بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 6 Jumadil Akhir 1446 / 8 Desember 2024



KITAB SHALAT
Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjama’ah

Mukadimah

Rasulullah ﷺ sangat menekankan akan pentingnya shalat berjamaah, Beliau Nabi ﷺ bersabda :

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إلاَّ أنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang terdapat pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidaklah akan medapatkannya kecuali dengan diundi, niscaya pasti mereka akan mengundinya.“ (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan adanya keutamaan dan pahala khusus pada shaf pertama, dan bolehnya undian untuk mendapatkannya jika diperlukan.

Perhatian Generasi salaf dalam Shalat Berjama’ah.

Imam Sa’id bin al-Musayyab (wafat setelah thn 90 H), imam besar dari generasi Tabi’in dan paling luas ilmunya di kalangan mereka. Imam Ibnu Hibban berkata tentang sifat-sifat beliau yang terpuji: “Beliau termasuk pemuka para Tabi’in dalam pemahaman agama, sifat wara’, ilmu, ibadah dan kemuliaan…Selama empat puluh tahun, tidaklah dikumandangkan adzan shalat kecuali Sa’id bin al-Musayyab (telah berada) di masjid menanti (shalat berjama’ah)” (Kitab “ats-Tsiqaat” (4/274).)

Ada lagi kisah lainnya, Orang itu bernama Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Dalam kitab Siyar A’laam an-Nubala karya Imam Adz-Dzahabi dijelaskan bahwa beliau adalah imam panutan, cendikiawan dan ahli ibadah.

Abu Hayyan pernah mendapat cerita dari ayahnya bahwa Ar-Rabi’ bin Khutsaim dipapah untuk pergi menunaikan shalat jamaah, padahal saat itu beliau sedang lumpuh. Kemudian ada jamaah bertanya kepada beliau, “Bukankah Anda telah diberi keringanan untuk tidak menunaikan shalat berjamaah?” Beliau menjawab, “Aku mendengar hayya ‘alash shalaah, jika kalian bisa maka datanglah, walaupun harus dengan cara merangkak.”

Beliau punya pilihan untuk tetap shalat di rumah karena kelumpuhannya. Namun, yang dipilih adalah tetap berjamaah dengan meminta bantuan orang agar dipapah ke masjid. Luar biasa bukan? Seoalah-olah cacat yang sedang didera, sama sekali tidak menghalangi semangatnya untuk pergi ke masjid menunaikan shalat berjamaah. Lalau bagaimana dengan kita yang tak cacat, sehat dan masih kuat?

Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu berkata bahwa orang yang seperti itu berdosa karena mengingkari Allah ﷻ. Ibnu Abbas juga berkata, “Barangsiapa mendengar adzan, tetapi tidak melaksanakan shalat berjamaah, maka dia tidak menghendaki kebaikan dan tidak mau diberikan kebaikan”.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َقَالَ: «مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ». رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ، وإسْنَادُه عَلَى شَرْطِ مُسْلِم، لكِنْ رَجَّحَ بَعْضُهُمْ وَقْفهُ.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mendengar azan, tetapi ia tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali bagi orang yang mempunyai uzur.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dengan sanad yang menurut syarat Muslim. Sebagian menguatkan bahwa hadits ini mawquf).

[HR. Ibnu Majah, no. 1:259; Ad-Daruquthni, 1:420; Ibnu Hibban, 5:415; Al-Hakim, 1:245. Hadits ini diperselisihkan mawquf ataukah marfu’. Yang lebih kuat, riwayat ini mawquf. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:368-369].

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata “Barangsiapa yang mendengar suara azan, tetapi tidak shalat berjamaah, maka lebih baik dituangkan cairan timah yang mendidih kedalam telinganya”.

Suatu ketika, Maimun bin Mahran bergegas menuju masjid. Sayangnya, jemaah shalat telah usai dan semuanya kembali ke rumah masing-masing. Kejadian ini membuat hati Maimun merasa bersalah seraya berguman, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, sungguh keutamaan shalat berjemaah lebih aku cintai daripada menjadi penguasa di Irak.”

Penyesalan Maimun bin Mahran ini tak lepas dari keutamaan shalat berjamaah.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yusuf Ayat 111:

لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ۗ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

Sesungguhnya di dalam kisah-kisah para salaf dapat melunakkan hati yang keras.

– Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Salah satu syi’ar terbesar dalam agama lslam, adalah Shalat berjamalah di masjid-masjid. Kaum muslimin telah bersepakat, bahwa melaksanakan shalat lima waktu di masjid termasuk ibadah yang paling ditekankan, dan termasuk bentuk pendekatan diri kepada Allah yang terbesar. Bahkan dapat dikatakan sebagai syi’ar Islam yang paling besar dan tampak.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43).

Allah ﷻ telah mensyari’atkan bagi umar ini untuk bertemu dan berkumpul pada waktu-waktu tertentu. Diantaranya, ada yang dilakukan dalam sehari semalam, seperti shalat lima waktu. Di mana kaum muslimin berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat lima waktu berjama’ah setiap hari sebanyak lima kali.

—————–
Penjelasan:

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa waktu-waktu shalat tersebut sudah ditentukan oleh syari’at melalui dalil-dalil yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Untuk itu tidak ada celah dalam membuat aturan-aturan baru tanpa ada dalilnya.

Ad Darimi rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dalam Sunan-nya sebuah kejadian yang patut kita renungkan. Kejadian ini terjadi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal. Pagi itu, adzan Subuh belumlah berkumandang. Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu melihat orang-orang berkumpul di masjid. Sambil menunggu salat wajib untuk ditunaikan, mereka berkumpul menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok ada pemimpin yang memandu mereka untuk berzikir. Mereka menggunakan kerikil sebagai alat penghitung zikirnya. “Bertasbihlah seratus kali,” kata pemandu itu. Anggotanya pun melakukan tasbih. “Bertahlillah seratus kali.” “Bertakbirlah seratus kali.” Demikian, anggota halaqahnya mengikuti perintah dari sang pemandu.

Abu Musa radhiyallahu ‘anhu merasa aneh dengan amalan yang tidak pernah dilihatnya di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Kalau tasbih, tahlil, dan takbir tentu itu adalah zikir yang sudah sangat dikenal oleh shahabat. Namun, yang beliau anehkan adalah caranya yang berjamaah. Cara ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat.

Maka, Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pun mendatangi Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu untuk meminta keterangan dari beliau. Ibnu Mas’ud memang dikenal sebagai shahabat yang sangat lama menimba ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Setelah Abu Musa bercerita apa yang dialaminya, Ibnu Mas’ud pun segera ke masjid untuk meluruskan bid’ah yang mereka lakukan. Ibnu Mas’ud pun marah.

“Apa yang kalian lakukan ini?” tanya Ibnu Mas’ud.

“Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Mas’ud), ini hanyalah kerikil untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih.”

“Hitunglah kejelekan kalian, aku jamin sedikit pun kebaikan kalian tidak akan hilang.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kasihan kalian umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam! Betapa cepat kehancuran kalian! Ini, para shahabat Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam masih banyak. Baju-baju beliau pun belum usang. Bejana beliau pun belum juga pecah. Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, apakah kalian ini di atas agama yang lebih berpetunjuk daripada agama Nabi ataukah kalian membuka pintu kesesatan?!”

Lalu, orang-orang itu pun berdalih, “Wahai Abu Abdirrahman, kami hanya ingin kebaikan.” Niatan mereka sebenarnya baik, menunggu datangnya waktu salat dengan melakukan zikir berjamaah. Tapi sayang, caranya tidak sesuai dengan teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Sehingga, ada satu syarat yang tidak terpenuhi agar amalnya diterima. Makanya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pun menjawabnya, “Betapa banyak orang yang ingin kebaikan, tapi sayang tidak bisa mendapatkannya.”

Beliau Radhiyallahu’anhuma pun melanjutkan dengan menyebutkan hadist, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepadaku, ada suatu kaum yang membaca Al Quran, namun tidak melewati kerongkongan mereka (yakni hanya dibaca tanpa direnungi sampai di kalbunya). Demi Allah, aku tidak tahu, bisa jadi mayoritas mereka adalah dari golongan kalian.” Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhuma pun berpaling dari mereka setelah memberikan nasihat ini.

Fawaid:
1. Peringatan terhadap bid’ah dalam agama dan kewajiban meninggalkannya, karena ibadah adalah taukifiyah.
2. Ibadah tidak cukup dengan niat baik, tetapi harus memenuhi syarat ikhlas karena Allah ﷻ dan ittibâ kepada Nabi ﷺ.
3. Pentingnya mengikuti sahabat Nabi ﷺ.
4. Bahayanya meremehkan urusan agama. Karena merupakan pintu kepada penyimpangan yang lebih besar.

– Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Di antara pertemuan tersebut ada yang dilakukan sepekan sekali, seperti pertemuan shalat Jum’at. Pertemuan ini lebih besar dibandingkan dengan pertemuan shalat lima waktu.

Ada juga pertemuan yang dilakukan setahun dua kali. Yaitu pertemuan shalat Idul Fihtri dan Idul Adhha. Kedua pertemuan ini lebih besar dibandingkan dengan shalat Jum’at. Karena pada hari itu seluruh masyarakat muslim disyari’atkan untuk berkumpul.

Note: Alasan perkumpulan yang lebih besar daripada shalat lima waktu karena : dilakukan serentak dan adanya khutbah.

Ada juga pertemuan yang dilakukan setahun sekali saja, yaitu wuquf di ‘Arafah. Pertemuan ini bahkan lebih kolosal dibandingkan dua hari Ied. Karena pertemuan ini disyari’atkan bagi kaum muslimin secara umum di berbagai belahan bumi.

Berbagai pertemuan besar itu disyari’atkan dalam Islam, semata-mata demi kemaslahatan kaum muslimin, agar terjalin hubungan baik di antara mereka dalam wujud kebajikan, kasih sayang dan saling perhatian. Juga untuk menciptakan rasa cinta kasih dalam hati mereka. Agar satu sama lain saling mengetahui kondisinya. Sehingga mereka dapat menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazah yang meninggal dan membantu yang membutuhkan pertolongan.

————–

Di antara ayat yang secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara seperti dalam Surah al- Hujurat/49: 10.

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (al-Hujurat/49:10)

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ،  لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Seorang Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain (bahkan ia wajib menolong dan membelanya). Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya. Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, maka Allâh menutupi (aib)nya pada hari Kiamat. [HR. Bukhâri (no. 2442 dan 6951), Muslim (no. 2580) dan lainnya ].

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم