sujud1Mengenai bangkit dari duduk istirahat pada perpindahan rakaat, maka para ulama berbeda pendapat. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang afdhal adalah, bertumpu pada kedua lututnya bukan kedua tangannya kecuali apabila dalam keadaan masyaqqoh (berat/sulit), sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa yang afdhal adalah bertumpu pada kedua telapak tangan tanpa menggenggam.

Yang Menshohihkan Hadits Al-‘Ajn (Mengepalkan Kedua Tangan Saat Bangkit Dari Sujud Untuk Berdiri)

Para ulama fikih dan hadits juga berbeda pendapat tentang hadits ‘ajn (mengepal) ketika bangkit dari sujud. Hadits yang dimaksud adalah :

“Dari al-Azraq bin Qoys rahimahullâhu beliau berkata : Aku melihat ‘Abdullah bin ‘Umar sedang mengepal ketika sholat, beliau bertumpu pada kedua tangannya ketika berdiri. Saya bertanya kepada beliau, “apa yang anda lakukan ini wahai Abu ‘Abdirrahman?”. Maka beliau menjawab, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengepal (ketika bangkit) di dalam sholatnya, yaitu bertumpu (pada kedua tangannya).”

Hadits di atas dishahihkan oleh al-Muhaddits al-Albani rahimahullâhu dalam Silsilah ash-Shahîhah hadits no 2674.

Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, diantaranya adalah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullâhu dalam buku beliau Lâ Jadîd fî Hukmi ash-Sholâh. Syaikh al-Albani rahimahullâhu lebih merajihkan pendapat mengepal (‘ajn) ketika bangkit berdiri dari sujud dan duduk istirahat.

Syaikh al-Albani juga telah membantah mereka yang mendhaifkan hadits ‘ajn ini di dalam kitab Tamâmul Minnah (196-207) dan Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi juga juga menyinggung masalah ini di dalam buku terbaru beliau Su’âlât ‘Alî bin Hasan li Syaikhihi al-Imâm al-Allâmah a-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî Jilid II hal 258-260.

Yang Melemahkan Hadits Al-‘Ajn (Mengepalkan Kedua Tangan Saat Bangkit Dari Sujud Untuk Berdiri)

Sepanjang pemeriksaan kami, ada dua hadits yang menyebutkan tentang hal ini :

1. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma :

“Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam jika beliau (hendak) berdiri dalam sholatnya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yang melakukan ‘ajn)”.

Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir (1/466) dan An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/421).

Berkata Ibnu Ash-Sholah dalam komentar beliau terhadap Al-Wasith –sebagaimana dalam At-Talkhis- : “Hadits ini tidak shohih dan tidak dikenal serta tidak boleh berhujjah dengannya”.

Berkata An-Nawawy : “(Ini) hadits lemah atau batil, tidak ada asalnya”.

2. Berkata Al-Azroq bin Qois rahimahullah:

:”Saya melihat ‘Abdullah bin ‘Umar dalam keadaan melakukan ‘ajn dalam sholat, i’timad di atas kedua tangannya bila beliau berdiri. Maka saya bertanya : “Apa ini wahai Abu ‘Abdirrahman?”, beliau berkata : “Saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam melakukan ‘ajn dalam sholat –yaitu beri’timad (bertumpu dengan kedua tangannya)-“.

Diriwayatkan oleh Ath-Thobarony dalam Al-Awsath (4/213/4007) dan Abu Ishaq Al-Harby dalam Ghoribul Hadits (5/98/1) sebagaimana dalam Adh-Dho’ifah no. 967 dari jalan Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari ‘Athiyah bin Qois dari Al-Azroq bin Qois.

Al-Haitsam di sini adalah Al-Haitsam bin ‘Imran Ad-Dimasyqy, meriwayatkan darinya 5 orang dan tidak ada yang mentsiqohkannya kecuali Ibnu Hibban sebagaimana bisa dilihat dalam Ats-Tsiqot (2/296) dan Al-Jarh wat Ta’dil (4/2/82-83). Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan rowi yang seperti ini sifatnya dan yang benar di sisi kami –wal ‘ilmu ‘indallah- bahwa rowi yang seperti ini dihukumi sebagai rowi yang majhul hal (tidak diketahui keadaannya) yang membuat haditsnya tidak bisa diterima.

Hadits ini juga bisa dihukumi sebagai hadits yang mungkar dari dua sisi :

  1. Al-Haitsam ini menyelisihi Hammad bin Salamah (Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Baihaqy: 2/135) –yang beliau ini lebih kuat hafalannya- dan juga ‘Abdullah bin ‘Umar Al-‘Umary (Haditsnya diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq no. 2964 dan 2969), yang keduanya meriwayatkan dari Al-Azroq bin Qois dengan lafazh, “bahwa beliau bertumpu di atas bumi kedua tangan beliau,” tanpa ada tambahan yang menunjukkan bahwa beliau melakukan al-‘ajn (mengepalkan kedua tangannya).
  2. Hadits ini berisi tentang tuntunan sholat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang setiap hari disaksikan oleh para shahabat dan sekaligus hadits ini merupakan ‘umdah (pokok satu-satunya) dalam masalah ini. Maka bisa dikatakan : Kenapa hadits ini bersamaan dengan sangat dibutuhkannya, perkaranya disaksikan setiap hari dan merupakan umdah dalam masalah ini hanya diriwayatkan dari jalan Al-Haitsam dari Al-Azroq dari Ibnu ‘Umar?!. Mana murid-murid senior Ibnu ‘Umar, seperti : Salim (anak beliau), Nafi’ dan lain-lainnya, kenapa mereka tidak meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Umar tapi justru diriwayatkan oleh orang yang tingkat kemasyhuran dan hafalannya biasa-biasa saja?!

Dan termasuk perkara yang semakin menguatkan lemah hadits ini, yaitu bahwa para pengarang kitab hadits terkenal seperti ashhab kutubut tis’ah (Bukhary, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa’iy, Ibnu Majah, Malik, Ahmad dan Ad-Darimy) dan yang lainnya berpaling dari (baca : tidak) meriwayatkan hadits ini bersamaan dengan sangat dibutuhkannya dan isinya adalah suatu perkara yang disaksikan setiap hari. Tapi yang meriwayatkannya adalah Imam Abu Ishaq Al-Harby dan Ath-Thobarony yang beliau ini terkenal sebagai hathibu lail (pencari kayu bakar di malam hari) yang artinya beliau hanya sekedar mengumpulkan riwayat tanpa menyaring mana yang shohih dan mana yang lemah.

Sekali lagi, ini termasuk masalah khilafiyah ilmiyah yang mu’tabar. Sehingga tidak boleh ada perselisihan dan permusuhan dalam masalah ini. Yang boleh kita lakukan adalah, belajar, menelaah dan membahas permasalahan ini secara ilmiah, dan mendiskusikannya dengan cara yang baik. Wallohu a’lam bish showab.

Wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘alim.

Sumber: al-atsariyyah.com