Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu

Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.

Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya, dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama, yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah) atau yang semisalnya.

Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.

Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator yang sebenarnya miskin hati.

Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a’lam.

Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: “Tangan yang di aas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu, juga jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai kalau ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya, maka dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, “Kalau ada yang menjual air kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya, karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang lain.

Antusias dalam Menuntut Ilmu

Jika engkau tahu sebuah kalimat yang iucapkan oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib: “Nilai setiap orang tergantung pada apa yang dia kuasai.” (Lihat Faidhul Qadiir [IV/110]). Ada yang mengatakan: “Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa memberikan semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini.” Maka, waspadalah terhadap kesalahan orang yang berkata: “Generasi awal tidaklah meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya,” akan tetapi lafazh yang benar adalah: “Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya.” Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa: “Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi selanjutnya.”

Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan ilmu syariat niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam memperbaiki kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama menguasai sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai dalam ilmu agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai setiap orang adalah tergantung dari apa yang dia kuasai. Telah disebutkan di atas bahwa “tidak ada ucapan yang lebih bisa memberi semangat bagi penuntut ilmu daripada ucapan ini.” Perkataan yang diambil oleh Syaikh tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling bisa memberikan semangat belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang artinya), “…. Katakanlah: ‘Adaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ….” (Az-Zumar: 9). Juga, firman-Nya, “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ….” (Al-Mujaadilah: 11). Dan, sabda Nabi saw., “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agama.” (HR Bukhari dan Muslim). Dan, sabda beliau pula, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi). Dan, nash lainnya yang menganjurkan untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.

Ucapan Syaikh: “Perbanyaklah …,” maksudnya adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan warisan Rasulullah saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak dari warisan tersebut.

Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan Rasulullah ada yang berupa Al-Qur’an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila warisan itu berupa Al-Qur’an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena Al-Qur’an sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah, maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari Rasulullah atau tidak.

Perkataan Syaikh selanjutnya: “Curahkan kemampuanmu,” maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena, ada sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti lagi apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak, apakah keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya akan mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah sebuah bahaya yang sangat besar.

Perkataan Syaikh: “Setinggi apa pun ilmumu tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya.” Ini sebuah perkataan yang bagus, namun ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, “Setinggi apa pun ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: ‘Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.’ (Yusuf: 76). ‘Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.”

Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang tertulis dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau menyebutkan seuntai syair:
“Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib.”

Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut Ilmu

Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena, para ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai banyak tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit ditemukan di dalam kitab.

Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa orang yang tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu didatangi (untuk ditimba ilmunya).

Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang shufi, yang hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu yang diambil langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini dalam persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.) daripada ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan kepada sebagian orang di antara mereka: “Mengapa engkau tidak berangkat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: “Apa gunanya mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar secara langsung dari Allah Ta’ala.” Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta’ala.”
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.

Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah langsung berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta mengaku bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini adalah salah satu kepercayaan khurafat mereka.

Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata: “Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah menghancurkan ahli falsafah.” Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru. Mereka mengaku bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan kepada mereka: “Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta’ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari kebangkitan secara total.” Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Syaikh telah menyerang orang-orang shufi, dan mereka memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang shufi ada yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai ada di antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah seorang di antara mereka mengatakan: “Tidaklah yang berada di dalam pakaian ini kecuali Allah,” maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi yang berkata:
“Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban.”

Maksudnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Dan, masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga seharusnya mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas kesempurnaan Allah dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar akal mereka.

Para ulama yang berbicara tentang masalah pergi belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat ini kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu, meskipun pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau pergi kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya. Juga, kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih mudah terpengaruh dengannya.

Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya

Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu dengan mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu, juga bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.

Betapa banyak masalah-masalah penting tetapi tidak tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi, ternyata akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu mencatatnya.

Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama faidah-faidah penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga mutiara-mutiara ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir akan hilang serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa saja lupa.

Berkata Imam Asy-Sya’bi, “Apabila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining.” (Diriwayatkan oleh Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang sulit untuk mendapatkannya.

Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya

Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, “Seseorang yang mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.

Telah datang ancaman bagi orang yang menuntut ilmu namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan bau surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa seharusnya seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat melaksanakan perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan membela syariat Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, juga orang lain. Semua itu menunjukkan adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan kehormatan, kemuliaan, martabat, dan jabatan.

Jika ada yang bertanya, “Setiap orang yang belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang karena itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya.” Kita jawab, “Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.

Dan, jika ada yang mengatakan, “Saya ingin mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa ijazah saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi.” Atau, kalau ada yang berkata, “Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi seorang dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai kecuali kalau memiliki ijazah.” Kalau memang niatnya semacam ini, maka insya Allah itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu syar’i. Adapun kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja selama masih dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu teknik dan berkata, “Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar sepuluh ribu real.” Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi, semacam pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.

Hindarilah sikap berbangga dan menyombongkan diri, juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah untuk mencari jabatan, memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena, kebanyakan penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.

Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits Rasulullah sebagai hafalan ri’ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar menghafal untuk meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang mampu menjaga dan mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang yang datang untuk belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa banyak orang yang berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits namun sama sekali tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya, menyampaikan hukumnya seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.

Maksud menjaga ri’ayah adalah memahami makna hadits, mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya tujuan dari belajar Al-Qur’an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya, sehingga bisa mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan manusia itu bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan namun tidak tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh dijelaskan lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi karunia mudah memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia yang memiliki keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat jarang.

Rasulullah telah menggambarkan tentang orang-orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami bumi, maka bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.

Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa menumbuhkan tanaman. Ini permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti para perawi hadits, mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan mengairi sawah untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali sekadar menghafalkannya.

Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tanaman. Ini permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman. Mereka bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain.

Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu agama bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ….” (Al-Ahzaab: 21).

Firman-Nya yang lain, “Ikutilah aku, iscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31).

Menjaga Hafalan

Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena kalau tidak dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.

Dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya permisalan orang yang menghafal Al-Qur’an semacm pemilik unta yang ditambatkan, kalau dia menjaganya (mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika dilepas, maka dia akan pergi.” (HR Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa’).

Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a., “Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya, niscaya ilmu itu akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya bisa hilang kalau tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan sebaik-baik ilmu adalah manakala pokoknya dikuasai betul, sementara cabang-cabangnya dipelajari dan bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah serta bisa menunjukkan kepada perbuatan yang diridhai-Nya.”

Sebagian ulama berkata, “Setiap kemuliaan yang tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada kehinaan.” (Ini adalah ucapan Al-Akhnas bin Qais).

Mendalami Ilmu dengan Mengeluarkan Cabang Ilmu dari Pokoknya

Pelakunya adalah orang yang mampu tafaqquh (mendalami ilmu) menghubungkan hukum-hukum syar’i dari sumbernya. Dalam hadits Abdullah bin Mas’ud bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Semoga Allah memberi cahaya pada wajah orang yang mendengar ucapanku lalu menghafalnya dan memeliharannya, kemudian menyampaikannya sebagaimana dia dingar, betapa banyak orang yang bisa menghafal ilmu namun tidak memahaminya, dan betapa banyak orang yang menghafal ilmu, lalu dia menyampaikannya kepada orang yang lebih paham dari dia.” (HR Tirmidzi).

Orang yang paham ialah orang yang mengetahui rahasia syariat Islam serta tujuan dan hikmah-hikmahnya, sehingga dia sanggup mengembalikan cabang-cabang ilmu kepada pokoknya dan mampu menerapkan segala sesuatu di atas hukum asalnya. Sehingga, dengan cara seperti itu, dia mendapatkan kebaikan yang banyak.

Berkata Ibnu Khair tentang pemahaman hadits di atas, “Dalam hadits ini ada keterangan bahwa ilmu itu adalah kemampuan mengambil dalil dan mengetahui makna sebuah ucapan dengan cara memahaminya, yang mana hal ini mengandung kewajiban memahami dan mendalami makna hadits serta mengeluarkan ilmunya yang masih tersimpan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Imam Ibnul Qayyim, banyak mempunyai kepahaman dalam h al ini. Barang siapa yang membaca kitab-kitab kedua imam tersebut, maka dia bisa mengetahui cara yang benar dalam memahami ilmu syar’i.

Di antara keunikan perkataan Imam Ibnu Taimiyyah adalah apa yang beliau katakan saat berada di majelis tafaqquh (pendalaman ilmu), beliau berkata, “Amma ba’du, dulu kami berada di majelis tafaqquh fiddin, lalu kami menganalisa dalil-dalil syar’i secara penggambaran masalah, penetapan masalah, pendasaran hukum dan perinciannya, maka ada sebuah pembicaraan mengenai …, lalu saya berkata, ‘Laa haula wala quwwata illa billaah, hal ini didasari atas satu pokok pembahasan dan dua pasal’.”

Ketahuilah–semoga Allah memberi petunjuk kepadamu–bahwasannya memahami dan mendalami ilmu syar’i itu harus didahului dengan berpikir (tafakkur), karena sesungguhnya Allah Ta’ala menyeru kepada hamba-Nya bukan hanya di situ ayat agar bergerak dan memutar pandangan yang tajam untuk berpikir tentang langit dan bumi, juga memusatkan perhatiannya untuk melihat dirinya sendiri dan juga keadaan alam sekitarnya, untuk membuka kekuatan akal pikiran, sehingga bisa memperkuat imam dan memperdalam hukum serta memperoleh kemenangan ilmiah, sebagaimana firman Allah, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Al-Baqarah: 219). Juga, firman-Nya, “Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya).” (Al-An’am: 50).

Dari sini diketahui bahwasannya memahami (tafaqquh) ilmu syar’i itu lebih jauh jangkauannya daripada sekadar berpikir, karena memahami ilmu syar’i itu merupakan hasil dari berpikir, kalau tidak maka sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun.” (An-Nisaa’: 78).

Namun, memahami ilmu syar’i ini dibatasi dengan dalil dan juga harus dihalangi dari mengikuti hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120).

Pernah Imam Syafi’i bertamu kepada Imam Ahmad, dan beliau adalah murid Imam Syafi’i. Imam Ahmad banyak memuji Imam Syafi’i di hadapan keluarganya. Lalu, tatkala disuguhkan makan malam, Imam Syafi’i menghabiskannya dan mengembalikan piring dalam keadaan kosong. Maka, keluarga Imam Ahmad pun heran dengan Imam Syafi’i. Bagaimana beliau menghabiskan seluruh makanan, padahal menurut Sunnah Rasulullah, seseorang seyogyanya hanya makan sedikit saja, sebagaimana sabda Rasulullah, “Cukuplah bagi seorang anak Adam makan beberapa suapan yang cukup untuk menegakkan tulang rusuknya, dan jika harus makan lebih, maka sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk menuman, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR Tirmidzi). Namun, Imam Syafi’i memakan semuanya. Kemudian Imam Ahmad masuk menemui keluarganya dan Imam Syafi’i tidur. Ketika malam, beliau tidak mengambil air wudhu, dan tatkala adzan fajar beliau keluar untuk shalat namun tidak mengambil air wudhu. Tatkala pagi hari keluarga Imam Ahmad berkata kepada beliau: “Bagaimana engkau sangat memuji Imam Syafi’i, padahal dia memakan habis seluruh makanan, lalu tidur kemudian pada pagi hari tidak mengambil air wudhu, bagaimana ini?” Maka, Imam Ahmad berkata, “Saya akan memberitahukan kepada kalian.” Maka, beliau bertanya kepada Imam Syafi’i perihal tersebut, sehingga beliau menjawab: “Adapun mengenai masalah makanan, saya tidak menemukan makanan yang lebih halal daripada makanan Imam Ahmad, maka saya ingin memenuhi perutku dengannya, adapun masalah saya tidak shalat tahajud karena memikirkan ilmu lebih baik daripada shalat tahajud, saya semalam sedang berpikir dan menyimpulkan hukum dari perkataan Rasulullah: ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh si burung kecil (An-Nughair)!’[*] seratus atau seribu faidah (hukum). Adapun mengenai saya tidak meminta air wudhu untuk shalat shubuh, untuk apa saya minta air padahal saya masih dalam keadaan punya wudhu’.” Kemudian, Imam Ahmad menyebutkan jawaban itu kepada keluarganya, sehingga mereka berkata: “Sekarang baru terjawab teka-tekinya!” (*: HR Bukhari dan Muslim).

Wahai para pelajar, hiasilah dirimu dengan selalu berpikir dan menganalisis, juga hiasilah dirimu dengan memahami dan mendalami ilmu syar’i, semoga engkau mampu meneruskan jenjang dari hanya sebagai orang yang sekadar faqih (memahami hukum-hukum agama) kepada jenjang orang yang faqihun nafsi (menyimpulkan hukum-hukum agama sendiri), sebagaimana yang diistilahkan oleh para fuqaha, yaitu orang yang mampu menghubungkan hukum syar’i dengan sumber aslinya. Atau, dengan istilah lain jenjang orang yang faqihul badan sebagaimana dalam istilah ahli hadits.

Oleh karena itu, maka arahkanlah pandanganmu kepada dalil-dalil yang ada untuk menyimpulkan cabang-cabang hukum dari pokoknya, dengan benar-benar memperhatikan seluruh kaidah yang ada, serta perhatikan juga kaidah syariat Islam yang bersifat umum, seperti kaidah maslahat, menghilangkan segala mudharat dan kesulitan, mendatangkan kemudahan, menutup pintu-pintu hilah (cari-cari alasan) serta menutup segala jalan menuju perbuatan yang haram.

Demikianlah engkau akan mendapatkan jalan petunjukmu selama-lamanya, karena ini akan menolongmu pada saat-saat sulit, juga sebagaimana yang telah saya katakan bahwasannya wajib bagimu berupaya untuk memahami nash-nash syar’i dan memandang dengan jeli hal-hal yang melatarbelakangi hukum-hukum tersebut, juga merenungi tujuan syariat ini. Kalau engkau tidak memahami masalah ini, maka waktu belajarmu itu akan sia-sia belaka, dan engkau berhak tetap dinamakan orang yang jahil. Kemampuan inilah yang sebenarnya bisa dijadikan ukuran yang jeli tentang sampai di mana engkau mampu menguasai ilmu syar’i.

Seorang ahli fiqih (faqih) adalah orang yang apabila menghadapi permasalahan yang muncul yang tidak terdapat nashnya, maka dia bisa menetapkan hukumnya. Ahli balaghah (sastra Arab) yang sebenarnya bukanlah sekadar orang yang dapat menyebutkan macam dan perincian bab-babnya, namun dia adalah orang yang kepiawaian balaghahnya mengalir saat membaca kitabullah atau lainnya, mampu mengeluarkan simpanan ilmunya ini dan berbagai segi baik saat dia menulis atau berceramah. Demikian juga hal ini berlaku dalam semua disiplin ilmu.

Oleh karena itu, seharunya setiap orang bisa menerapkan ilmunya pada kehidupan nyata, dengan pengertian kalau ada sebuah permasalahan baru, maka dia bisa mengetahui hukumnya dengan melihat pada dalilnya. Juga setiap kali dia mengetahui sesuatu bisa menerapkannya dalam ucapan dan perbuatannya sehari-hari.

Bersandar kepada Allah dalam Menuntut Ilmu

Jangan gusar apabila engkau belum bisa menguasai salah satu cabang ilmu. Karena ada sebagian cabang ilmu yang tidak bisa dipahami oleh sebagian ulama besar, di antara mereka ada yang berterus terang mengatakannya sebagaimana diketahui dalam biografinya. Mereka itu adalah Imam Al-Ashma’i tidak mengerti ilmu ‘arudh (ilmu tentang syair Arab), Ar-Ruhawi–seorang ahli hadits–tidak menguasai ilmu khat, Imam Ibnu Shalah tidak bisa menguasai ilmu manthiq, Abu Muslim an-Nahwi tiak ilmu sharaf, Imam Asy-Suyuthi tidak menguasai ilmu matematika, demikian juga Imam Abu Ubaidah, Muhammad bin ‘Abdul Baqi al-Anshari, Abul Hasan al-Qathi’i, Abu Zakaria Yahya bin Ziyad al-Farra’, dan Abu Hamid al-Ghazali, kelima irang ini tidak menguasai ilmu nahwu.

Wahai pelajar, lipat gandakan semangat, pusatkanlah perhatianmu kepada Allah dalam berdoa, berserah diri, dan pasrah di hadapan Allah. Dulu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kalau kesulitan memahami tafsir salah satu ayat, beliau sering berdoa: “Ya Allah, wahai Dzat yang mengajarkan Adam dan Ibrahim, ajarkanlah kepadaku. Wahai Dzat yang memberikan kepahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku,”[*] sehingga beliau dapat memahaminya. (*: Lihat Majmuu’al Fatawa [IV/38]).

Amanah Ilmiah

Wajib bagi seorang pelajar untuk benar-benar menjaga amanah ilmiah, baik saat belajar, menuntut ilmu, bekerja, ataupun saat menyampaikan ilmu. Karena, keberhasilan sebuah umat tergantung pada kebaikan amalnya, dan kebaikan amalnya tergantung pada kebenaran ilmunya, dan kebenaran ilmunya adalah manakala ulamanya bersikap amanah dalam hal yang mereka lihat dan paparkan. Barang siapa yang berbicara pada salah satu bidang ilmu tanpa adanya rasa amanah, maka dia telah mengotori ilmu itu sendiri dengan nanah, dan menghalangi keberhasilan umat ini dengan batu sandungan.

Sesuatu yang sangat penting bagi seorang pelajar adalah mempunyai rasa amanah ilmiah, dia harus amanah dalam menukil dan menyifati (memaparkan) sesuatu. Tidak menambahi dan tidak mengurangi, karena kebanyakan manusia tidak terlalu perhatian pada masalah amanah. Ada yang kalau menyifati sesuatu, dia menyampaikan sesuatu dan membuang yang tidak disenangi, juga saat menukil ucapan ulama, dia menukil yang dia senangi dan membuang lainnya. Sebagaimana ucapan penyair:
“Rabb-mu tidak mengatakan pada kelompok pertama bahwa mereka itu mabuk.
Namun Rabb-mu berkata: ‘Celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat’.”

Dia membuang terusan ayat tersebut:
“(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Maa’uun: 5).

Ini merupakan sebuah batu sandungan dan penipuan dalam dunia ilmiah, karena kewajiban seseorang itu kalau menukil dan menyifati (memaparkan) haruslah dengan penuh amanah. Dan bukankah tidak akan membahayakanmu kalau nantinya dalil tersebut berbeda dengan pendapatmu, karena wajib bagimu untuk mengikuti dalil yang ada. Lalu engkau menyampaikannya kepada umat, sehingga umat ini bisa mengetahui perkara yang sebenarnya.

Tidak adanya rasa amanah bisa menjadikan pelakunya menjadi fasik, yang tidak boleh diterima kabar dan beritanya, karena dia (dianggap) seorang penipu.

Setiap kelompok penuntut ilmu tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang (mereka) dalam menuntut ilmu bukan bertujuan untuk berakhlak yang mulia, juga tidak untuk memberi manfaat kepada orang lain dengan ilmu yang mereka pelajari. Orang-orang yang semisal mereka ini tidak akan mempunyai sifat amanah, jadi mereka tidak pernah merasa berdosa untuk meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak mereka dengar, ataupun juga menceritakan hal yang tidak mereka ketahui. Inilah yang menjadikan para ulama besar mengkritisi para perawi hadits.

Hendaklah dibedakan antara orang yang berlebih-lebihan dalam perkataannya dengan orang yang hanya mengatakan apa yang diketahuinya, sehingga para penuntut ilmu bisa mengetahui kadar ilmiah apa yang mereka baca, tidak lagi samar bagi mereka, juga bisa diketahui kepastian apakah dia jujur atau dusta, atau kuat mana antara jujur dan dustanya, ataukah mungkin memiliki kadar yang sama.

Kejujuran

Tutur kata yang jujur merupakan tanda kewibawaan, kemuliaan jiwa, kebersihan hati, ketinggian cita-cita, kuatnya akal, kecintaan antar-sesama, senangnya kebersamaan, dan penjagaan terhadap din. Oleh karena inilah kejujuran menjadi fardhu ‘ain (kewajiban bagi setiap individu), maka alangkah meruginya orang yang tidak memilikinya, dan barang siapa yang tidak jujur, maka dia berarti telah mengotori jiwa dan ilmunya dengan penyakit.

Kejujuran di sini hampir mirip dengan masalah amanah ilmiah. Karena, amanah ilmiah hanya akan terwujud dengan adanya kejujuran, sedangkan kejujuran sebagaimana yang dikatakan Syaikh di sini adalah sebagai tanda kewibawaan, kemuliaan jia, dan juga kebersihan hati. Maka, jika dengan kedustaan saja bisa berhasil, maka tentunya dengan kejujuran akan lebih menjamin keberhasilan, dan kebohongan itu tidak akan berlangsung lama, karena dengan cepat akan terungkaplah kebohongannya.

Kejujuran pasti akan berakibat baik, maka dari itu milikilah sikap jujur itu. Dan jika engkau takut bahwa kejujuran itu akan bisa membahayakanmu, maka sabarlah. Karena, sesungguhnya kejujuran itu menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke Surga, dan jika seseorang selalu berbuat jujur, maka Allah akan mencatat di sisi-Nya bahwa dia adalah seorang yang jujur.

Maka, janganlah engkau mengatakan: “Sesungguhnya Allah mengharamkan ini,” padahal Allah tidak mengharmkannya; “Allah mewajibkan itu,” padahal tidak. Dan jangan pula mengatakan: “Si Fulan yang seorang alim berkata begini,” padahal tidak. Jauhilah olehmu berkata semacam itu.

Sebagian ulama mengecualikan bahwa ada dusta yang diperbolehkan, yaitu dusta untuk tauriyah[*]. Akan tetapi, tidak perlu ada pengecualian dalam hal ini, karena tauriyah sebenarnya adalah kejujuran, kalau sudah kita lihat dari sisi pembicaraannya. Sebagai contoh adalah perkataan Nabi Ibrahim a.s. kepada seorang raja yang zalim: “Ini adalah saudariku,” maksud beliau adalah istrinya, Sarah. (*: Tauriyah adalah mengucapkan sebuah lafaz yang mengandung dua arti, yang mendengar lafaz itu menyangka salah satu maknanya, padahal yang diinginkan oleh pembicara adalah makna yang lain, pen.).

Perkataan ini tidak terhitung sebagai kebohongan, meskipun Nabi Ibrahim a.s. berudzur saat dimintai syafa’at dengan alasan karena dia pernah berdusta sebanyak tiga kali, akan tetapi dia berdusta untuk menghadapi orang yang zalim dan melampaui batas, padahal sebenarnya beliau saat itu telah berkata jujur.

Sebagian ulama mengecualikan juga dusta yang dibolehkan sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa tidak boleh dusta kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam peperangan, untuk mendamaikan manusia, dan perkataan seorang wanita terhadap suaminya atau suami terhadap istrinya. (Lihat Syarh an-Nawawi ‘ala Shahihi Muslim [XII/45], bab “Bolehnya Dusta dalam Peperangan”).

Akan tetapi, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hal ini masuk pada bab tauriyah, bukan termasuk dalam dusta yang sebenarnya, sebab peperangan adalah tipu daya, yakni dengan cara memperlihatkan kepada musuh bahwa engkau akan menuju sebuah arah padahal yang engkau tuju adalah arah yang lain, atau trik-trik lainnya.

Demikian juga dalam masalah mendamaikan antara sesama manusia, janganlah engkau berdusta, tetapi katakanlah: “Seandainya ada yang bertanya kepadamu: ‘Apakah dia menggunjingku?’ Maka jawablah bahwa dia tidak pernah menggunjingmu sedikit pun’.”

Begitu juga masalah kebolehan dusta bagi seorang wanita terhadap suaminya. Yang dimaksud adalah secara tauriyah, bukan benar-benar berdusta. Pendapat ini tidaklah jauh dari kebenaran, karena kebohongan akan mengantarkan pada kemaksiatan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. dan tidak akan mengantarkan pada kebaikan.

Imam Al-Auza’i berkata, “Pelajarilah kejujuran sebelum engkau mempelajari ilmu.”

Waqi’ berkata, “Ilmu ini tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang jujur.”

Maka dari itu, pelajarilah kejujuran terlebih dahulu sebelum engkau mempelajari ilmu. Kejujuran adalah mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan dan keyakinan yang ada, kejujuran ini hanya ada satu cara, sedangkan kedustaan banyak cara dan ragamnya, namun bisa disimpulkan menjadi tiga hal, yaitu (sebagai berikut).

  1. Dusta Seorang Penjilat : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan kenyataan dan juga keyakinan yang sebenarnya. Contohnya orang yang mencari muka terhadap orang yang dia ketahui sebagai orang fasik dan ahli bid’ah, namun dia katakan sebagai orang yang istiqamah untuk mencari muka (perhatian) darinya.
  2. Dusta Orang Munafik : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan keyakinan, namun sama dengan kenyataan, sebagaimana orang munafik, mereka mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah.
  3. Dusta Orang Dungu : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan kenyataan namun serasi dengan keyakinan, seperti orang yang percaya akan keshalehan orang sufi yang mubtadi’ (ahli bid’ah), lalu dia menyebutnya sebagai wali.

Perisai bagi Seorang Pelajar

Perisai seorang ulama adalah ucapan: “Saya tidak tahu,” dan tirainya akan dirobek oleh kesombongan tidak mau mengucapkannya, juga ucapannya: “Katanya.” Berdasarkan prinsip ini, maka kalau setengah ilmu adalah ucapan “saya tidak tahu,” maka setengah kebodohan adalah ucapan “katanya atau saya kira.”

Ini benar dan ini juga sebagai pelengkap penjelasan sebelumnya, bahwa seseorang itu wajib berkata “saya tidak tahu,” apabila memang tidak tahu. Ini tidak akan membahayakannya, bahkan akan menambah kepercayaan orang lain kepadanya.

Adapun ucapan Syaikh: “Setengah kebodohan adalah ucapan saya kira atau katanya,” ini juga benar. Karena, sebagian orang awam banyak yang ditanya hukum ini halal atau haram. Dia menjawab, “Saya kira ini haram.” Bolehkah kita percaya pada ucapan orang awam? Tidak boleh, oleh karena itu betapa banyak manusia yang diberi fatwa oleh orang-orang awam dengan fatwa yang salah, terutama sekali saat musim haji.

Menjaga Modal Utamanya, yaitu Waktu dan Umurmu

Pergunakanlah selalu waktumu untuk belajar, selalulah bekerja, jangan menganggur dan malas, beradalah di tempat kerja jangan berada di tempat begadang malam. Jagalah waktumu dengan selalu bekerja keras, belajar, berkumpul dengan para guru, menyibukkan diri dengan membaca maupun mengajar, merenung, menelaah, menghafal, dan meneliti. Terutama pada saat masih muda yang ketika itu engkau masih sehat. Manfaatkanlah waktu yang sangat berharga ini agar engkau mampu mendapatkan derajat ilmu yang tinggi, karena waktu muda adalah waktu yang bagus untuk kosentrasi hati dan pikiran, karena masih sedikit untuk memenuhi kehidupan dan kepemimpinan, juga saat beban dan tanggungan masih ringan.

Oleh karena itu, Umar bin Khaththab berkata, “Belajarlah kalian sebelum menjadi pemimpin.” Karena, seseorang kalau sudah menjadi pemimpin akan banyak urusannya, lalu pikirannya pun bercabang, sehingga konsentrasinya pun buyar. Saat dia ingin mengerjakan sesuatu tiba-tiba ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak dari yang akan dia kerjakan sebelumnya, maka dia pun harus mengurungkan niatnya. Oleh karena itu, sungguh-sungguhlah engkau belajar mumpung masih memiliki waktu longgar. Jadikanlah lembaran-lembaran kitab itu menjadi rutinitas pandangan matamu. Ketahuilah bahwasannya kalau engkau telah terbiasa dengan sungguh-sungguh dalam belajar, maka ini akan menjadi kebiasaanmu.

Jadikanlah penelitianmu itu terarah dengan baik, jangan asal comot dari sana-sini. Jadikanlah penelitianmu secara runut dari yang sangat penting ke yang penting terlebih dahulu, sehingga engkau mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan setiap permasalahan dari kaidahnya, serta mampu mengeluarkan cabang dari pokoknya.

Jangan sampai engkau suka menunda-nunda pekerjaan, jangan katakan, “Nanti kalau sudah selesai dari pekerjaan ini … nanti kalau sudah pensiun … atau lainnya.” Namun, bergegaslah sebelum engkau terkena untaian bait syair Abu Thahhan al-Qaini:
“Tubuhku membungkuk oleh karena sudah tua,
sehingga sekarang saya seakan-akan orang merunduk untuk mendekati binatang buruan.
Saya berjalan sangat lambat,
sehingga orang lain menyangka akan terikat padahal tidak.”

Berkata Usamah bin Munqidz:
“Pada umur 80 tubuhku sudah dikuasai oleh kelemahan.
Dan lemahnya kaki serta tanganku sangat menyusahkanku.
Kalau saya menulis, maka tulisanku seperti tulisan orang yang gemetar.
Saya heran dengan lemahnya tanganku, padahal hanya untuk memegang pena.
Padahal dahulu mampu menancapkan tombak di leher singa.
Katakanlah kepada orang yang ingin berumur panjang.
Ini adalah kesudahan dari orang yang berumur panjang.”

Namun, jika engkau bersegera belajar, maka itu adalah bukti bahwa engkau benar-benar mempunyai cita-cita yang besar dalam menuntut ilmu.

Istirahat

Luangkanlah sedikit waktumu untuk istirahat di taman ilmu dengan menelaah kitab-kitab tsaqafah umum, karena hati itu harus diistirahatkan sewaktu-waktu. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib bahwasannya beliau berkata, “Rilekkanlah hatimu dengan mempelajari keunikan ilmu dan hikmah, karena hati itu bila merasa bosan (jenuh) sebagaimana badan.” (Lihat Kasyful Khafa’ [I/524]).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hikmah dilarangnya shalat sunnah di semua waktu, “Larangan menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu terdapat banyak manfaatnya, yaitu untuk mengistirahatkan jiwa beberapa saat dari lelahnya ibadah, sebagaimana bisa juga istirahat dengan tidur atau lainnya, oleh karena itu Mu’adz bin Jabal berkata, ‘Sesungguhnya saya mengharapkan pahala dengan tidurku sebagaimana saya juga berharap pahala saat aku terjaga’.” (Majmu’ Fatawa [XXIII/187]).

Syaikhul Islam juga berkata, “Bahkan termasuk hikmah larangan menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu adalah untuk mengistirahatkan jiwa saat waktu terlarang agar jiwa bisa semangat lagi saat menjalankan shalat, karena jiwa itu akan bersemangat untuk menjalankan ibadah yang tadinya dilarang, juga akan rajin untuk menjalankan shalat setelah beristirahat. Wallaahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa [XXIII/217]).

Dari sini harus kita ketahui bahwasannya merilekkan hati dan memberinya sedikit waktu untuk istirahat agar nantinya bisa semangat lagi adalah sesuatu yang disyariatkan seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jiwamu punya hak atasmu begitu juga Rabb-mu mempunyai hak atasmu serta keluarga dan istrimu pun juga mempunyai hak atsmu, maka berikanlah hak mereka masing-masing.” (HR Bukhari). Sebenarnya hadits inilah timbangan utama yang bisa membuat hati menjadi tenang, bukan apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali, dan lainnya. Seandainya Syaikh berdalil dengan hadits ini, pasti akan semakin jelas permasalahannya.

Kami temukan hal semacam ini dalam kitab-kitab adab belajar dan juga kitab sejarah. Sebagai sebuah contoh kitab Adab al-Mu’allimin oleh Imam As-Suhnun (hlm. 104), Ar-Risalah al-Mufashshalah oleh Al-Qabishy (hlm. 135-137), Asy-Syaqa’iq an-Nu’maniyyah (hlm. 120), Abjadul ‘Ulum (I/195-196), Alaisa ash-Shubbu Biqariib oleh Thahir Ibnu ‘Asyur, Fatawa Rasyid Ridha (1212), Mu’jamul Buldan (III/102), dan Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/318-320, 329).

Pembetulan dan Pelurusan Bacaan

Bersungguh-sungguhlah untuk membetulkan bacaanmu kepada seorang guru yang mumpuni agar engkau terbebas dari penyelewengan, kesalahan, dan perubahan kata. Apabila engkau amati biografi para ulama, terutama para pakar ahli hadits, niscaya akan engkau dapatkan jumlah yang tidak sedikit, mereka membaca kitab-kitab besar di banyak majelis dan selama berhari-hari untuk sekadar membetulkan bacaan kepada seorang guru yang mumpuni.

Poin ini sangat penting, yaitu memantapkan ilmu dan meluruskannya agar menancap di hati, karena itulah ilmu yang sebenarnya. Dan itu harus dilakukan dengan seorang guru (syaikh) yang mumpuni, adapun guru karbitan (pura-pura jadi syaikh), maka hindarilah dia, karena dia akan banyak membahayakanmu.

Pemantapan ilmu itu ada cara tersendiri dalam setiap disiplin ilmunya. Kadang-kadang engkau dapati ada seorang guru yang bisa menguasai ilmu fara’idh namun tidak menguasai hukum seputar shalat, juga ada orang yang menguasai ilmu bahasa namun tidak menguasai ilmu syar’i. Maka, mantapkanlah ilmumu dari seorang alim yang menguasainya selagi hal itu tidak membahayakanmu, misalnya kalau engkau mendapatkan seseorang yang sangat menguasai ilmu bahasa Arab namun dia menyeleweng dalam aqidah dan akhlaknya, maka orang semacam ini tidak selayaknya kita berguru kepadanya, karena hal itu akan membuat banyak orang tertipu, mereka akan menyangka bahwasannya dia itu berada di atas kebenaran. Kita harus belajar kepada orang lain yang aqidahnya lurus dan akhlaknya baik, meskipun sebenarnya orang tadilah yang paling menguasai ilmu tersebut.

Al-Hafidz Ibnu Hajar membaca Shahih al-Bukhari dalam sepuluh majelis, dan setiap majelis selama sepuluh jam. Beliau juga membaca Shahih Muslim dalam empat majelis sekitar dua hari hari lebih sedikit.

Kalau begitu berapa jamkah itu semua? Seratus jam! Allaahul musta’an (hanya kepada Allah kami memohon pertolongan). Namun, itu hanya membaca saja tanpa keterangan dan pemahaman.

Pekerjaan ini beliau slesaikan pada hari Arafah tepatnya pada hari Jumat tahun 813 H. Beliau juga membaca Sunan Abu Dawud dalam empat majelis dan Mu’jam ath-Thabrani ash-Shaghir hanya dalam satu majelis antara shalat dhuhur dan ashar. Begitu juga guru beliau, Imam Al-Fairuz Abadi, saat berada di Damaskus beliau membaca Shahih Muslim dengan bacaan cermat (tepat) pada gurunya, Ibnu Jahbal, selama tiga hari. Ada banyak kisah aneh, lagi menakjubkan, tentang hal semacam ini dari Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Mu’taman as-Saji, Ibnul Abar, dan selain mereka yang akan sangat panjang kalau disebutkan satu per satu, cukup lihat saja di dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ oleh Imam Adz-Dzahabi (XVIII/277-279, XIX/310, XXI/253), juga Thabaqaat asy-Syaafi’iyyah karya Imam As-Subki (IV/30), Al-Jawaahir wad-Durar oleh Imam As-Sakhawi (I/103), Fat-hul Mughiits (II/46), Sadzaraatudz Dzahab (VIII/121, 206), Hulaashatul Atsar (I/72-73), Fihris al-Fahaaris oleh Al-Kattani dan Taajul Aruus (I/45-46). Maka, jangan sampai engkau melupakan bagianmu dalam hal itu.

Menelaah Kitab-Kitab Besar

Menelaah kitab-kitab yang besar adalah perkara yang sangat penting agar memperoleh banyak ilmu pengetahuan, meluaskan pemahaman, mengeluarkan hal-hal tersembunyi dari lautan faedah ilmiah dan istimewa, berpengalaman dalam mencari titik-titik pembahasan dan masalah-masalah ilmiah serta bisa mengetahui cara para ulama dalam karya ilmiah dan istilah mereka. Dahulu para ulama selalu menulis pada akhir bacaan mereka kalimat: “Sampai di sini,” agar tidak ada yang terlewatkan saat ingin mengulangi kembali, terutama kalau sudah lama ditinggalkan.

Pembahasan ini masih perlu dirinci. Karena, menelaah kitab-kitab besar bisa bermanfaat bagi seorang pelajar namun bisa juga membahayakannya. Kalau dia seorang pelajar yang masih pemula, maka menelaah kitab-kitab besar semacam itu akan membawa kehancuran pada dirinya, gambarannya semacam orang yang tidak pandai berenang lalu terjun ke dalam air. Namun, kalau dia orang yang sudah berilmu, namun masih ingin menambah ilmu pengetahuannya lagi, maka menelaah kitab-kitab besar ini adalah sesuatu yang baik.

Adapun menulis lafaz “Sampai di sini”, ini adalah sesuatu yang baik, yang mengandung dua faedah: (1) agar engkau tidak lupa aya yang sudah engkau baca, (2) agar orang lain mengetahui bahwa engkau sudah menguasainya, maka dia akan semakin percaya kepadamu.

Bertanya dengan Baik

Beradablah yang baik ketika bertanya, mendengarkan, memahami jawaban dengan baik, dan setelah mendapatkan jawaban janganlah engkau mengatakan, “Ustadz Fulan berkata begini dan begitu,” karena ini adalah adab yang hina dan mengadu domba antar-para ulama, jauhilah hal ini. Dan jika memang hal itu harus engkau lakukan, maka jelaskanlah dalam bentuk pertanyaan, katakanlah, “Apa pendapat Anda tentang fatwa semacam ini,” dan jangan engkau sebutkan namanya.

Berkata Imam Ibnul Qayyim, “Apabila engkau belajar kepada seorang ulama, maka bertanyalah dengan tujuan agar engkau mengetahui jawabannya, bukan untuk membantahnya.” (Lihat Miftah Darus Sa’adah [hlm. 168]).

Beliau juga berkata, “Ilmu itu mempunyai enam tingkatan: (1) bertanya dengan baik, (2) mendengarkan dengan baik, (3) memahami dengan baik, (4) menghafal, (5) mengajarkan, (6) mengamalkan dan menjaga adab-adabnya. Dan, inilah buah dari sebuah ilmu. Kemudian, beliau menerangkan satu per satu dengan sebuah penjelasan yang penting.

Pertama, bertanya dengan baik. Ini kalau memang butuh bertanya, kalau tidak butuh, jangan bertanya. Namun, kalau Anda mau bertanya dengan maksud agar orang lain mengetahui meskipun Anda sendiri sudah mengetahui, maka boleh, bahkan orang yang bertanya semacam ini sama saja dengan mengajarkan ilmu kepada mereka. Karena, Rasulullah saw. tatkala didatangi oleh Jibril a.s., lalu beliau bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan, serta tanda-tanda hari kiamat, maka Rasulullah saw. bersabda, “Dia itu Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan ajaran agama kalian.” (HR Muslim). Namun, jika dia bertanya agar dipuji oleh orang lain, ini adalah sebuah sikap yang salah. Juga merupakan sebuah kesalahan kalau ada yang mengatakan, “Saya tidak ingin bertanya karena malu.”

Kedua, mendengarkan dengan baik (cukup jelas). Ketiga, memahami dengan baik (cukup jelas).

Keempat, menghafal. Mengahafal ini ada dua macam.
1. Sesuatu yang secara tabiat diberikan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kadang ada orang yang menghadapi sebuah masalah, lalu mempelajarinya dan menghafalnya, dan tidak pernah melupakannya.

2. Menghafal dengan usaha, maksudnya seseorang melatih diri untuk menghafal dan mengingat-ingat apa yang telah dihafalkannya. Kalau orang ini sering mengulang-ulang, maka akan mudah baginya menghafalkannya.

Kelima, mengajarkan. Dalam pandanganku (editor isi: Abu ‘Azzam, red) bahwa ini adalah tingkatan yang keenam, dan yang kelima adalah mengamalkan ilmunya. Dia harus mengamalkan ilmunya untuk memperbaiki dirinya sendiri sebelum memperbaiki orang lain, lalu baru mengajarkan kepada orang lain. Rasulullah saw. bersabda, “Mulailah dari dirimu sendiri kemudian keluargamu.” Oleh karena itu, amalkanlah dahulu sebelum mengerjakannya. Namun, bisa saja engkau mengatakan bahwa mengajarkannya termasuk mengamalkan ilmu, karena di antara cara mengamalkan ilmu adalah engkau laksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dengan cara menyebarkan dan mengajarkannya.

Diskusi dengan tanpa Perdebatan

Jauhilah perdebatan karena akan menjadi bencana. Adapun berdiskusi dalam kebenaran adalah kenikmatan, sebab akan bisa menampakkan mana yang benar dan mana yang bathil, mana yang kuat dan tidak. Diskusi ini didasari atas saling manasihati, kasih sayang, dan keinginan menyebarkan ilmu. Adapun perdebatan hanyalah ingin menang, riya, mencari kesalahan, sombong, yang penting menang, permusuhan, dan membodohi orang yang memang bodoh. Maka, jauhilah perdebatan ini, juga jauhilah orang yang suka berdebat, niscaya engkau akan selamat dari dosa dan perbuatan haram.

Saudaraku …, hendaknya engkau mencari kebenaran, baik saat berdebat dengan orang lain ataupun saat merenung sendirian, kalau kebenaran itu sudah nampak, maka segeralah mengatakan saya dengar dan saya akan menaatinya. Oleh karena itu, para sahabat menerima hukuman Rasulullah saw. tanpa membantah sedikit pun, juga mereka tidaklah mengatakan bagaimana pendapatmu tentang hal ini dan itu. Ada seorang yang berdebat dengan Abdullah bin Umar, lalu dia berkata, bagaimana pendapatmu? Maka, beliau menjawab, “Jadikanlah ucapanmu (bagaimana pendapatmu) di negeri Yaman.” Karena, orang tersebut memang berasal dari Yaman.

Tatkala orang-orang Irak bertanya kepada beliau tentang darah nyamuk, apakah boleh membunuh nyamuk ataukah tidak, maka beliau menjawab, “Subhanallah, orang-orang Irak ini membunuh cucu Rasulullah, lalu mereka datang untuk bertanya tentang darah nyamuk?” Tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini hanyalah ingin berdebat saja.

Mengulangi Pelajaran

Bergembiralah dengan mengulangi pelajaran dan mendiskusikannya bersama orang-orang yang cerdas, karena hal ini terkadang bisa lebih baik daripada menelaah ilmu sendiri. Juga, bisa mengasah otak dan membuat kuatnya ingatan, dengan tetap bersikap sportif, lembut, dan menjauhi kecurangan, tidak berbuat zalim, kacau, dan serampangan. Namun, berhati-hatilah karena mengulang pelajaran ini akan mengungkap cela orang yang tidak serius, juga kalau mengulangi pelajaran bersama orang yang rendah ilmunya dan otaknya tumpul bisa menjadi sebuah penyakit. Adapun kalau engkau mengulangi pelajaran dengan sendirian, maka memang itu harus engkau lakukan, dalam sebuah ungkapan, “Menghidupkan ilmu itu adalah dengan cara mengulang-ulangnya.”

Selalu Hidup Bersama Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Cabang-Cabang Ilmunya

Karena, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah semacam dua sayap burung, maka jangan sampai salah satu sayap itu terputus.

Ini adalah salah satu adab belajar. Seorang pelajar harus selalu besanding dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana seekor burung yang tidak bisa terbang kecuali dengan dua sayap, apabila salah satu dari keduanya patah, maka dia tidak akan bisa terbang lagi. Kalau begitu, janganlah engkau selalu memperhatikan As-Sunnah lalu meremehkan Al-Qur’an. Atau sebaliknya, memperhatikan Al-Qur’an namun meremehkan As-Sunnah.

Ada lagi perkara yang ketiga yang harus diperhatikan, yaitu perkataan para ulama, meskipun ini sudah tercakup dalam ucapan Syaikh: “Dan cabang-cabang ilmu keduanya. Janganlah engkau meremehkan perkataan para ulama, karena mereka lebih dalam ilmunya daripada ilmumu, juga mereka mempunyai kaidah-kaidah syara’ yang tidak engkau ketahui.” Oleh karana itulah para ulama apabila menguatkan salah satu pendapat, mereka selalu mengatkan, “Kalau memang ini sudah ada yang mengatakannya, maka inilah pendapat kami. Namun, kalau belum ada yang mengucapkannya, maka kami pun tidak mengatakannya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah apabila berpendapat sesuatu yang beliau sendiri belum mengetahui ada yang berpendapat demikian–padahal beliau sangat luas ilmunya–, maka beliau mengatakan, “Saya berpendapat demikian jika ada yang sudah berpendapat demikian.” Jangan mengambil pendapatnya sendiri, lalu berkata, “Saya bisa memahami sendiri Al-Qur’an, tidak perlu melihat pendapat orang lain.” Ini adalah sebuah kesalahan.

Menyempurnakan Ilmu Alat dalam setiap Disiplin Ilmu

Engkau tidak akan pernah menjadi seorang pelajar yang bagus selagi tidak menyempurnakan ilmu alat dalam setiap disiplin ilmu, sampaipun kalau si unta masuk ke lubang jarum. Dalam bidang fiqih harus menguasai ilmu fiqih dengan ushul fiqih. Dalam ilmu hadits antara ilmu riwayah dengan dirayah, dan begitu seterusnya. Kalau tidak demikian, maka jangan menyusahkan diri. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang telah beri al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya ….” (Al-Baqarah: 121).

Dari ayat ini diambil pelajaran bahwa seorang pelajar janganlah meninggalkan sebuah disiplin ilmu sehingga menguasainya dengan baik.

Yang dimaksud dengan tilawah di sini adalah membaca lafaz dan memahami maknanya serta mengamalkannya. Karena, diambil dari kata “talaahu” yang artinya adalah mengikutinya. Orang-orang yang telah diturunkan kepada mereka kitab tidak mungkin dinamakan ahli kitab kecuali kalau mereka membacanya dengan sebenar-benarnya.

Yang dimaksud ilmu riwayah adalah meriwayatkan sanad dan rawi hadits, sedangkan yang dimaksud dirayah adalah memahami maknanya.

Sumber: Diringkas oleh Abu Annisa dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc, editor isi Abu ‘Azzam (Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).