بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Daurah Umsaeed Jum’at Pagi
Ustadz Abu Tsabit Hari Susanto 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Messaied, 25 Rabi’ul Akhir 1445 / 10 November 2023


https://www.assunnah-qatar.com/wp-content/uploads/2023/11/Riyadhusholihin-Bab-Sabar-Hadits-43-46.mp3?_=1

Kajian Kitab Riyadhus Shalihin Bab Sabar

Hadis ke-43: Cobaan bagi Orang yang Beriman merupakan Bukti Allâh ﷻ Menghendaki Kebaikan.

43- وعن أنس رضي الله عنه قال‏:‏ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏:‏‏”‏إذا أراد الله بعبده خيراً عجل له العقوبة في الدنيا، وإذا أراد الله بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيامة‏”‏‏.‏

وقال النبي صلى الله عليه وسلم ‏:‏ ‏”‏إن عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله تعالى إذا أحب قوماً ابتلاهم، فمن رضي فله الرضى، ومن سخط فله السخط‏”‏ ‏(‏‏(‏رواه الترمذي وقال ‏:‏ حديث حسن‏)‏‏)‏‏.‏

43. Dari Anas Radhiyallahu’anhu, berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Jikalau Allah menghendaki kebaikan pada seseorang hambaNya, maka ia mempercepatkan suatu siksaan – penderitaan – sewaktu dunia, tetapi jikalau Allah menghendaki keburukan pada seseorang hambaNya, maka orang itu dibiarkan sajalah dengan dosanya, sehingga nanti akan dipenuhkan balasan – siksaannya – hari kiamat.”

Dan Nabi ﷺ bersabda – juga riwayat Anas Radhiyallahu’anhu: “Sesungguhnya besarnya balasan – pahala – itu sesuai besarnya bala’ yang menimpa dan sesungguhnya Allah itu apabila mencintai sesuatu kaum, maka mereka itu diberi cobaan. Oleh sebab itu barangsiapa yang rela – menerima bala’ tadi, ia akan memperolehi keredhaan dari Allah dan barangsiapa yang marah-marah maka ia memperolehi kemurkaan Allah pula.”

Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini Hadis hasan.

Dari hadits di atas, diambil benang merah, jika seorang hamba penuh dengan kemaksiatan tetapi hidupnya selalu enak dan tidak ada cobaan, maka itu adalah istidraj. Allâh ﷻ ulur waktunya untuk melakukan dosa-dosa dan menunda siksanya nanti di akhirat. Allâh ﷻ menginginkan keburukan pada orang tersebut. Sungguh, cobaan di dunia jauh lebih ringan daripada kelak di akhirat.

Inti ibadah dibangun atas rasa cinta kepada Allâh ﷻ, dari rasa cinta melahirkan ketaatan, tunduk kepada Allâh ﷻ. Sama halnya seseorang yang cinta mati kepada orang lain, akan tunduk dan mengikuti apa yang diinginkan oleh orang yang dicintainya.

Besarnya Pahala sebanding dengan Besarnya Musibah

Hadits di atas menjelaskan bahwa pahala dan kenikmatan yang akan diterima seorang hamba kelak di akhirat itu sesuai dengan kadar besar kecilnya cobaan dan musibah yang dia terima di dunia dan dia bersabar atasnya. Semakin besar ujian yang dihadapi, maka semakin besar pula balasan yang akan diterima.

Para ahli hikmah pernah berkata,

إِنَّمَا الأَجرُ عَلَى قَدرِ الصَّبرِ

Sesungguhnya pahala itu tergantung kepada kesabaran seseorang saat mendapatkan musibah”

Bukan berarti kita mempersulit diri, jika air sangat dingin untuk berwudhu, sementara ada air hangat, maka pilihlah yang memudahkan dalam beribadah.

Penengasan kaedah “Al-Jazaa-u Min Jinsil Amal” (Balasan itu sesuai dengan perbuatan). Artinya Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan keridhaan kepada hamba-Nya yang menerima ujian dan cobaan dengan keridhaan dan Allah akan memberikan kebencian kepada hamba-Nya yang menerima ujian dan cobaan dengan kebencian pula.

Kandungan Hadits :

1. Disegerakannya adzab di dunia merupakan tanda baik yang memang dikehendaki allah bagi hamba-Nya. Sebab ia menjadi penghapus dan penyebab dihilangkannya dosa.
2. Siksa akherat lebih parah dan lebih menyakitkan.
3. Manusia itu diuji sesuai dengan pemahaman agama mereka.
4. Bersabar atas berbagai musibah dan penyakit dapat menyucikan dosa.
5. Orang mukmin berkewajiban untuk ridha atas cobaan yang menimpanya dan tidak berputus asa atau marah karenanya.
6. Diantara tanda-tanda penghapusan dosa adalah kesabaran atas cobaan yg menimpa.

Hadits No. 44: Sunnahnya Menghibur Orang yang sedang dalam Kedukaan agar Berkurang Kesedihan Hatinya.

وعنْ أَنَسٍ رضي اللَّه عنه قال : كَانَ ابْنٌ لأبي طلْحةَ رضي اللَّه عنه يَشْتَكي ، فخرج أبُو طَلْحة ، فَقُبِضَ الصَّبِيُّ ، فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحةَ قال : ما فَعَلَ ابنِي ؟ قَالَت أُمُّ سُلَيْم وَهِيَ أُمُّ الصَّبيِّ : هو أَسْكَنُ مَا كَانَ ، فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ، ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فرغَ قَالَتْ : وارُوا الصَّبيَّ ، فَلَمَّا أَصْبحَ أَبُو طَلْحَة أَتَى رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَأَخْبرهُ، فَقَالَ: « أَعرَّسْتُمُ اللَّيْلَةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قال : « اللَّهمَّ باركْ لَهُما » فَولَدتْ غُلاماً فقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ : احْمِلْهُ حتَّى تَأَتِيَ بِهِ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، وبَعثَ مَعهُ بِتمْرَات ، فقال : «أَمعهُ شْيءٌ ؟ » قال : نعمْ ، تَمراتٌ فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَمضَغَهَا ، ثُمَّ أَخذَهَا مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا في في الصَّبيِّ ثُمَّ حَنَّكَه وسمَّاهُ عبدَ اللَّهِ متفقٌ عليه .

وفي روايةٍ للْبُخَاريِّ : قال ابْنُ عُيَيْنَة : فَقَالَ رجُلٌ منَ الأَنْصارِ : فَرَأَيْتُ تَسعة أَوْلادٍ كلُّهُمْ قدْ قَرؤُوا الْقُرْآنَ ، يعْنِي مِنْ أَوْلادِ عَبْدِ اللَّه الْموْلُود .

وفي روايةٍ لمسلِم : ماتَ ابْنٌ لأبِي طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ ، فَقَالَتْ لأهْلِهَا : لا تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بابنِهِ حتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ ، فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وشَرِبَ ، ثُمَّ تَصنَّعتْ لهُ أَحْسنَ ما كانتْ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذلكَ ، فَوقَعَ بِهَا ، فَلَمَّا أَنْ رأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعِ وأَصَابَ مِنْها قَالتْ: يا أَبَا طلْحةَ ، أَرَايْتَ لَوْ أَنَّ قَوْماً أَعارُوا عارِيتهُمْ أَهْل بيْتٍ فَطَلبوا عاريَتَهُم ، ألَهُمْ أَنْ يمْنَعُوهَا؟ قَالَ : لا ، فَقَالَتْ : فاحتسِبْ ابْنَكَ . قَالَ : فغَضِبَ ، ثُمَّ قَالَ : تركتنِي حتَّى إِذَا تَلطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبرتِني بِابْني ، فَانْطَلَقَ حتَّى أَتَى رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فأخْبَرهُ بما كَانَ ، فَقَالَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « بَاركَ اللَّه لكُما في ليْلتِكُما » .
قال : فحملَتْ ، قال : وكَانَ رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم في سفَرٍ وهِي مَعَهُ وكَانَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم إِذَا أَتَى الْمَدِينَةِ مِنْ سَفَرٍ لاَ يَطْرُقُها طُرُوقاً فَدنَوْا مِنَ الْمَدِينَةِ ، فَضَرَبَهَا الْمَخاضُ ، فَاحْتَبَس عَلَيْهَا أَبُو طلْحَةَ ، وانْطلَقَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم . قَالَ : يقُولُ أَبُو طَلْحةَ إِنَّكَ لتعلمُ يَا ربِّ أَنَّهُ يعْجبُنِي أَنْ أَخْرُجَ معَ رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم إِذَا خَرَجَ ، وأَدْخُلَ مَعهُ إِذَا دَخَلَ ، وقَدِ احْتَبَسْتُ بِما تَرى . تقولُ أُمُّ سُلَيْمٍ : يا أَبَا طلْحةَ مَا أَجِد الَّذي كنْتُ أَجِدُ ، انْطَلِقْ ، فانْطَلقْنَا ، وضَربهَا المَخاضُ حينَ قَدِمَا فَولَدتْ غُلاماً . فقالَتْ لِي أُمِّي : يا أَنَسُ لا يُرْضِعُهُ أَحدٌ تَغْدُوَ بِهِ عَلَى رسُول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، فلمَّا أَصْبحَ احتملْتُهُ فانطَلقْتُ بِهِ إِلَى رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم . وذَكَرَ تمامَ الْحَدِيثِ

44. Dari Anas radhiyallahu anhu, katanya: “Abu Thalhah itu mempunyai seorang putera yang sedang menderita sakit. Abu Thalhah keluar pergi -menghadap Nabi shalallahu alaihi wasalam, kemudian anaknya itu dicabutlah ruhnya -yakni meninggal dunia-. Ketika Abu Thalhah kembali -waktu itu ia sedang berpuasa, ia berkata: “Bagaimanakah keadaan anakku?” Ummu Sulaim, yaitu ibu anak tersebut -jadi istrinya Abu Thalhah- menjawab: “Ia dalam keadaan yang setenang-tenangnya.” Istrinya itu lalu menyiapkan makanan malam untuknya kemudian Abu Thalhah pun makan malamlah, selanjutnya ia menyetubuhi istrinya itu. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata: “Makamkanlah anak itu.” Setelah menjelang pagi harinya Abu Thalhah mendatangi Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, lalu memberitahukan hal tersebut -kematian anaknya yang ia baru mengerti setelah selesai tidur bersama istrinya. Kemudian Nabi bersabda: “Adakah engkau berdua bersetubuh tadi malam?” Abu Thalhah menjawab: “Ya.” Beliau lalu bersabda pula: “Ya Allah, berikanlah keberkahan pada kedua orang ini -yakni Abu Thalhah dan istrinya-. Selanjutnya Ummu Suiaim itu melahirkan seorang anak lelaki lagi. Abu Thalhah lalu berkata padaku -aku di sini ialah Anas radhiyallahu anhu yang meriwayatkan Hadis ini-: “Bawalah ia -anak yg baru lahir tersebut- sehingga engkau datang di tempat Nabi shalallahu alaihi wasalam dan besertanya kirimkanlah beberapa biji buah kurma. Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Adakah besertanya sesuatu benda?” Ia -Anas- menjawab: “Ya, ada beberapa biji buah kurma.” Buah kurma itu diambil oleh Nabi shalallahu alaihi wasalam lalu dikunyahnya kemudian diambillah dari mulutnya, selanjutnya dimasukkanlah dalam mulut anak tersebut. Setelah itu digosokkan di langit-langit mulutnya dan memberinya nama Abdullah.” (Muttafaq ‘alaih).

Dalam riwayat Bukhari disebutkan demikian:

Ibnu ‘Uyainah berkata: “Kemudian ada seorang dari golongan sahabat Anshar berkata: “Lalu saya melihat sembilan orang anak lelaki yang semuanya dapat membaca dengan baik dan hafal akan al-Quran, yaitu semuanya dari anak-anak Abdullah yang dilahirkan hasil peristiwa malam dahulu itu. Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia, lalu istrinya itu berkata kepada seluruh keluarganya: “Janganlah engkau semua memberitahukan hal kematian anak itu kepada Abu Thalhah, sehingga aku sendirilah yang hendak memberitahukannya nanti.” Abu Thalhah -yang saat itu berpergian- lalu datanglah, kemudian istrinya menyiapkan makan malam untuknya dan iapun makan dan minumlah. Selanjutnya istrinya itu memperhias diri dengan sebaik-baik hiasan yang ada padanya dan bahkan belum pernah berhias semacam itu sebelum peristiwa tersebut. Seterusnya Abu Thalhah menyetubuhi istrinya. Sewaktu istrinya telah mengetahui bahwa suaminya telah kenyang -puas- dan selesai menyetubuhinya, iapun berkatalah pada Abu Thalhah: “Bagaimanakah pendapat kanda, jikalau sesuatu kaum meminjamkan sesuatu yang dipinjamkannya kepada salah satu keluarga, kemudian mereka meminta kembali apa yang dipinjamkannya. Patutkah keluarga yang meminjamnya itu menolak untuk mengembalikannya benda tersebut kepada yang meminjaminya?” Abu Thalhah menjawab: “Tidak boleh menolaknya -yakni harus menyerahkannya.” Kemudian berkata pula istrinya: “Nah, perhitungkanlah bagaimana pinjaman itu jikalau berupa anakmu sendiri?” Abu Thalhah lalu marah-marah kemudian berkata: “Engkau biarkan aku tidak mengetahui -kematian anakku itu, sehingga setelah aku terkena kotoran -maksudnya kotoran bekas bersetubuh, lalu engkau beritahukan hal anakku itu padaku.” Iapun lalu berangkat sehingga datang di tempat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam lalu memberitahukan segala sesuatu yang telah terjadi, kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu berdua dalam malam mu itu.” Anas radhiyallahu anhu berkata: “Kemudian istrinya hamil.” Anas radhiyallahu anhu melanjutkan katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sedang dalam berpergian dan Ummu Sulaim itu menyertainya pula -bersama suaminya juga. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam apabila datang di Madinah di waktu malam dari berpergian, tidak pernah mendatangi rumah keluarganya malam-malam. Ummu Sulaim tiba-tiba merasa sakit karena hendak melahirkan, maka oleh karena Abu Thalhah tertahan -yakni tidak dapat terus mengikuti Nabi shalallahu alaihi wasalam Rasulullah shalallahu alaihi wasalam terus berangkat.” Anas berkata: “Setelah itu Abu Thalhah berkata: “Sesungguhnya Engkau tentulah Maha Mengetahui, ya Tuhanku, bahwa saya ini amat tertarik sekali untuk keluar berpergian bersama-sama Rasulullah shalallahu alaihi wasalam di waktu beliau keluar berpergian dan untuk masuk -tetap di negerinya- bersama-sama dengan beliau di waktu beliau masuk. Sesungguhnya saya telah tertahan pada saat ini dengan sebab sebagaimana yang Engkau ketahui.” Ummu Sulaim lalu berkata: “Hai Abu Thalhah, saya tidak menemukan sakitnya hendak melahirkan sebagaimana yang biasanya saya dapatkan -jikalau hendak melahirkan anak. Maka itu berangkatlah. Kitapun -maksudnya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, Abu Thalhah dan istrinya- berangkatlah, Ummu Sulaim sebenarnya memang merasakan sakit hendak melahirkan, ketika keduanya itu datang, lalu melahirkan seorang anak lelaki. Ibuku -yakni ibunya Anas radhiyallahu anhu- berkata padaku -pada Anas radhiyallahu anhu: “Hai Anas, janganlah anak itu disusui oleh siapapun sehingga engkau pergi pagi-pagi besok dengan membawa anak itu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam” Ketika waktu pagi menjelma, saya -Anas radhiyallahu anhu- membawa anak tadi kemudian pergi dengannya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam Ia lalu meneruskan cerita hadits ini sampai selesainya.

Keterangan:

Hadis di atas itu memberikan kesimpulan tentang sunnahnya melipur orang yang sedang dalam kedukaan agar berkurang kesedihan hatinya, juga bolehnya memalingkan sesuatu persoalan kepada persoalan yang lain lebih dulu, untuk ditujukan kepada hal yang dianggap penting, sebagaimana perilaku istri Abu Thalhah kepada suaminya. Ini tentu saja bila amat diperlukan untuk berbuat sedemikian itu.

Sementara itu hadits di atas juga menjelaskan akan sunnahnya seorang istri berhias seelok-eloknya agar suaminya tertarik padanya dan tidak sampai terpesona oleh wanita lain, sehingga menyebabkan terjerumusnya suami itu dalam kemesuman yang diharamkan oleh agama. Demikian pula istri dianjurkan sekali untuk berbuat segala hal yang dapat menggembirakan suami dan melayaninya dengan hati penuh kelapangan serta wajah berseri-seri, baik dalam menyiapkan makanan dan hidangan sehari-hari ataupun dalam seketiduran. Jadi salah sekali, apabila seorang wanita itu malahan berpakaian serba kusut ketika di rumah, tetapi di saat keluar rumah lalu bersolek seindah-indahnya. Juga salah pula apabila seorang istri itu kurang memperhatikan keadaan dan selera suaminya dalam hal makan minumnya, ataupun dalam cara melayaninya dalam persetubuhan.

Para ulama sepakat tentang disunnahkannya (dianjurkannya) mentahnik bayi yang baru lahir dengan kurma. Hendaknya yang melakukan tahnik adalah orang tuanya atau orang sholih sehingga bisa diminta do’a keberkahannya.

Diriwayatkan oleh Bukhori [III/269-Fath], Muslim [2144][23].

Tawriyah: Permainan Kata

Yang dimaksud tawriyah adalah menampakkan pada yang diajak bicara tidak sesuai kenyataan, namun dari satu sisi pernyataan yang diungkap itu benar.

Misalnya, ada yang mengatakan demi mendamaikan yang berselisih, “Si Ahmad (yang sebenarnya mencacimu) itu benar-benar memujimu.” Maksud pujian ini adalah pujian umum, bukan tertentu karena setiap muslim pasti memberikan pujian pada lainnya.

Namun yang ingin menyelesaikan atau mendamaikan perselisihan hendaklah menjauhkan diri dari dusta. Kalau terpaksa, maka hendaklah yang dilakukan bentuknya adalah tawriyah. Tawriyah itu dibolehkan jika ada maslahat.

Tawriyah pada Pasangan Suami Istri

Sedangkan contoh perkataan dusta atau bohong pada istri yang dibolehkan itu seperti apa?

Bentuknya juga adalah tawriyah, yaitu mengatakan sesuatu yang nampak menyelisihi kenyataan namun satu sisi ada makna benarnya. Contoh misalnya yang dikatakan oleh suami pada istrinya, “Engkau adalah manusia yang paling aku cintai.” Ini tujuannya untuk mengikat cinta dan kasih sayang antara sesama pasangan.

Ucapan Alhamdulillah bagi Orang yang Mendapat Musibah

Ucapan Alhamdulillah bagi orang yang mendapat musibah tidak dipahami oleh banyak orang. Kebanyakan orang memahami kalimat Alhamdulillah hanya diucapkan saat mendapat nikmat.

Bagi orang-orang yang memahami, lebih utama mengucapkan kalimat Alhamdulillah dan kalimat istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi aaji’un). Sebagaimana Rasulullah ajarkan melalui hadits berikut ini.

Dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Apabila meninggal anak seorang hamba, maka Allah berfirman kepada malaikat-Nya, ‘kalian telah ambil anak hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Ya’.

Lalu, Allâh ﷻ berfirman, ‘Kalian telah ambil buah hatinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Allah berfirman, ‘Apa yang dikatakan hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Ia memuji-Mu dan beristirja.”

Maka Allah berfirman, ‘Bangunkan satu rumah untuk hamba-Ku di surga, dan namai rumah itu bait al-Hamd (rumah pujian)’.” (HR. Al-Tirmidzi. Beliau berkata: hadits hasan)

Perbedaan Alhamdu dengan Asy-Syukru

Alhamdu: Pujian kepada Allâh ﷻ yang diucapkan oleh seorang hamba baik mendapat nikmat atau tidak. Jadi tidak ada kaitan dengan nikmat, tetapi sanjungan hamba kepada Dzat yang dipuji Dialah Allâh ﷻ .
Asy-Syukru: Balasan adanya nikmat yang Allâh ﷻ karuniakan kepada seorang hamba, sehingga dia melakukan syukur:
1. Dengan lisan dengan mengucapkan Alhamdulillah.
2. Dengan hati mengakui bahwa segala nikmat dari Allâh ﷻ.
3. Dengan perbuatan, memanfaatkan nikmat yang didapatkan untuk beribadah kepada Allâh ﷻ.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihat] Segala puji hanya milik Allahyang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

‘[Alhamdulillah ala kulli hal] Segala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan’.” (HR. Ibnu Majah no. 3803. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Kandungan Hadits

1. Diperintahkan bagi para istri agar berhias untuk suaminya dan memperlihatkannya untuk memancing gairah seksual suaminya.
2. Diperintahkan kepada istri agar melakukan segala sesuatu untuk kepentingan suaminya dan berbakti kepadanya.
3. Dibolehkan menggunakan kata-kata sindiran/kiasan jika memang dibutuhkan.
4. Barangsiapa yang meninggalkan kehilangan sesuatu karena Alloh maka Alloh akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya.
5. Dianjurkan dari orang yang terkena musibah untuk menghibur ketika tertimpa musibah.

Hadits No. 45: Orang yang Kuat adalah Orang yang Mampu Menahan Marah

وعنْ أَبِي هُريرةَ رضي اللَّه عنه أَن رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « لَيْسَ الشديدُ بالصُّرَعةِ إِنمَّا الشديدُ الَّذي يمْلِكُ نَفسَهُ عِنْد الْغَضَبِ » متفقٌ عليه .
« والصُّرَعَةُ » بِضمِّ الصَّادِ وفتْحِ الرَّاءِ ، وأصْلُهُ عنْد الْعربِ منْ يصرَعُ النَّاسَ كثيراً

45. Dari Abu Hurariah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Bukanlah orang yang keras -kuat- itu dengan banyaknya berkelahi -bergulat-, sesungguhnya orang-orang yang keras -kuat- ialah orang yang dapat menguasai dirinya di waktu sedang marah-marah.” (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:
Ashshura-ah dengan dhammahnya shad dan fathahnya ra’, menurut asalnya bagi bangsa Arab, artinya ialah orang yang suka sekali menyerang atau membanting orang banyak (sampai terbaring atau tidak sadarkan diri).

Diriwayatkan oleh al-Bukhari (X/518 -Fath) dan Muslim (2609)

Kandungan Hadits:

1. Islam melakukan perubahan terhadap pemahaman makna kuat yang ada pada masa Jahiliyyah menjadi pengertian yang diwarnai dengan akhlak mulia yang membentuk kepribadian muslim yang mempunyai kelebihan tersendiri. Dengan demikian, orang yang paling kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan menghindarkannya dari dorongan nafsu syahwatnya.
2. Melawan hawa nafsu dan mengendalikannya lebih sulit daripada melawan musuh.
3. Kewajiban untuk menjauhi kemarahan, sebab di dalam kemarahan terdapat bahaya fisik, mental dan sosial.
4. Marah merupakan sifat manusiawi, yang dapat ditahan dengan mengendalikan diri.
5. Diharamkan bertindak melampaui batas terhadap orang lain, baik pada saat marah maupun tidak.

Hadits No. 46: Bacaan Tatkala Marah: A’udzu billahi minasy syaithanir rajim.

وعنْ سُلَيْمانَ بْنِ صُرَدٍ رضي اللَّه عنهُ قال : كُنْتُ جالِساً مع النَّبِي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، ورجُلان يستَبَّانِ وأَحدُهُمَا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ . وانْتفَخَتْ أودَاجهُ . فقال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « إِنِّي لأعلَمُ كَلِمةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عنْهُ ما يجِدُ ، لوْ قَالَ : أَعْوذُ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ذَهَبَ عنْهُ ما يجدُ . فقَالُوا لَهُ : إِنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ : «تعوَّذْ بِاللِّهِ مِن الشَّيَطان الرَّجِيمِ ». متفقٌ عليه .

46. Dari Sulaiman bin Shurad radhiyallahu anhu, katanya: “Saya duduk bersama Nabi shalallahu alaihi wasalam dan di situ ada dua orang yang saling bermaki-makian antara seorang dengan kawannya. Salah seorang dari keduanya itu telah merah padam mukanya dan membesarlah urat lehernya, kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya saya mengetahui suatu kalimat yang apabila diucapkannya, tentulah hilang apa yang ditemuinya -kemarahannya, yaitu andaikata ia mengucapkan: “A’udzu billahi minasy syaithanir rajim,” tentulah lenyap apa yang ditemuinya itu. Orang-orang lalu berkata padanya – orang yang merah padam mukanya tadi: “Sesungguhnya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaitan yang direjam.” (Muttafaq ‘alaih)

Diriwayatkan Al Bukhari (VI/337-Fath) Dan Muslim 2610.

Kandungan Hadits:

1. Marah itu dibangkitkan oleh syaitan karena di dalam kemarahan terkandung bahaya bagi agama dan dunia. Oleh karena itu, Rasulullah memutuskan tali penyebabnya -yaitu godaan syaitan- dengan memohon perlindungan kepada Allah.

2. Para Sahabat adalah manusia biasa yang juga dapat marah seperti orang lain Namun demikian, mereka dapat segera memenuhi peringatan Rasulullah dan tidak mau tenggelam berlarut-larut dalam kebathilan.

3. Kebijaksanaan Rasulullah dalam berdakwah kepada Allah dan mengingatkan serta memberi nasihat kepada kaum muslimin. Beliau tidak menyampaikan nasihat itu secara langsung kepada orang yang dituju, tetapi melalui orang-orang yang mendengarnya, karena diperkirakan bahwa orang itu tidak akan menerima nasihat tersebut, jika diarahkan kepadanya secara langsung

4. Disunnahkan memberi nasihat kepada orang lain meskipun mereka tidak memintanya.

5. Dibolehkan memindahkan nasihat kepada orang yang belum mendengar, agar dia dapat mengambil manfaat darinya.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم