بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 19 Rajab 1446 / 19 Januari 2025
KITAB SHALAT
Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjama’ah – Bagian 4
Telah berlalu penjelasan bahwa hukum shalat berjama’ah yang rajih adalah wajib, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat:
- Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimin (terdahulu), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah. - Hukumnya syarat, Tidak Sah Shalat Tanpa Berjama’ah, Kecuali Dengan Udzur.
Demikian ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. - Hukumnya Sunnah Muakkad.
Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. - Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) Dan Bukan Syarat.
Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, Al Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali.
HUKUM TIDAK MELAKSANAKAN SHALAT BERJAMA’AH DAN HUKUM KEABSAHAN SHALAT BERJAMA’AH
Sesungguhnya orang yang tidak melaksanakan shalat berjama’ah, jika ia shalat seorang diri, berada dalam salah satu dari dua kondisi:
Pertama, ia tidak melaksanakan shalat berjama’ah karena udzur, baik itu berupa sakit ataupun kondisi perang misalnya. Dan bukan merupakan kebiasaannya mengabaikan shalat berjama’ah, jika tidak ada udzur.
Orang semacam ini akan memperoleh pahala shalat berjama’ah, berdasarkan sebuah hadits shahih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah ketika mensyarah hadits ini, beliau mendatangkan perkataan Imam As-Subki Al-Kabir (Tajuddin As-Subki) putera Imam Taqiyyudin As-Suyuti rahimahumallahu:
– Barangsiapa yang punya kebiasaan shalat berjama’ah dan ada udzur yang menghalanginya maka dicatat baginya shalat berjama’ah.
– Tapi barangsiapa tidak punya kebiasaan dan dia ingin shalat berjama’ah dan terhalangi adanya udzur, sehingga shalat sendirian ditulis baginya pahala karena niat yang baik, bukan pahala berjama’ah.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah mengatakan barangsiapa yang berniat mengikuti kebaikan dan dia berusaha bersemangat melakukannya, jika itu merupakan kebiasaannya dan terhalang udzur syar’i maka dicatat baginya secara sempurna.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghabun: 16).
Dan Allah ﷻ tidak akan membebani kita dengan sesuatu di atas kemampuan kita.
Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّـهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Udzur yang syar’i antara lain Sakit, seperti yang pernah dialami Rasulullah ﷺ yang memerintahkan Abu Bakar Radhiyallahu’anhu untuk menggantikan beliau.
Imam Al-Buhuti dalam Syarah Al-i’tinaai mengatakan: orang yang sakit diberi udzur untuk tidak shalat Jama’ah dan shalat Jum’at. Seperti contoh dalam hadits Rasulullah ﷺ.
Dr. Sa’ad Al-Khatslan Rahimahullah menjelaskan ketentuan sakit yang masuk dalam kategori udzur:
1. Jika sakitnya yang sifatnya menular. Bahkan tidak boleh berjama’ah karena membahayakan kaum muslimin.
2. Jika kondisinya membahayakan dirinya seperti dinasehatkan dokter.
3. Ketika pergi ke masjid akan memberatkan yang menjadikannya tidak khusyu.
Jika sakitnya ringan yang tidak menghalangi konsentrasi kekhusyuan, maka ini bukan yang dibolehkan.
Kedua, ia tidak melaksanakan shalat berjama’ah tanpa udzur.
Orang semacam ini jika ia shalat seorang diri, shalatnya tetap sah, menurut mayoritas ulama. Namun ia merugi karena kehilangan pahala besar dan ganjaran yang berlimpah. Karena shalat berjama’ah lebih baik darip ada shalat seorang diri sebanyak 27 derajat. Ia juga kehilangan pahala dari langkah-langkah kaki yang diayunkan menuju masjid.
Di samping kerugian akibat hilangnya pahala besar tersebut, ia juga melakukan dosa besar. Karena ia telah mengabaikan suatu kewajiban tanpa udzur. Ia telah melakukan suatu perbuatan mungkar yang wajib diingkari, dan pelakunya harus diberi sanksi oleh penguasa, agar ia kembali kepada kebenaran.
Keutamaan Jalan ke Masjid di Waktu Malam
عن بُريدَة – رضي الله عنه – ، عن النبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( بَشِّرُوا المَشَّائِينَ في الظُّلَمِ إلى المَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ القِيَامَةِ)) رواه أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ .
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan menuju masjid-masjid, bahwa ia akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 561; Tirmidzi, no. 223. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
– Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang berjalan di kegelapan dan ini ditemukan dalam shalat Isya’ dan shalat Shubuh yang dilakukan berjamaah di masjid. Mereka yang menjaga shalat tersebut, itulah yang akan mendapatkan cahaya pada hari kiamat.
– Orang beriman mendapatkan kabar gembira tentang keadaannya yang bercahaya pada hari kiamat.
TEMPAT DILAKSANAKANNYA SHALAT BERJAMA’AH
Saudara seiman,
Tempat pelaksanaan shalat berjama’ah adalah masjid. Hal ini untuk menampakkan syi’ar Islam. Tidaklah pemakmuran masjid disyari’atkan kecuali semata-mata untuk tujuan itu. Karenanya, pelaksanaan shalat berjama’ah di selain masjid, dapat menggugurkan tujuan tersebut.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 18:
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat yang mulia di atas memuat sanjungan terhadap masjid dan orang-orang yang memakmurkannya, bahkan menjanjikan bagi mereka pahala yang besar. Sebagaimana juga menyiratkan celaan terhadap orang yangenggan menghadiri shalat berjama’ah.
Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak (sempurna) shalat orang yang bertetangga dengan masjid, kecuali di masjid.”
Dari ‘Ali Radhiyallahu’anhu, diriwayatkan ungkapan senada, namun dengan tambahan, “Orang yang dekat dengan masjid adalah orang yang dapat mendengar suara adzan.” Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih. Tetapi didhaifkan oleh Syaikh Albani.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Siapa pun yang merenungkan ajaran as-sunnah dengan sebaik-baiknya, akan menjadi jelas baginya bahwa pelaksanaan shalat berjama’ah di masjid wajib hukumnya bagi setiap pribadi muslim, kecuali karena adanya halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan (shalat) berjama’ah tersebut. Mengabaikan untuk menghadiri (berjama’ah) di masjid tanpa udzur, hukumnya seperti meninggalkan jama’ah kaum muslimin tanpa udzur. Dengan demikian, seluruh hadits dan atsar dapat terkompromikan semuanya…” Demikian ungkap beliau.
HUKUM MENDIRIKAN SHALAT BERJAMA’AH DI LUAR MASJID
Mendirikan shalat berjama’ah di luar masjid, sama artinya dengan menyia-nyiakan masjid, atau mengurangi jumlah orang-orang yang shalat di masjid. Itu sama artinya dengan mengurangi urgensi shalat dalam jiwa kaum muslimin. Allah ilk berfirman:
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut Nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan zaaktu petdng.” (QS. QS. An-Nuur: 36)
‘Memuliakan’ di sini meliputi makna secara lahir maupun batin dari masjid itu sendiri. Kedua-duanya diperintahkan dalam Islam.
Namun jika memang dibutuhkan untuk didirikan shalat berjama’ah di luar masjid, seperti dalam kasus para pegawai di wilayah kerja dan komunitas mereka, di mana apabila mereka shalat di tempat mereka, dapat memperkuat etos kerja mereka, dan dalam hal ini dapat diberlakukan keharusan melakukan shalat berjama’ah pada setiap karyawan, sementara di sisi lain, hal itu tidak akan menyebabkan masjid yang ada di sekitar kantor mereka menjadi tersia-siakan, karena masih adanyamasyarakat setempat yang shalat di dalamnya, maka dalam kondisi demikian -dengan adanyahal-hal yang memberi keringanan- tidak mengapa mereka shalat berjama’ah di wilayah kerja mereka.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم