بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 22 Rabi’ul Awal 1446/ 25 September 2024.


Bab 4: Panduan Mengajar dan Belajar Al-Qur’an.

Bagian ini serta dua bagian yang merupakan tujuan penulisan kitab ini. Bagian ini mengandung pembahasan yang panjang dan luas sekali. Saya telah berusaha menyajikan tujuan-tujuannya secara ringkas dalam beberapa fasal supaya mudah diingat dan seterusnya diamalkan, InsyaAllah.

Kajian 8 | 15 Rabi’ul Awal 1446/ 18 September 2024.

📖 Pasal Ke-1: Pertama-tama yang mesti dilakukan oleh guru dan pembaca adalah mengharapkan keridhaan Allah ﷻ.

Hendaknya seseorang belajar ilmu agama bukan untuk mendapatkan tujuan duniawi berupa harta atau ketenaran, kedudukan, keunggulannya di atas orang lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang dan hal-hal semacam itu.

Allah berfirman:

وَمَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِيَعۡبُدُوا اللّٰهَ مُخۡلِصِيۡنَ لَـهُ الدِّيۡنَۙ  حُنَفَآءَ وَيُقِيۡمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤۡتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيۡنُ الۡقَيِّمَةِ ؕ‏ ٥

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah ﷻ dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah 98:5)

Diriwayatkan dalam Shahihain dari Rasulullah ﷺ :

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niat dan setiap orang mendapat balasan dari yang diniatkannya.” Hadits ini termasuk dasar islam.

Perhatikan bahwa pahala amal itu bukan hanya tergantung pada banyaknya amal saja tetapi lebih bergantung pada niat dan keikhlasan seseorang. Amal yang besar bisa jadi kecil karena niat yang kurang ikhlas dan sebaliknya, amal yang kecil jadi besar karena niat yang sangat ikhlas.

Ibnul Mubarak berkata,

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية

Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.” (Al-Jami’ Ulum wal Hikam)

Kami riwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya manusia terpelihara sesuai dengan kadar niatnya.

Dan riwayat yang lainnya: Sesungguhnya manusia diberi balasan menurut kadar niat mereka.

Kami riwayatkan dari Al-Ustadz Abil Qasim Al-Qusyairi, ia berkata: Keikhlasan ialah menuju Allah semata-mata dalam melakukan ketaatan, yaitu ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala tanpa tujuan lain seperti berpura-pura kepada makhluk atau mencari pujian di antara orang banyak atau ingin dipuji oleh manusia atau makna selain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Ia berkata: Boleh dikatakan: Keikhlasan ialah membersihkan perbuatan dari perhatian para makhluk.

Diriwayatkan dari Hudzaifah Al-Mar’asyi: Keikhlasan ialah kesamaan perbuatan hamba dalam lahir batin.

Diriwayatkan dari Dzinnun 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾: Ia berkata: Tiga perkara termasuk tanda keikhlasan: Kesamaan sikap dalam menghadapi pujian dan celaan dari kaum awam, lupa melihat amal di antara amal-amalnya dan menginginkan pahala amal-amalnya di akhirat.

Diriwayatkan dari Al-Fudhail bin Iyadh, ia berkata: Meninggalkan amal demi orang banyak adalah riya’ dan beramal demi orang banyak adalah syirik, sedangkan keikhlasan adalah bila Allah menyelamatkanmu dari keduanya.

Diriwayatkan dari Sahal At-Tustari 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾, ia berkata: Pandangan orang-orang cerdas mengenai penafsiran keikhlasan dan mereka tidak menemukan selain ini ialah bilamana gerak dan diamnya dalam keadaan sendirian maupun di hadapan orang lain adalah bagi Allah Ta’ala saja, tidak ada sesuatu apapun yang mencampurinya, baik nafsu, kainginan maupun dunia.

Diriwayatkan dari As-Sariyyu As-Saqthi 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾, ia berkata: Janganlah engkau mengamalkan sesuatu karena orang banyak dan jangan meninggalkan sesuatu karena mereka, jangan menutupi sesuatu karena mereka dan jangan menyingkap sesuatu karena mereka.

Diriwayatkan dari Al-Quayairi, ia berkata: Kebenaran paling utama ialah kesamaan antara keadaan sendirian dan di hadapan orang lain.

Diriwayatkan dari Al-Harits Al-Muhasibi, ia berkata: Orang yang benar ialah orang yang tidak peduli, walaupun ia keluar dari segala yang ditetapkan dalam hati manusia terhadapnya demi kebaikan hatinya dan tidak suka orang-orang mengetahui kebaikan amalnya sedikit pun dan tidak membenci orang-orang bila mengetahui amalnya buruk.

Karena kebenciannya terhadap hal itu adalah bukti bahwa ia menyukai tambahan di kalangan mereka dan ini bukan akhlak orang-orang yang shiddiq.

Diriwayatkan dari lainnya: Apabila engkau memohon kepada Allah Ta’ala dengan benar, maka Allah memberimu cermin yang di dalamnya engkau bisa melihat segala sesuatu dari keajaiban dunia dan akhirat.

Ada banyak pendapat salaf mengenai hal ini. Saya isyaratkan kepada huruf-huruf ini darinya untuk mengingatkan kepada yang dituju. Saya telah menyebut sejumlah hal disertai syarahnya diawal “Syarhil Muhadzdzab” dan menggabungkan kepadanya adab -adab pengajar dan pelajar, ahli fiqih dan pelajar fiqih yang dibutuhkan oleh pelajar. Wallahu a’lam.
——————–

Kajian 9 | 22 Rabi’ul Awal 1446/ 25 September 2024.

🎞️ Facebook Page Assunnah Qatar 

📖 Pasal Ke-2:

– Hendaknya seseorang tidak memiliki tujuan dengan ilmu yang dimilikinya untuk mencapai kesenangan dunia berupa harta atau ketenaran. Kedudukan, keunggulan atas orang-orang lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang banyak dan hal-hal seperti itu.

– Hendaklah guru tidak mengharapkan dengan pengajarannya itu sesuatu yang diperlukan dari murid-muridnya, baik itu berupa pemberian harta atau pelayanan, meskipun sedikit dan sekalipun berupa hadiah yang seandainya dia tidak mengajarinya membaca Al-Qur’an, tentulah dia tidak diberi hadiah.

Allah ﷻ berfirman:

مَنۡ كَانَ يُرِيۡدُ حَرۡثَ الۡاٰخِرَةِ نَزِدۡ لَهٗ فِىۡ حَرۡثِهٖ​ۚ وَمَنۡ كَانَ يُرِيۡدُ حَرۡثَ الدُّنۡيَا نُؤۡتِهٖ مِنۡهَا وَمَا لَهٗ فِى الۡاٰخِرَةِ مِنۡ نَّصِيۡبٍ‏

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (QS Asy-Syuura 26:20)

Kata كَانَ apabila disambungkan dengan Fi’il mudhari’ maka maknanya isrimror, yaitu terus menerus dicari…

Allah ﷻ juga berfirman:

مَنۡ كَانَ يُرِيۡدُ الۡعَاجِلَةَ عَجَّلۡنَا لَهٗ فِيۡهَا مَا نَشَآءُ لِمَنۡ نُّرِيۡدُ

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. (QS Al-Isra’ ayat 20).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits ini menerangkan bahaya jika orang belajar agama hanya untuk meraih dunia.

Tetapi, jika tujuan utamanya akhirat dan disisi lain masih dapat keuntungan dunia, maka seperti ini diperbolehkan. Dasarnya adalah hadits dari sahabat yang safar yang melakukan ruqyah karena disengat kalajengking dengan upah kambing. Hingga lapor kepada Rasulullah ﷺ dan beliau bersabda:

…خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ

…Ambillah, dan berilah bagian untukku’. (HR Bukhari)

Demikian juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menikahkan sahabatnya dengan wanita, yang sahabatnya ini tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“pergilah dan aku akan menikahkanmu dengan apa yang ada padamu dari Al Qur’an” (HR. Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Diriwayatkan dari Anas dan Hudzaifah dan Ka’ab bin Malik bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa mencari ilmu untuk mendebat orang-orang bodoh atau membanggakan diri kepada para ulama’ atau memalingkan perhatian orang-orang kepadanya, maka biarlah ia menduduki tempat di neraka.” (Hadits riwayat Tirmidzi dari riwayat Ka’ab bin Malik dan ia berkata: maka Allah memasukkannya ke dalam neraka).

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم