بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 10 Jumadil Akhir 1446 / 11 Desember 2024.
Kajian Ke-19 | Bab 4: Panduan Mengajar dan Belajar Al-Qur’an.
Bagaikan Bintang di Langit yang Tinggi
– Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:
Pasal: Tentang adab-adab Pelajar
Semua yang kami sebutkan tentang adab-adab pengajar juga berlaku bagi pelajar. Termasuk adab-adabnya ialah:
– Menjahui sebab-sebab yang melalaikan dari konsentrasi belajarnya, kecuali sebab yang harus dilakukannya untuk suatu keperluan.
– Hendaklah ia membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran agar layak menerima Al-Qur’an dan menghafalkan serta memanfaatkannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Orang bijak berkata: Hati menjadi baik untuk menerima ilmu seperti tanah menjadi baik untuk ditanami.
– Pelajar harus merendahkan dirinya kepada pengajarnya dan bersikap sopan terhadapnya, meskipun lebih muda usianya, lebih sedikit kemasyhurannya, lebih rendah nasab dan kebaikannya dan selain itu.
– Hendaklah ia merendahkan diri kepada ilmu, karena dengan tawadhu’nya kepada ilmu ia akan mudah mendapatkannya.
Penyair berkata:
Ilmu tidak bisa mencapai pemuda yang tinggi hati seperti banjir yang tidak bisa mencapai tempat yang tinggi.
– Patutlah pelajar taat kepada gurunya dan bermusyawarah dengannya dalam berbagai urusannya. Ia terima perkataannya seperti orang sakit yang berakal menerima perkataan dokter yang menasihati dan pandai. Yang ini lebih utama.
📃 Penjelasan:
Adab-adab yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah berupa adab kepada guru berlaku juga adab-adab itu kepada para pelajar.
Dan pengajar bukan hanya guru di Madrasah saja tetapi juga orang tua di rumah yang juga bertugas mengajar anak-anaknya.
Dan akhlak seorang guru akan berpengaruh besar terhadap anak didiknya seperti pepatah yang mengatakan guru makan berdiri anak makan berlari.
– Menjahui sebab-sebab yang melalaikan dari konsentrasi belajarnya.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan penghalang-penghalang bagi seorang murid antara lain sibuk dengan gadget atau perhatian yang lebih dengan main bola, yang dapat menghilangkan konsentrasi.
Bagi para ulama Salaf, mereka tidak mengenal alat-alat yang kita sebutkan pada zaman sekarang, akan tetapi mereka meninggalkan hal yang kita anggap sekarang sebagai hal yang penting seperti menikah. Maka, kita lihat beberapa ulama yang membujang seperti Imam An-Nawawi dan Syaikhul Islam rahimahumallahu. Mereka tidak mengharamkan nikah, tetapi karena sibuk mempelajari ilmu mereka tidak sempat untuk menikah.
Maka, hal yang penting yang perlu kita lakukan adalah bukan melarang anak-anak kita bermain gadget, tetapi mengedukasi mereka atau membatasi penggunaannya agar bisa efektif antara belajar dan kebutuhan dalam mencari informasi.
– Hendaklah ia membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran.
Hati diibaratkan raja, sedang aggota badan adalah prajuritnya. Bila rajanya baik, maka akan baik pula urusan para prajuritnya. Bila buruk, maka demikian pula urusan para prajuritnya. Oleh sebab itu, dalam Islam amalan hati memiliki kedudukan yang agung.
Seseorang akan selamat di hari kiamat kelak jika menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’aro’: 88).
Dan hati kita akan selalu dipengaruhi setan agar menjadi sakit dengan dua senjata. Dua senjata itu adalah syubhat dan syahwat. Dua penyakit yang menyerang hati manusia dan merusakkan perilakunya.
Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan ilmu dan keyakinannya. Sehingga jadilah “perkara ma’ruf menjadi samar dengan kemungkaran, maka orang tersebut tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran.
Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at.
Fitnah syahwat ini akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini.
Allah ﷻ berfirman dalam QS. Al-Jumu’ah Ayat 2:
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ
Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menuturkan bahwa sebelum mengajarkan kitab (tarbiyah) terlebih dahulu disucikan hatinya (tasyfiyah).
Hati merupakan standar dari nilai seseorang, karena standar nilai seseorang bisa dilihat dari dua hal yaitu lisan dan hati.
Al-Qur’an itu suci, maka sebelum mengisi hati dengan Al-Qur’an, terlebih dahulu harus disucikan hatinya.
💡 Qolbun dalam bahasa Arab bermakna jantung, tetapi diartikan hati dalam bahasa Indonesia.
– Pelajar harus merendahkan dirinya kepada pengajarnya dan bersikap sopan terhadapnya, meskipun lebih muda usianya, lebih sedikit kemasyhurannya, lebih rendah nasab dan kebaikannya dan selain itu.
– Hendaklah ia merendahkan diri kepada ilmu, karena dengan tawadhu’nya kepada ilmu ia akan mudah mendapatkannya.
Karena ilmu akan lari dari orang yang sombong. Seseorang akan menjadi besar dengan sifat tawadhu’ (rendah hati). Bagaikan Bintang di Langit yang Tinggi!
Abdullah bin Abbas, atau juga terkenal dengan sebutan Ibnu Abbas (putra Abbas), sepupu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sangat beradab kepada para Ulama yang lebih senior dari beliau. Beliau pernah menuntun tali kekang kendaraan Zaid bin Tsabit. Hal itu membuat Zaid bin Tsabit merasa tidak enak, dan melarang Ibnu Abbas, karena beliau adalah anak paman Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Namun Ibnu Abbas berkata:
هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائِنَا
Demikianlah kami diperintah untuk berbuat terhadap para Ulama (orang-orang berilmu) kami (riwayat Ibnul Mubarak, dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Ishobah).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, Siapa yang tidak sabar untuk rendah hati di hadapan guru (proses belajar), maka siap-siaplah orang itu menanggung sakitnya kebodohan sepanjang hidupnya.
Para ulama salaf sangat tawadhu hingga mereka tidak segan untuk berguru kepada orang lain yang lebih berilmu.
Abu Darda Radhiyallahu’anhu pernah berkata: ‘Ilmu itu ada tiga jengkal
• Orang yang sedikit ilmunya kadang sedikit sombong.
• Semakin dia mengetahui ilmu maka ia akan tawadhu, karena sadar bahwa masih sedikit yang ia tahu.
• Semakin ia mengetahui lagi maka akan semakin haus, sama dengan jihad.
(Hilyah Thalib al-‘Ilmu oleh Syaikh Bakar Abu Zaid).
Tawadhu’ atau rendah hati adalah salah satu sifat yang sangat terpuji dimana sifat ini merupakan cerminan dari kematangan seseorang dalam prilaku, sikap dan tutur kata.
تواضع تكن كالنجم لاح لناظر
على صفحات الماء وهو رفيع
ولا تكن كالدخان يعلو بنفسه
إلى طبقات الجوّ وهو وضيع
Rendah hatilah laksana bintang yang kelihatan rendah bagi yang melihatnya pada permukaan air adahal ia sendiri tinggi di atas sana,
Janganlah anda bagaikan asap membumbung tinggi dengan sendirinya ke lapisan-lapisan udara, padahal ia sendiri hina (tidak ada apa-apanya).
Dari penggalan kata kata mutiara di atas dapat dicerna bahwa jadilah kamu seperti bintang, meskipun dia jauh dilangit tetapi ia tetap dapat dilihat diibaratkan meskipun ilmunya tinggi dan dia memiliki sikap tawadhu’, maka dia akan tetap dikenang, tetapi janganlah kamu memiliki sikap seperti asap, dimana dia semakin tinggi gengsinya semakin sombong padahal dengan kesombongan itu orang muak melihatnya dan melupakannya.
Kita lihat kisah ketawadhuan Nabi Musa Alaihissalam tatkala diperintahkan untuk menuntut ilmu kepada Nabi Khidir alaihi salam.
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut, atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun).” (Q.S. al-Kahfi [18]: 60).
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Muhammad ar Razi dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib menafsirkan ayat di atas,
أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ مَعَ كَثْرَةِ عِلْمِهِ وَعَمَلِهِ وَعُلُوِّ مَنْصَبِهِ وَاسْتِجْمَاعِ مُوْجِبَاتِ الشَّرَفِ التَّامِّ فِيْ حَقِّهِ ذَهَبِ اِلَى الْخَضَرِ لِطَلَبِ الْعِلْمِ وَتَوَاضُعِ لَهُ
“Sungguh Musa Alaihissalam dengan banyaknya ilmu, amal, keluhuran derajat dan adanya berbagai hal yang menetapkan kemuliaan yang sempurna padanya pergi mendatangi Khidir untuk menuntut ilmu dan tawadhu (rendah hati) kepadanya.”
Musa memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) sehingga mau belajar dari siapa pun, baik yang lebih rendah kedudukannya dari dirinya. Ingatlah, sifat tawadhu’ adalah jalan mudah meraih ilmu.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم