib yang diketahui oleh Nabi dan malaikat, tetapi telah diinformasikan Allâh ﷻ. Seperti Penaklukan Konstantinopel terjadi seiring dengan akan terjadinya hari Kiamat.
Dari Abu Hurairah, ketika Malaikat Jibril datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya tentang perkara agama, Jibril alaihissalam berkata: “Wahai Rasulullah, kapan terjadi hari kiamat?
Rasulullah ﷺ menjawab: “Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui dari pada yang bertanya”. (HR. Bukhari (no. 50) Muslim (no. 8)
Demikian juga kisah Haditsul Ifki, Rasulullah ﷺ tidak mengetahui apakah tuduhan itu fakta atau benar, juga kisah ketika kalung ‘Aisyah d hilang, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabat untuk bantu mencari namun tidak ditemukan, ternyata kalung berada dibawah himpitan unta.
Oleh karenanya, siapa saja dari umat ini yang mengaku tahu perkara ghaib, barang hilang, hari kiamat maka ia telah berbuat syirik dan kekufuran kepada Allâh ﷻ. Bagi siapa saja yang membenarkan dan meyakini dengan hati ada dukun fulan tahu barang hilang atau apa yang akan terjadi esok hari, maka ia telah berbuat kesyirikan dalam kekhususan Allah Zat Yang Maha Mengetahui perkara Ghaib.
b) Menafikan Sifat ‘Uluww Bagi Allâh ﷻ.
Diantara nama Allâh ﷻ Yang Indah Al’Aliyy (Zat Yang Maha Tinggi), dengan sifat ‘Uluww ketinggian diatas makhluk-Nya. Allâh ﷻ adalah Zat Yang Ghaib dan tidak seorangpun yang mampu mengetahui tentang Zat-Nya secara hakiki, namun Allah k mengutus para Rasul untuk mengenalkan diri-Nya melalui wahyu Al-Quran dan As-Sunnah. Manusia pertama yang meragukan Allah di langit adalah Fir’aun. Fir’au mendustakan fitrahnya demi mengikuti ego dan hawa nafsunya. Allâh ﷻ berfirman:
“Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sungguh aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS. Ghaafir: 36-37)
Al-Quran sebagai kitab hidayah dan penjelas terbaik untuk manusia dari Allâh ﷻ Zat Yang Maha Sempurna, disampaikan dengan bahasa arab yang fasih oleh manusia paling fasih. Ayat ini diturunkan sudah semenjak zaman Rasulullah ﷺ, telah didengar dan diajarkan kepada para sahabat yang mayoritas mereka adalah orang-orang arab yang paling baik pemahaman mereka tentang makna Al-Quran. Namun tidak ditemukan satupun riwayat bahwa para sahabat bertanya tentang makna sifat Istiwa dan para sahabat tidak menafikan Zat Allâh ﷻ di ‘Arsy. Jika makna Istiwa’ tidak difahami, tentulah para sahabat akan bertanya meminta penjelasan kepada Nabi ﷺ. Allâh ﷻ berfirman:
“Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS. As-Syu’ara: 192-195)
Hanya orang-orang belakangan dari tokoh-tokoh filsafat, Jahmiyyah, ahlul kalam, sufi tarikat, as-sya’irah yang mendahulukan akal diatas wahyu, sehingga ada yang menolak ketinggian Allâh ﷻ, mereka mengatakan Allâh ﷻ tidak boleh dikatakan di A’rsy, jika di ‘Asry, berarti butuh tempat. Mereka men-tajsim Allah dengan kondisi makhluk. Sehingga lahirlah keyakinan ada dimana-mana, sampai menjadi sebuah film terlaris di Indonesia pada masanya “Tuhan Ada Dimana-Mana”. Mereka kebingungan dan mengatakan Allâh ﷻ tidak diatas tidak dibawah, tidak dikiri tidak dikanan, kalau begitu antara dan tiada, ragu dan membingungkan. Berkata Imam Az-Zahabi:
“Pendapat ahlu kalam belakangan, bahwa Allah bukan dilangit, tidak di ‘Arsy, tidak di atas tujuh lapis langit, tidak dibumi, tidak di dalam alam tidak pula di dalam alam, tidak terpisah dengan makhluknya, dan tidak melekat dengan makhluk. Mereka berkata, “Semua ini adalah sifat-sifat makhluk. Dan Allah suci dari Tajsim”. (Al-‘Uluw 1/143 ).
Kita cukup mengikut nash, Ittiba’ kepada dalil. Kita tundukkan akal sesuai petunjuk wahyu. Bukan berarti tidak memfungsikan akal, karena untuk ranah sifat-sifat Allah, termasuk hal yang mutasyabihat dalam hakikat, tapi muhkam dalam makna. Antara akal manusia dengan wahyu, laksana indra mata dengan cahaya. Mata manusia sebagus apapun, tanpa bantuan cahaya tak ada fungsinya, hanya bisa meraba-raba. Demikian juga akal tanpa bimbingan wahyu, hanya bisa menebak dan menerka. Sangat rugi manusia-manusia yang mendewakan akal dan menolak wahyu. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu’anha, Rasulullah ﷺ membaca firman Allâh ﷻ :
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayatayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orangorang yang berakal”. (QS. Ali-Imran: 7)
“Jika engkau melihat orang-orang yang suka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka merekalah yang dimaksud oleh Allah. Oleh karenanya berhati-hatilah dari mereka”. (Muttaafaq ‘Alaihi. Bukhari (no. 4547) Muslim (no. 2665).
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah orang-orang yang beriman dengan Mutasyabihat nya dan mereka beramal dengan ayat-ayat muhkam-nya”. (Al-Ibanah Al-Kubra, 2/604 (no. 779), Ibnu ‘Athiyyah t (w. 387 H)).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu”. (Al-Maidah: 101)
Dikisahkan oleh Sulaiman bin Yasar, bahwa seorang lelaki yang bernama Abdullah Sabiigh bin ‘Asal At-Tamimi Al-‘Iraqi, ia datang ke Madinah dan suka bertanya kepada orang-orang tentang ayat-ayat mutasyabihat dari Al-Quran. Maka Khalifah ‘Umar memanggil Sabigh dan memukulnya dengan pelepah kurma hingga berdarah kepalanya. Kemudian Sabiigh berkata:
“Wahai Amirul Mukminin! Cukuplah. Sungguh telah hilang penyakit bid’ah yang sebelumnya bercongkol di kepalaku”.
(Sunan Ad-Darimi 1/252 (no. 146). Perkara yang didiamkan Syari’at bukan karena lupa, merupakan rahmat Allah bagi kita. Maka kita tidak dibebani berdalam-dalam tentangnya (Ta’ammuq).
Demikianlah tauladan sikap tegas penguasa, Khalifah ‘Umar Radhiyallahu’anhu, dalam menutup celah kerusakan yang akan merugikan pribadi pembawa syubuhat dan menutup celah bid’ah ditengah ummat. Namun bagi Sabigh bin ‘Asal Radhiyallahu’anhu, hukuman itu benar-benar menyadarkannya, dia mengakui kesalahan, menerima kebenaran, dan jujur dalam taubatnya, tidak menyisakan dendam dan pembangkangan kepada Khalifah ‘Umar, dan ia benar-benar meninggalkan bid’ah dan pelakunya.
Diriwayatkan dari Ma’mar dan Imam Az-Zuhri, ketika muncul fitnah Khawarij, Sabigh (Subaigh) diprovokasi untuk bergabung dan mendukung aksi fitnah itu, Maka Sabigh menjawab: “Mustahil, sungguh Allah telah menjadikan nasehat (pukulan) hamba yang shaleh benar-benar bermanfaat bagiku’.
At-Tanbih wa ar-Rad ‘ala Ahli al-Hawa wa al-Bida’, 1/181, Abu Al-Husain Al-Malathi t (w. 377 H) .
Berikut beberapa perkataan para ‘Ulama As-Salaf terkait memahami ayat-ayat sifat; Berkata Ummu Salamah :
“Makna Istiwa sudah difahami, Adapun cara dan hakikatnya tidak bisa dinalar oleh akal. Menetapkan dan Beriman terhadap sifat Istiwa Allah hukumnya wajib, mengingkarinya adalah kekufuran”.
Lihat Kitab Al-‘Arsy 2/178 bab “Aqwal As-Sahabah” , karya Imam Az-Dzahabi
Imam Malik Rahimahullah berkata: “Hati-hati kalian dari perbuatan perkara bid’ah! Ada yang bertanya kepada beliau, Apa itu Bid’ah? Imam Malik bin Anas menjawab: “Ahlul bid’ah adalah orang-orang yang berbicara tentang nama-nama, sifat, perkataan, ilmu dan kekuasaan Allah, namun mereka tidak diam dalam perkara yang para sahabat dan tabi’in diam tentangnya”.
Al-Wajiz Fii ’Aqidati As-Salafu As-Shaleh 1/63. Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz Alu Syaikh.
c) Memalingkan Ayat-Ayat Tentang Sifat.
Membatasi Nama Dan Sifat Allâh ﷻ Dengan Jumlah Tertentu. Pemahaman menyimpang dalam Islam, yaitu menyamakan, meng-analogikan Allâh ﷻ dengan kondisi makhluk, menolak sifat Allâh ﷻ dengan berbagai dalih, atau menyerahkan makna kepada Allâh ﷻ tanpa diketahui maksud sama sekali (Tafwidh), ini bentuk penyimpangan yang membawa kepada firqah dan perpecahan dalam Islam. Ini adalah bendera dan keyakinan Kullabiyah, Mu’tazilah yang sering di klaim sebagai aqidah ahlu sunnah terkhusus yang mengaku “Aswaja Nusantara”.
Memahami sifat Allah, diimani dan ditetapkan sebagaimana datang dalam nash, tanpa di bayangkan (Tasybih, Tamsil dan Takyif), tidak ditolak (Ta’thil) dan tidak diukur dengan kondisi makhluk. Seperti sifat Istiwa Allah di ‘Arsy, sifat Nuzul ke langit dunia, Allah mendekat kepada makhluk sesuai kehendak-Nya, Allah memiliki sifat berbicara, sesuai kemuliaan dan kebesaran-Nya. Allâh ﷻ berfirman
“Sungguh Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptkan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia bersemayam diatas ‘Arsy.” (QS. Al-A’raf: 54)
d) Keyakinan Allah Tidak Berbicara, Allah Tidak Punya Bahasa, Keyakinan Al-Qur’an Makhluk Dan Terjemahan Nabi Muhammad ﷺ.
Bak pepatah “Kekufuran itu berasal dari lumpur yang sama”. satu kekufuran memanggil kekufuran yang lain. Pernah terjadi fitnah orang-orang mu’tazilah dizaman Imam Ahmad bin Hambal yang mengatakan Al-Quran adalah makhluk. Agar Al-Qur’an bisa mereka revisi dan diubah sekehendak nafsu mereka. Juga keyakinan Allâh ﷻ tidak berbicara alias bisu, maha suci Allâh ﷻ dari apa yang mereka tuduhkan. Allah Zat Yang Maha Perkasa berbicara kapan saja dengan tema apa saja yang Dia kehendaki dengan suara yang didengar.
Allâh ﷻ berfirman: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. (QS. An-Nisa: 164)
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi: 109).
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Luqkman: 27)
Imam Bukhari Rahimahullah menyebutkan Bab dalam kitab Shahihnya, tentang firman Allâh ﷻ : “Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?” Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar”, dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Saba: 23)
Kemudian beliau berkata: “Allah tidak mengatakan; “Apa yang telah diciptakan Rabb kalian”.
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Apabila Allah berbicara dalam bentuk wahyu, maka penduduk Langit mendengar sesuatu”.
Dari Abdullah bin Unais, Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah akan mengumpulkan semua hamba, kemudian Dia memanggil mereka dengan suara yang bisa didengar orang yang jauh sebagaimana didengar oleh yang dekat”. (Shahih Bukhari 9/141).
Mu’tazilah, Kullabiyah, Jahmiyah meyakini Al-Quran adalah bahasa jiwa Allâh ﷻ , liberal juga mengutarakan maksud yang sama, bahwa Al-Quran hanya terjemahan Muhammad ﷺ yang dipengaruhi budaya dan uslub penuturnya sebagai orang arab. Tujuan mereka satu yaitu untuk menghilangkan kesucian Al-Quran.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya”. (QS. As-Shaf: 8)
Syubuhat ahlu bida’, jika Allah berbicara berarti Allah punya mulut dan sama dengan makhluk. Mereka mentasybih dan menolak sifat Allah. Ini adalah kelaziman menurut akal mereka. Jika Allah Zat Yang Maha Kuasa menjadikan makhluk berbicara tanpa mulut, maka bagaimana lagi dengan Al-Khaliq.
e) Mencela Allâh ﷻ Dengan Sifat-Sifat Yang Tidak Layak Bagi-Nya
Kedustaan Yahudi, Nasrani dan sekte syiah serta yang serupa dengan mereka, mencela Allâh ﷻ dengan mengatakan Allâh ﷻ punya anak, padahal dalam kitabkitab samawi Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada mereka bahwa diantara nama Allah k adalah Zat Yang Maha Esa.
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah ” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah “. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling”? (QS. At-Taubah: 30)
Demikian juga keyakinan mereka tentang sifat Allâh ﷻ bahwa tangan Allâh ﷻ terbelenggu (pelit), Allah k istrirahat setelah keletihan mencipta langit dan bumi, Allâh ﷻ lupa dan ragu. Maha suci Allâh ﷻ dari keburukan keyakian serta dusta yang mereka ucapkan.
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki”. (QS. Al-Maidah: 64)