بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 24 Rabi’ul Akhir 1446 / 27 Oktober 2024
KITAB SHALAT
Shalat Dhuha dan Hukum-hukumnya
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita akan melihat definisi dhuha. Dhuha adalah nama untuk waktu. Secara bahasa “Dhuha” diambil dari kata ad-Dhahwu [arab: الضَّحْوُ] artinya siang hari yang mulai memanas.
Allah berfirman:
وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى
“Di surga kamu tidak akan menglami kehausan dan kepanasan karena sinar matahari” (QS. Thaha: 119).
Shalat dhuha adalah shalat sunnah yang dianjurkan dan dikerjakan di waktu dhuha, yaitu awal dari waktu siang hingga matahari meninggi.
Dhuha secara etimologi adalah waktu ketika matahari terbit hingga siang. Sedangkan menurut ulama fikih, Dhuha adalah waktu ketika matahari meninggi hingga waktu zawal (bergesernya matahari dari tengah-tengah langit). Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:221.
Perbedaan Shalat Dhuha dan Isyraq
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan bahwa shalat syuruq adalah shalat Dhuha yang dikerjakan di waktu yang paling awal.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang shalat Isyraq dan shalat Dhuha, maka beliau menjawab,
“(Shalat) sunnah Isyraq adalah shalat sunnah Dhuha. Jika engkau melakukannya pada waktu pagi, ketika matahari terbit dan meninggi seukuran tombak maka itu dinamakan dengan shalat Isyraq. Jika engkau mengerjakannya pada akhir waktu atau di tengah-tengah waktu, maka itu adalah shalat Dhuha.
Walau begitu, ia (shalat Isyraq) tetap dinamakan dengan shalat Dhuha. Sebab para ulama rahimahumullah menjelaskan, ‘Sesungguhnya waktu shalat Dhuha ialah semenjak meningginya matahari seukuran tombak hingga mendekati tergelincirnya matahari (waktu Zhuhur).” (Liqa’ al-Bab al-Maftuh 24/141).
Sehingga orang yang mengerjakan shalat syuruq hakekatnya dia mengerjakan shalat dhuha.
Menurut Fatwa Lajnah Daimah: Perbedaan Shalat Dhuha dan Syuruq adalah dari sisi niat dan waktu pelaksanaan.
1. Shalat syuruq dikerjakan setelah terbitnya matahari dan meninggi sekitar satu tombak (+- 15 menit setelah waktu syuruq).
2. Shalat Dhuha shalat sunnah dikerjakan setelah matahari meninggi sampai sebelum zawal (+- 15 menit sebelum adzan dzuhur).
3. Harus diniatkan sesuai jenis shalat yang kita kerjakan. Sholat dhuha atau syuruq.
4. Jumlah shalat Dhuha sebanyak dua rakaat sampai delapan rakaat.
Keutamaan Shalat Isyraq
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »
“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“ [HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403) ].
Dalam riwayat lain dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya Radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang tetap duduk di tempat shalatnya ketika selesai shalat subuh sampai dia shalat dua rakaat dhuha dia tidak mengucapkan kecuali kebaikan, akan diampuni kesalahan-kesalahannya walaupun lebih banyak dari buih di lautan.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam riwayat lain: ” Maka wajib baginya masuk sorga.”
dalam riwayat Al-Baihaqi semisal itu hanya saja di akhirnya beliau bersabda : “Kulitnya tidak akan tersentuh api neraka.”
Hadits-hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat shalat, setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat [shalat isyraq].
Dalil Disyariatkan Shalat Dhuha
Ulama empat madzhab sepakat bahwa shalat dhuha hukumnya sunnah Muakkadah.
– Berdasarkan wasiat Nabi kepada Abu Huroiroh, ia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ: «صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ»
Abu Huroiroh mengatakan: “Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga hal kepadaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.” ([HR. Bukhori 3/41 No. 1981])
– Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى حتى نقول لا يدعها، ويدعها حتى نقول لا يصليها
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha sampai kami mengatakan bahwa Beliau tidak pernah meninggalkannya, dan Beliau meninggalkannya sampai kami mengatakan bahwa Beliau tidak pernah mengerjakannya.” (HR. At Tirmidzi, beliau menghasankannya. Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam Misykah Al Mashabih No. 1320)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah menjelaskan sisi pendalilan shalat Dhuha adalah sunnah muakkadah, dalam Majmû Fataawa Juz 12 hal. 183-184:
1. Wasiat Rabbani dari Nabi ﷺ kepada Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Perhatian Nabi ﷺ kepada para sahabat untuk beramal shalih, dan adanya wasiat menunjukkan pentingnya suatu amalan.
2. Keberadaan shalat Dhuha dua rakaat sebagai salah satu bagian dari wasiat menunjukkan keutamaan shalat tersebut. Bukan shalat sunnah yang sepele tapi shalat yang diwasiatkan dan memiliki kedudukan khusus.
3. Hadits Abu Hurairah menggunakan kata ‘أَوْصَانِي menunjukkan penegasan amalan yang penting dalam islam.
4. Pengkhususan waktu, yaitu saat matahari meninggi di saat manusia memiliki kesibukan dan aktifitas.
5. Menggandengkan dengan ibadah lain dalam hadits ini, maknanya shalat ini merupakan bagian dari rangkaian ibadah yang dianjurkan, sehingga memperkuat kedudukan shalat dhuha.
Keutamaan Shalat Dhuha
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan oleh Muslim.
An Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 5/234, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392].
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Syarah Shahih muslim dan Majmu Fatawa menjelaskan keutamaannya:
1. Dekatnya seorang hamba kepada Allah ﷻ karena pelaksanaan pada waktunya mencerminkan keikhlasan.
2. Karena shalat Dhuha akan menghapuskan dosa pada hari itu.
3. Wasilah mendatangkan pintu rezeki.
4. Mengangkat derajat hamba.
5. Jiwanya akan tenang.
6. Penegasan ibadah di waktu kerja. Memperkuat pentingnya amalan disaat sibuk dan pentingnya ibadah.
Menurut imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah keutamaan dhuha antara lain: shalat Dhuha termasuk sunnah yang meningkatkan iman, menambah kebaikan dan waktu terkabulnya do’a.
Jumlah Raka’at Shalat Dhuha
Para ulama sepakat bahwa minimal rakaat shalat dhuha adalah dua raka’at.
Adapun batasan maksimalnya: ada perbedaan di antara ulama.
– Ada yang mengatakan paling banyak adalah 8 raka’at (pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah).
– Ada yang mengatakan paling banyak 12 raka’at (pendapat Hanafiyah).
Namun yang lebih kuat adalah bahwa shalat dhuha tidak ada batasan tertentu, hal ini berdasarkan riwayat dari Mu’adzah ketika bertanya kepada ‘Aisyah:
كَمْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى؟ قَالَتْ: “أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ”
“Berapa raka’at shalat dhuha yang Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan? Beliaupun menjawab: 4 raka’at, dan menambah sesuai apa yang Allah azza wa jalla kehendaki.” ([HR. Ahmad no. 24638, sanadnya shohih seseuai dengan syarat Bukhori dan Muslim ])
Tata Cara Shalat Dhuha
Tata cara melaksanakan shalat dhuha sama sebagaimana tata cara shalat lainnya. Dikerjakan dengan dua raka’at-dua raka’at, dengan salam setiap dua raka’at. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صلاةُ اللَّيلِ والنَّهارِ مَثنَى مَثنَى
“Shalat (sunnah) di malam dan siang hari, dua rakaat-dua rakaat” (HR. Abu Daud no. 1295, An Nasa-i no. 1665, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Syaiikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
ويقرأ فيها ما تيسر سوراً أو آيات ليس فيها شيء مخصوص، يقرأ فيها ما تيسر من الآيات أو من السور. وأقلها ركعتان تسليمة واحدة، وإن صلى أربع أو ست أو ثمان أو أكثر يسلم من كل ثنتين فكله حسن
“Dalam shalat dhuha (setelah Al Fatihah, pent.) silakan membaca surat atau ayat-ayat apa saja yang dimampui, tidak ada surat atau ayat khusus yang diutamakan. Silakan membaca ayat atau surat apa saja. Jumlah rakaatnya minimal dua rakaat dengan satu salam. Jika ingin shalat empat rakaat atau enam atau delapan rakaat, atau bahkan lebih, dengan salam di setiap dua rakaat, maka ini semua baik” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/10014).
Waktu Shalat Dhuha
Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari terbit setinggi tombak (waktu sholat isyroq) hingga mendekati waktu zawal(matahari bergeser ke barat dari puncaknya).
Dan waktu yang paling utama adalah ketika matahari sudah tinggi dan sinar matahari sudah terik. Dari Zaid bin Arqam radhiallahu’anhu:
أنَّه رأى قومًا يُصلُّون من الضُّحى في مسجدِ قُباءٍ، فقال: أمَا لقَدْ علِموا أنَّ الصلاةَ في غيرِ هذه الساعةِ أفضلُ، قال: ((خرَجَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم على أهلِ قُباءٍ، وهم يُصلُّونَ الضُّحى، فقال: صلاةُ الأوَّابِين إذا رَمِضَتِ الفصالُ من الضُّحَى
Zaid bin Arqam melihat sekelompok orang yang sedang melaksanakan shalat Dhuha. Kemudian ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat awwabin hendaknya dikerjakan ketika anak unta merasakan terik matahari” (HR. Muslim no. 748).
Merutinkan Shalat Dhuha
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwa disunnahkan melaksanakan shalat Dhuha terus menerus karena amalan yang paling yang dicintai adalah amalan yang dikerjakan rutin walaupun jumlahnya sedikit.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783).
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa tidak dianjurkan melakukan shalat Dhuha secara rutin agar tidak sama dengan shalat wajib. Ada pendapat dari Ibnu Mas’ud dan selainnya mengenai hal ini. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:222/223.
Pendapat yang tepat, shalat Dhuha masih boleh dilakukan setiap hari karena ada dalil yang memerintahkan melakukan sedekah dengan seluruh persendian setiap harinya, hal itu bisa dicukupkan dengan dua rakaat shalat Dhuha. Lihat alasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 289
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم