بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 29 Rajab 1446 / 29 Januari 2025.



Kajian Ke-25 | Bab 5: Adab-Adab Pembawa Al-Qur’an.

Pembawa Al-Qur’an maksudnya para pelajar, penghafal Al-Qur’an, Ustadz, dan kaum muslimin semua, karena kaum muslimin memiliki keterkaitan dengan Al-Qur’an.

– Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Sebagian dari penjelasannya telah disebutkan dalam bab yang sebelum ini.

Termasuk adab-adab penghafal Al-Quran ialah:

  • Dia harus berada dalam keadaan paling sempurna dan perilaku paling mulia dan menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dilarang Al-Qur’an demi mengagungkan Al-Qur’an.

Penjelasan:

Pembawa Al-Qur’an hendaknya berakhlak mulia termasuk membersihkan diri pada sifat lahiriah dan batiniah. Dan idealnya seperti yang ada pada Rasulullah ﷺ (Syamail Muhammadiyah).

Penisbahan terhadap sesuatu menentukan kata yang disandarkan, seperti Penghafal Al-Qur’an, yang disandari adalah Al-Qur’an yang agung, datang dari Allah ﷻ yang tinggi, maka penghafal Al-Qur’an harus benar-benar harus menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan dalam Al-Qur’an.

Rasulullah ﷺ sebagai teladan memiliki akhlak Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya dia mengatakan itu ketika menggambarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Disebutkan dalam hadits yang panjang tentang kisah Sa’ad bin Hisyam bin Amir ketika datang ke Madinah dan mengunjungi Aisyah Radhiyallahu ‘Anha untuk menanyakan beberapa masalah. Sa’ad bin Hisyam bin Amir berkata,

فَقُلتُ : يَا أُمَّ المُؤمِنِينَ ! أَنبئِينِي عَن خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَت : أَلَستَ تَقرَأُ القُرآنَ ؟ قُلتُ : بَلَى .قَالَت : فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ القُرآنَ .قَالَ : فَهَمَمْتُ أَن أَقُومَ وَلَا أَسأَلَ أَحَدًا عَن شَيْءٍ حَتَّى أَمُوتَ …الخ رواه مسلم (746)

“Aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, beritahulah aku tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam!” Aisyah bertanya, ‘Bukankah engkau membaca Al-Qur’an?” Aku menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Sesungguhnya akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an.” Kemudian aku hendak berdiri dan tidak bertanya kepada siapapun tentang apapun hingga aku mati…” (HR. Muslim, no. 746).

Maknanya adalah mengamalkan Al-Qur’an dan berdiri pada batasan-batasan Al-Qur’an, beradab dengan adab-adab Al-Qur’an, mengambil pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan dan kisah-kisah Al-Qur’an, mentadabburinya dan membacanya dengan baik. (An-Nawawi mengatakan dalam Syarah Shahih Muslim, 3/268).

– Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

– Hendaklah ia terpelihara dari pekerjaan yang rendah, berjiwa mulia, lebih tinggi derajatnya dari para penguasa yang sombong dan pecinta dunia yang jahat, merendahkan diri kepada orang-orang shaleh dan penggemar kebaikan serta kaum miskin. Hendaklah ia seorang yang khusyuk, memiliki ketenangan dan wibawa.

Penjelasan:

Seorang penghafal Al-Qur’an memiliki jiwa yang mulia, besar dan hal-hal yang sifatnya rendahan. Mengecilkan masalah yang bisa dikompromikan, dan jiwa yang mulia. Termasuk jiwa yang rendah antara lain menjual ayat-ayat untuk memperkaya diri dan keluarganya saja.

Penghafal Al-Qur’an lebih tinggi derajatnya dari para penguasa yang sombong dan pecinta dunia yang jahat. Dia orang yang mulia, dihormati dan tidak merendahkan diri terhadap mereka. Tetapi tawadhu kepada orang yang shaleh dan kaum miskin.

– Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Telah diriwayatkan dari Umar Ibnul Khattab bahwa ia berkata: “Hai para ahli baca Al-Qur’an, angkatlah kepalamu. Telah jelas jalannya bagimu dan berlombalah kalian untuk berbuat kebaikan dan janganlah kalian menggantungkan diri kepada orang lain”.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Hendaklah penghafal Al-Qur’an bangun malam dengan membaca Al Qur’an ketika orang-orang tidur dan berpuasa di siang hari ketika orang-orang tidak puasa”.

Hendaklah ia bersedih ketika orang-orang gembira dan menangis ketika orang-orang tertawa, diam ketika orang-orang berbicara dan menampakkan kekhusyukannya ketika orang-orang menyombongkan diri.

Diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri) bahwa ia berkata: Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menganggap Alquran surat-surat dari Tuhan mereka. Maka mereka merenungkannya di waktu malam dan mengamalkannya di waktu siang.

Diriwayatkan dari Al fudhail bin Iyadh: Patutlah menghafal Al-Qur’an tidak mempunyai kebutuhan kepada seorang pun dari para khulafa’ dan orang yang kedudukannya di bawah mereka.

Diriwayatkan dari Al-Fudhail pula, ia berkata: Penghafal Al-Qur’an adalah pembawa bendera Islam. Tidaklah patut ia bermain bersama orang yang bermain dan lupa bersama orang yang lupa serta tidak berbicara yang sia-sia bersama temannya demi mengagumkan Al-Qur’an.

Penjelasan:

Makna ahli baca Al-Qur’an zaman salaf dulu adalah para ulama, bukan pembaca Alqur’an seperti zaman sekarang.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

إنك في زمان كثير فقهاؤه قليل قراؤه تُحْفَظُ فِيهِ حُدُودُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُرُوفُهُ قَلِيلٌ مَنْ يَسْأَلُ كَثِيرٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الصَّلَاةَ وَيُقَصِّرُونَ الْخُطْبَةَ يُبَدُّونَ أَعْمَالَهُمْ قَبْلَ أَهْوَائِهِمْ وَسَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ كَثِيرٌ قُرَّاؤُهُ يُحْفَظُ فِيهِ حُرُوفُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُدُودُهُ كَثِيرٌ مَنْ يَسْأَلُ قَلِيلٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الْخُطْبَةَ وَيُقَصِّرُونَ الصَّلَاةَ يُبَدُّونَ فِيهِ أَهْوَاءَهُمْ قَبْلَ أَعْمَالِهِمْ

Kalian (para sahabat nabi) hidup di zaman banyak fuqaha, sedikit qurra (ahli baca Al-Qur’an ), di zaman ini terjaga hukum-hukum Al-Qur’an , hilang huruf-hurufnya (bacaan tidak terlalu bagus), peminta-minta lebih sedikit dibanding yang memberi, shalatnya panjang dan khutbahnya pendek, mereka mengutamakan amal-amalnya dibanding hawa nafsunya. Akan datang zaman kepada manusia, fuqahanya sedikit, banyak ahli baca Al-Qur’an , mereka hanya menjaga huruf-hurufnya tapi luput dari menjaga hukum-hukum syariat yang ada pada Al-Qur’an , peminta-minta lebih banyak dibanding pemberi, khutbah mereka panjang tapi salat mereka pendek, mereka lebih menampakkan hawa nafsunya dibanding amalnya. (HR. Malik, Dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 5/510).

Standar Ideal penghafal Al-Qur’an

Atsar Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu berupa enam nasihat berupa ibadah dan akhlak kepada para pembawa Al-Qur’an, dan inilah standar ideal penghafal Al-Qur’an:
1. Shalat malam dengan membaca Al Qur’an ketika orang-orang tidur.
2. berpuasa di siang hari ketika orang-orang tidak puasa”.
3. Hendaklah ia bersedih ketika orang-orang gembira.
4, Menangis ketika orang-orang tertawa.
5. Diam ketika orang-orang berbicara
6. Menampakkan kekhusyukannya ketika orang-orang menyombongkan diri.

Ibnu Mas’ud Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Al-Makki Al-Muhajir Al-Hudzaliy.

Ubaydillah bin Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Abdullah bin Mas’ud itu laki-laki yang kurus, pendek, dan berkulit hitam, dan beliau tidak menyemir ubannya.” Dari A’masy dari Ibrahim, ia berkata, “Abdullah adalah pribadi yang lembut lagi cerdas.” (Siyar A’lam Nubala)

“Nabi memerintahkan Ibnu Mas’ud (untuk suatu perkara, -pen.), maka ia pun memanjat sebuah pohon yang Nabi suruh untuk membawakan sesuatu dari pohon tersebut untuknya. Maka, para sahabat yang lain melihat betis Abdulullah bin Mas’ud tatkala memanjat pohon tersebut. Mereka pun tertawa melihat betisnya yang kecil. Rasulullah menanggapi, ‘Apa yang kalian tertawakan? Sungguh kaki Abdullah lebih berat dibandingkan gunung Uhud di timbangan hari kiamat kelak.’” (HR. Ahmad no. 876, sanadnya dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth).

Abdullah bin Mas’ud dikenal sebagai salah satu di antara sahabat yang paling tinggi ilmunya dan paling sering memberikan fatwa setelah wafatnya Nabi.

Beribadahlah sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing.

Idealnya, kita menjangkau sifat yang ideal. Akan tetapi tidak semua orang mampu melakukannya.

Ibnu Mas’ud itu jarang-jarang puasa sunnah. Beliau mengatakan:

إِذَا صُمْتُ ضَعُفْتُ عَنِ الصَّلَاةِ وَأَنَا أَخْتَارُ الصَّلَاةَ عَنِ الصَّوْمِ

“Jika aku berpuasa sunnah aku tidak bisa memperbanyak sholat sunnah. Padahal aku lebih memilih memperbanyak sholat sunnah dibandingkan puasa sunnah.” (Mukhtasar Minhaj Al-Qashidin hlm 57, al-Maktab al-Islamy).

Hendaknya masing-masing kita mengenali diri kita sendiri sendiri dan mengenali amal sunnah yang menjadi bakatnya.

Setelah itu maksimalkan bakat tersebut sehingga amal tersebut bisa menjadi amal andalan, amal sunnah yang paling diharapkan bermanfaat baginya di akhirat nanti.

Oleh karena itu, sungguh indah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullahu Ta’ala ketika berdiskusi dengan seseorang yang menyibukkan dirinya dalam ibadah.

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْعُمَرِيَّ الْعَابِدَ كَتَبَ إِلَى مَالِكٍ يَحُضُّهُ إِلَى الِانْفِرَادِ وَالْعَمَلِ وَيَرْغَبُ بِهِ عَنِ الِاجْتِمَاعِ إِلَيْهِ فِي الْعِلْمِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ

“Sesungguhnya ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Umarri Al-‘Aabid, seorang ahli ibadah, menulis surat kepada Imam Malik. Beliau menyarankan (memotivasi) Imam Malik untuk menyendiri (uzlah) dan sibuk beribadah dalam kesendirian. Dan dengan motivasi itu, dia ingin menggembosi semangat Imam Malik dari mengajarkan ilmu. Imam Malik pun membalas surat tersebut dengan mengatakan,

أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَسَّمَ الْأَعْمَالَ كَمَا قَسَّمَ الْأَرْزَاقَ فَرُبَّ رَجُلٍ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّوْمِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّدَقَةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصِّيَامِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الْجِهَادِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَنَشْرُ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمُهُ مِنْ أَفْضَلِ أَعْمَالِ الْبِرِّ وَقَدْ رَضِيتُ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ لِي فِيهِ مِنْ ذَلِكَ وَمَا أَظُنُّ مَا أَنَا فِيهِ بِدُونِ مَا أَنْتَ فِيهِ وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ كِلَانَا عَلَى خَيْرٍ وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا أَنْ يَرْضَى بِمَا قُسِّمَ لَهُ

‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu membagi amal (ibadah) sebagaimana Allah membagi rizki (maksudnya, ada yang sumber rizkinya dari berdagang, menjadi petani, dan seterusnya, pen.). Ada orang yang dibukakan untuknya pintu shalat, namun tidak dibukakan pintu puasa. Sedangkan yang lain, dibukakan pintu sedekah, namun tidak dibukakan pintu puasa. Yang lain lagi, dibukakan pintu jihad, namun tidak dibukakan pintu shalat. Adapun menyebarkan ilmu dan mengajarkannya termasuk di antara amal kebaikan yang paling utama. Dan sungguh aku telah ridha dengan apa yang telah Allah Ta’ala bukakan untukku. Aku tidak menyangka amal yang Allah mudahkan untukku itu lebih rendah dari amal yang Engkau kerjakan. Aku berharap bahwa kita berdua berada dalam kebaikan. Dan wajib atas setiap kita untuk ridha terhadap amal yang telah dibagi untuknya.” (At-Tamhiid, 7/158 dan Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8/114)

Lihatlah kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh Imam Malik di atas. Beliau mengatakan, “Aku berharap bahwa kita berdua berada dalam kebaikan.” Beliau tidak mengatakan, “Engkau tidak paham (bodoh)” atau “Engkau tidak memiliki ilmu sebagaimana ilmu yang aku miliki dan Engkau ini lebih rendah.” Akan tetapi, beliau menutup suratnya dengan kalimat yang sangat indah dan penuh ketawadhu’an, “Aku berharap bahwa kita berdua berada dalam kebaikan.”

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم