بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 13 Rabi’ul Akhir 1446 / 16 Oktober 2024.



Kajian Ke-12 | Bab 4: Panduan Mengajar dan Belajar Al-Qur’an.

Hendaklah Seorang Guru bersikap lembut kepada pelajar (Penuntut Ilmu)

Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas bahwa seorang pengajar (guru atau pendakwah) adalah qudwah maka harus menghiasi dirinya dengan sifat dzahir, baik bersikap zuhud, penampilan badan, rambut, rapih dan wangi.

Demikian juga menghiasi dirinya dengan sifat bathin, seperti akhlak yang baik, hati yang bersih, tawadhu, tidak riya, tidak memandang rendah orang lain dan sifat yang baik lainnya.

Sudah seharusnya seorang Pengajar harus bersikap lembut kepada murid yang belajar kepadanya, menyambutnya serta berbuat baik kepadanya sesuai dengan keadaannya.

Kami telah meriwayatkan dari Abi Harun Al-Abdi, ia berkata: Kami mendatangi Said Al-Khudri lalu ia berkata: Selamat datang, wasiat Rasulullah: Sesungguhnya Nabi bersabda: “Sesungguhnya orang-orang mengikuti kalian dan ada orang-orang yang datang kepada kalian belajar ilmu agama. Apabila mereka datang kepada kalian, maka perlakukan mereka dengan baik.” Hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dan lainnya.

Kami mariwayatkan seperti itu dalam musnad Ad-Darimi dari Abi Darda’.

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu: Beliau bernama Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa’labah bin Ubaid bin Al-Abjar Abu Sa’id Al-Khudri. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan hadis sebanyak 1170 buah hadis, dan termasuk urutan ketujuh sahabat periwayat hadis terbanyak.

Kalimat ahlan wa sahlan (أَهْلًا وَسَهْلًا ) dalam bahasa Arab berasal dari kata “ahlun” ( أهْلَ ) yang berarti keluarga dan kata “sahlan” (سَهْلًا ) dari kata “sahlun” (سَهْل ) yang artinya mudah. Jika dua kata tersebut digabung maka memiliki arti “keluarga” dan “mudah. Ahlan wa Sahlan berarti kami menerimamu sebagai bagian dari keluarga kami dengan mudah (tanpa mempersulit urusanmu).

Dari hadits di atas, nasihat Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 bisa diketahui:

1. Lemah lembut.

Hukum asal dalam berdakwah adalah lemah lembut dan kasih sayang. Oleh karena itu para ulama menegaskan bahwa:

الأصل في الدعوة الرفق واللين.

Asal (hukum) berdakwah adalah dengan lemah lembut dan keluwesan.”

Seperti pesan Rasulullah ﷺ :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ » [أخرجه مسلم]

“Sesungguhnya kelembutan tidaklah diberikan pada segala urusan melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan ditarik dari tiap urusan kecuali akan menjadikannya buruk“. [HR Muslim no: 2594].

Itulah asal didalam dakwah dan itu juga yang dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Mana yang perlu dilakukan dalam metode mengajar? Keras atau lemah lembut? Ini menjadi perdebatan di kalangan ulama. Dan ini dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing pengajar.

Tetapi, sesuai dengan contoh Rasulullah ﷺ, maka lemah lembut adalah pilihan yang tepat. Allah ta’ala telah menyebutkan dalam salah satu firman -Nya:

 فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah -lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. [al-Imran/3: 159].

Salah satu metode Nabi ﷺ adalah saat berlemah lembut pada sahabat yang berlaku salah. Kita contohkan Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu… Sahabat yang pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya,hingga beliau menampar budaknya.

Pada saat menemui Rasulullah ﷺ, Muawiyah bin Al Hakam Assulami radhiallahu anhu berkata:

Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam lalu ada seseorang yang bersin, maka saya mengatakan ‘Yarhamukallah’. Orang-orang melemparkan pandangan mata mereka melihatku. Saya berkata, ‘Celaka! Mengapa kalian memandangku seperti ini?’

Merekapun memukulkan tangan mereka ke paha mereka. Ketika aku paham bahwa mereka ingin saya diam, (sebenarnya saya kesal kepada mereka) tapi saya pun diam.

Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam selesai shalat, beliau memanggil saya.

Sungguh, – saya rela ayah dan ibu saya sebagai tebusan beliau- saya tidak pernah melihat guru yang lebih baik dari beliau dalam mengajar, sebelum maupun sesudahnya. Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, dan tidak memakiku. Beliau bersabda, “Dalam shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia. Dalam shalat hanyalah takbir, tasbih, dan membaca Al Qur’an.” (HR. Muslim)

Muawiyah bin Al Hakam berasal dari suku Bani Sulaim yang banyak tinggal di daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau saat itu baru masuk Islam.

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menempatkan tiap orang pada tempatnya. Beliau bersikap lemah lembut kepada orang yang tidak tahu hukum. Begitulah dakwah, mengajak manusia kepada agama Allah haruslah dengan penuh kelembutan.”
(Disarikan dari Syarah Bulughul Maram)

Keras tidak boleh, yang boleh adalah sikap tegas karena ingin memperbaiki tabiat, seperti boikot (tahdzir) Nabi ﷺ kepada Ka’ab Ibnu Malik dan tiga orang yang tidak ikut jihad dalam perang tabuk selama 50 hari. Maka bersikaplah lemah lembut dan tegas jika diperlukan tanpa kekerasan.

2. Menyambut Kedatangan Muridnya

Maksudnya hangat dalam sambutan. Senang hati dan penuh dengan kehangatan.

Dari Shafwan bin Assal Al Muradiy ia berkata, “Aku pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau berada di masjid bersandar dengan burdahnya yang berwarna merah, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang untuk mencari ilmu.” Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِطَالِبِ الْعِلْمِ، إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لَتَحُفُّهُ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغُوا السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ مَحَبَّتِهِمْ لِمَا يَطْلُبُ

Selamat datang penuntut ilmu, sesungguhnya penuntut ilmu akan dikelilingi para malaikat dengan sayap-sayapnya, lalu sebagian mereka menaiki sebagian yang lain hingga sampai ke langit dunia karena senang kepada apa yang mereka cari.”

(Al Haitsami dalam Al Majma’ berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir, dan para perawinya adalah perawi kitab Shahih.”)

Kisah lainnya, Baqi bin Makhlad al-Andalusi yang berasal Andalusia Spanyol itu melakukan perjalanan jauh ke timur (Bagdad) dengan berjalan kaki. Tujuannya bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Dia adalah al-Hafidz Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad al-Andalusi. Lahir pada tahun 201 H dan wafat pada 276 H.

Akan tetapi setibanya di Bagdad, ia mendapati guru yang ingin ditemuinya itu dikurung dan dilarang menemui orang (Karena tidak mau mengatakan Al-Qur’an adalah Makhluk). Maka beliau menyamar sebagai pengemis dengan membawa kertas dan pensil untuk mencatat.

Dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, ini pertama kali aku memasuki negeri ini. Aku bukan orang yang dikenali oleh penduduk. Jika engkau mengizinkanku datang menemuimu setiap hari dengan pakaian seorang pengemis dan bersikap selayaknya pengemis, lalu engkau keluar dari rumah ke tempat ini, kemudian engkau menyampaikan satu hadits saja dalam satu hari, cukuplah itu bagiku.

Guru yang ingin ditemuinya itu menjawab, “Aku setuju. Dengan syarat kamu tidak boleh terlihat di halaqah manapun dan tidak juga terlihat bersama para ahli hadits.

“Aku menyetujui syaratmu.” jawabnya…

Demikianlah, kehangatan Imam Ahmad Rahimahullah dalam menyambut tamu yang jauh dalam rangka untuk menuntut ilmu meskipun dalam keadaan diboikot.

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum merupakan teladan yang paling tepat untuk kita jadikan contoh di dalam bersemangat menuntut ilmu. Bagaimana tidak, walaupun mereka disibukkan dengan urusan perdagangan, peperangan, keluarga, atau urusan dunia lainnya, tidak menghalangi mereka untuk tetap menuntut ilmu dan memahami agama Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Salah satu kisah Jabir bin Abdillah di dalam menuntut ilmu adalah kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu melakukan perjalanan untuk mendengarkan satu hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Perjalanan panjang yang sangat menakjubkan. Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadis. Hal ini demi mendengarkan hadis tersebut secara lengkap melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, sang pemilik hadist. Subhanallah…

3. Berbuat baik kepada Muridnya

Hendaknya ia berusaha menyayangi murid dengan hati, memberikan hadiah atau memenuhi hajat yang mampu dilakukannya.

Banyak kisah Masyaikh yang memberikan hadiah kepada murid-muridnya. Inilah yang perlu kita contoh, meskipun nilainya kecil tetapi akan melembutkan hati.

Amanah dalam menyampaikan ilmu, yaitu menyampaikan ilmu dengan jujur dan profesional. Menyebutkan sumber ilmu yang diberikan. Hadits Rasulullah ﷺ banyak yang mengarahkan umat manusia agar beretos kerja yang tinggi dan mengarah kepada profesionalisme sesuai dengan pengarahan dan bimbingan dari al-Qur’an seperti yang disebutkan di atas, diantaranya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبرني والبيهقي)

Dari Aisyah radliyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional”. (HR. Thabrani, No: 891, Baihaqi, No: 334).

Mengajarkan ilmu sebaik mungkin, seperti menjelaskan dengan bahasa yang mudah dan mengulang sesuatu yang penting. Meringkas ilmu dengan mengajarkan ilmu dari yang paling dasar sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing murid.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 79:

وَلَٰكِن كُونُوا۟ رَبَّٰنِيِّۦنَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ ٱلْكِتَٰبَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

Sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhuma menyebutkan:

الرباني: الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره

Alim rabbani adalah seseorang yang selalu mendidik manusia dengan ilmu secara bertahap (mendidik manusia dengan ilmu dari yang bersifat umum/garis besar kemudian ilmu yang lebih terperinci/detail).”

Dan juga, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ، بما يَعْرِفُونَ أتُحِبُّونَ أنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ ورَسولُهُ

Bicaralah kepada orang lain sesuai dengan apa yang mereka pahami. Apakah Engkau ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari no. 127).

Jalanilah perjuangan menunut ilmu dengan bertahap. Dimulai dari kitab-kitab ringkas, kemudian berlanjut ke tahap menengah, lanjut ke tahap yang lebih tinggi, demikian seterusnya. Jalani belajarmu dengan rapi. Jangan terburu-buru ingin belajar pada kitab-kitab yang tebal dan rumit. Karena makanan orang dewasa, bisa menjadi racun bila dimakan anak kecil. Sehari dua hari mungkin si anak bisa bertahan. Tapi di hari-hari berikutnya bisa jadi dia mati karena makanan.

Guru yang sukses adalah guru yang mengajarkan ilmu yang taklid kepada kebenaran, bukan kepada gurunya.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

Beliau mengatakan,

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت

Apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.” (Al-Majmu’ 1/63).

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah

Beliau mengatakan,

لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الثوري ولا الأوزاعي وخذ من حيث أخذوا

Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).

Kita selayaknya tidak mencukupkan diri dengan satu guru saja, karena ilmu itu sangat luas, sampai-sampai ulama berkata, salah satunya adalah Hammad bin Zaid rahimahullah berkata,

إنك لا تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره

sesungguhnya engkau tidak mengetahui kesalahan gurumu sampai engkau berguru dengan yang lain.” [Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi I/414 no.607]

Imam al-Munawi rahimahullah berkata :

Janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat mengambil ilmu“ (Faidhul Qadiir II/545)

Memotivasi Murid dan Mendo’akannya.

Terkadang meskipun salah, kita memotivasi dengan memujinya dan ini akan memotivasi jiwa si murid.

Imam Al-Bukhâri rahimahullah menceritakan kepada kita di antara sebab-sebab beliau menulis kitab shahihnya:

كُنَّا عِنْدَ إِسْحَاقَ بْن رَاهُوَيْه، فَقَالَ: لَوْ جَمَعْتُمْ كِتَابًا مُخْتَصَرًا لِصَحِيْحِ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

”Kami pernah berada bersama Ishaq bin Râhuwaih, lalu beliau berkata (kepada kami para pelajar hadits), ‘Kalau sekiranya kamu mengumpulkan sebuah kitab yang meringkas khusus (hadits-hadits) yang Shahîh saja dari Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”

قَالَ: فَوَقَعَ فِيْ قَلْبِيْ، فَأَخَذْتُ فِيْ جَمْعِ الْجَامِعِ الصَّحِيْحِ

Imam al-Bukhari mengatakan, “Maka perkataan beliau itu meresap ke dalam hatiku, lalu aku mulai mengumpulkan (menulis) al Jâmi’ush Shahîh”.

Beliau rahimahullah juga mengatakan :

لَمْ أُخَرِّجْ فِيْ هَذَا الْكِتَابِ إِلاَّ صَحِيْحًا وَمَا تَرَكْتُ مِنَ الصَّحِيْحِ أَكْثَرُ

Tidak ada satupun hadits yang aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahih, dan hadits Shahîh yang aku tinggalkan (tidak aku masukkan ke dalam kitab ini) masih lebih banyak lagi”.

Demikian juga Imam Adzahabi Rahimahullah yang semua paham sebagai ahli ilmu, ternyata semangatnya membara karena pujian gurunya pada tulisannya, saat belajar beliau “tulisanmu bagus seperti tulisan ahli hadits”.

Do’akan dengan tulus.

Seperti sahabat Abdullah Ibnu Abbas Rahimahullah yang menjadi ahli tafsir para sahabat. Dalam riwayat dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ mendoakan Ibnu Abbas sambil mengusap kepalanya:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّين ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيل

Allahumma Faqqihu fid diin wa ‘allimhut ta’wiil

Ya Allah, Pahamkanlah dia (Ibnu Abbas) dengan agama dan ajarkan kepadanya dalam urusan takwil.

Imam Al-Qaadi ‘Iyaad ibn Musa as-Sabti al-Maghribi al-Maaliki 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 dalam kitabnya Tartibul Madarik mengisahkan ketulusan seorang guru dalam mengajarkan ilmu.

Dikisahkan Abu Ishaq al-Isfarayini seorang ulama dari Afrika. Suatu kali telah sampai kepada kami kisah seorang mualim yang Rabbani, dia umrah sembari thawaf dia memanjakan doa: “Ya Allah ﷻ, siapa saja anak kecil yang sempat saya ajarkan suatu ilmu, jadikanlah semuanya menjadi anak-anak yang shaleh”.

Maka telah keluar dari muridnya ada 90 anak-anak yang menjadi ulama dan orang-orang yang shalih.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd menjelaskan Hendaknya seorang pendidik mengarahkan Anak didiknya sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Karena setiap anak mempunyai potensi yang berbeda-beda.

Demikian, semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk mendidik anak-anak kita sebagai generasi Rabbani. Aamiin.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم