بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Daurah Al-Khor Sabtu Pagi – Masjid At-Tauhid
Syarah Riyadhus Shalihin Bab 46 – 7
🎙️ Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
🗓️ Alkhor, 29 Rajab 1445 / 10 Februari 2024
🎞 Lihat di Facebook Page
باب فضل الحب في الله والحث عَلَيهِ وإعلام الرجل من يحبه، أنه يحبه، وماذا يقول لَهُ إِذَا أعلمه
Bab 46. Keutamaan Dan Anjuran Cinta Karena Allah, Orang Yang Mencintai Dan Memberitahukan Cintanya Kepada Orang Yang Dicintai Dan Jawabannya Untuknya Bila Dia Memberitahukannya
📖 Hadits 7:
381 – وعن معاذ – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْتُ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: «قَالَ الله – عز وجل: المُتَحَابُّونَ فِي جَلالِي، لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ». رواه الترمذي، وَقالَ: «حديث حسن صحيح».
381. Dari Mu’az Radhiyallahu’anhu, katanya: “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah ‘Azzawajalla berfirman: “Orang-orang yang saling cinta-mencintai karena keagunganKu, maka mereka itu akan memiliki mimbar-mimbar dari cahaya yang diinginkan pula oleh para nabi dan para syahid -mati dalam peperangan untuk membela agama Allah-.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan shahih.
📝 Syarah Hadits:
Hadits ini menjelaskan tentang keinginan para nabi dan syuhada terhadap Orang-orang yang saling cinta-mencintai karena Allâh ﷻ. Dimana mereka akan memiliki mimbar-mimbar dari cahaya.
Inilah sifat hasad yang diperbolehkan, dinamakan ghibthah. Ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat orang lain hilang.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816].
Sifat hasad yang buruk kelak akan dihilangkan dari penduduk surga dan akan ditambah pada penduduk neraka.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa di hadapan mereka; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (166)
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, ‘Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami’. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya sebagai bentuk penyesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (167)” (QS. Al-Baqarah: 166-167)
Buruknya hasad adalah seakan-akan menuduh Allah ﷻ salah alamat dalam memberikan rezeki kepada seseorang.
Sesungguhnya, di antara tuntutan keimanan adalah seseorang mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang ia cintai untuk dirinya. Keimanan yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mencegahnya dari terjerumus ke dalam lembah kehinaan.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling hasad, dan janganlah kalian saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim, Kitabul Birri wash Shilah, bab no. 7, hadits no. 2559, dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu anhu)
Perbedaan Hasad dan ‘Ain
Perbedaan dari keduanya adalah:
1. Hasad lebih umum dari ‘ain, maka setiap penyebar ‘ain adalah pelaku hasad, dan tidak setiap pelaku hasad adalah penyebar ‘ain.
Maka datang surat Al-Falaq untuk minta perlindungan dari hasad. Agar ain juga masuk di dalamnya karena hasad bersifat umum. Inilah mukjizat Al-Qur’an.
2. Hasad datang dari kebencian dan iri agar nikmatnya hilang. Adapun ‘ain adalah sebabnya kagum. Pelaku ‘ain lebih membahayakan dari pelaku hasad.
3. Hasad dengan ain dampaknya sama. Menyebabkan kemudharatan pada objeknya tetapi berbeda sumbernya. Sumber hasad adalah terbakarnya hati dan melebih-lebihkan kenikmatan kepada objek hasad, sedang sumber ‘ain adalah tatapan mata atau jiwa yang buruk. Bisa tanaman, harta atau bahkan bisa menimpa dirinya sendiri. Berawal dari pandangan mata yang takjub (tidak membutuhkan sihir atau mantra).
4. Pelaku hasad bisa jadi berhasad kepada apa yang belum ia lihat, dan berhasad kepada sesuatu yang diprediksi sebelum terjadi kenyataan, sedangkan pelaku ‘ain tidak manjur ‘ainnya kecuali pada apa yang ia lihat dan benar-benar ada (nyata).
5. Hasad tidak terjadi pada pelakunya atas apa yang tidak disukai agar terkena penyakit, seperti harta dan anaknya. Dan ‘ain terjadi atas apa yang tidak disukai pelaku ‘ain agar terkena penyakit seperti anak dan hartanya.
6. Hasad tidak datang kecuali dari jiwa yang jahat, tetapi ainbisa datang dari orang yang shalih meskipun tidak mengharapkan hilangnya nikmatnya orang lain.
Maka, doakan keberkahan kepada hal apapun dari nikmat diri sendiri atau orang lain, seperti pada hadits berikut:
Dari Abu Umamah bin Sahl, ia berkata:
“Suatu saat ayahku, Sahl bin Hunaif, mandi di Al Kharrar. Ia membuka jubah yang ia pakai, dan ‘Amir bin Rabi’ah ketika itu melihatnya. Dan Sahl adalah seorang yang putih kulitnya serta indah. Maka ‘Amir bin Rabi’ah pun berkata: “Aku tidak pernah melihat kulit indah seperti yang kulihat pada hari ini, bahkan mengalahkan kulit wanita gadis”. Maka Sahl pun sakit seketika di tempat itu dan sakitnya semakin bertambah parah. Hal ini pun dikabarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, “Sahl sedang sakit dan ia tidak bisa berangkat bersamamu, wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam pun menjenguk Sahl, lalu Sahl bercerita kepada Rasulullah tentang apa yang dilakukan ‘Amir bin Rabi’ah. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa seseorang menyakiti saudaranya? Mengapa engkau tidak mendoakan keberkahan? Sesungguhnya penyakit ‘ain itu benar adanya, maka berwudhulah untuknya!”. ‘Amir bin Rabi’ah lalu berwudhu untuk disiramkan air bekas wudhunya ke Sahl. Maka Sahl pun sembuh dan berangkat bersama Rasulullah ﷺ.
(HR. Malik dalam Al-Muwatha’ [2/938] dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [6/149]).
Sehingga Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
وإذا كان العائن يخشى ضرر عينه وإصابتها للمعين، فليدفع شرها بقوله: اللهم بارك عليه
“Orang yang memandang dengan pandangan kagum khawatir bisa menyebabkan ain pada benda yang ia lihat, maka cegahlah keburukan tersebut dengan mengucapkan: Allahumma baarik ‘alaih (Ya Allah berikan keberkahan kepadanya)” (Ath Thibbun Nabawi, 118).
Beberapa contoh dampak penyakit ain:
▪️ Bayi tidak mau menyusui sejak dibesuk, setelah dibacakan rukyah falaq binnas seketika mau menyusui.
▪️Seorang anak yang berpidato dengan sangat bagus, setelah acara selesai, lantas anak itu menjadi bisu. Dicek dokter tidak ada kelainan, setelah dirukyah kembali menjadi normal.
▪️Arab badui takjub tatkala berkunjung ke rumah orang kota. Seketika rumah penuh belatung karena ainnya. Setelah dirukyah, belatung menjadi hilang.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
العين حق، ولو كان شيء سابق القدر سبقته العين
“Ain itu benar-benar ada! Andaikan ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, sungguh ‘ain itu yang bisa” (HR. Muslim no. 2188).
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أكثرُ مَن يموت بعدَ قضاءِ اللهِ وقَدَرِهِ بالعينِ
“Sebab paling banyak yang menyebabkan kematian pada umatku setelah takdir Allah adalah ain” (HR. Al Bazzar dalam Kasyful Astar [3/ 404], dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.1206).
🏷 Cara mengobati penyakit ain:
1. Mandi dari air bekas mandi orang yang menyebabkan ‘ain
Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhum, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
العين حق ولو كان شيء سابق القدر لسبقته العين ، وإذا استغسلتم فاغسلوا
“‘Ain itu benar adanya. Andaikan ada perkara yang bisa mendahului takdir, maka itulah ‘ain. Maka jika kalian mandi, gunakanlah air mandinya itu (untuk memandikan orang yang terkena ‘ain)” (HR. Muslim no. 2188).
2. Mandi dari air bekas wudhu orang yang menyebabkan ‘ain
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Umamah bin Sahl di atas. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan Amir bin Rabi’ah untuk berwudhu dan menyiramkan air wudhunya kepada Sahl yang terkena ‘ain. Dalam riwayat yang lain:
فَأَمَرَ عَامِرًا أَنْ يَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَرُكْبَتَيْهِ وَدَاخِلَةَ إِزَارِهِ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَصُبَّ عَلَيْهِ
“Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan Amir untuk berwudhu. Lalu Amir membasuh wajah dan kedua tangannya hingga sikunya, dan membasuh kedua lututnya dan bagian dalam sarungnya. Lalu Nabi memerintahkannya untuk menyiramkannya kepada Sahl” (HR. An Nasa’i no. 7617, Ibnu Majah no. 3509, Ahmad no. 15980, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
3. Ruqyah syar’iyyah
Ada beberapa cara meruqyah orang yang terkena ‘ain, diantaranya dengan membacakan doa yang ada dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam merasakan sakit, Malaikat Jibril meruqyahnya dengan doa:
باسْمِ اللهِ يُبْرِيكَ، وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ يَشْفِيكَ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إذَا حَسَدَ، وَشَرِّ كُلِّ ذِي عَيْنٍ
/bismillahi yubriik, wa min kulli daa-in yasyfiik, wa min syarri haasidin idza hasad, wa syarri kulli dzii ‘ainin/
(dengan nama Allah yang menyembuhkanmu. Ia menyembuhkanmu dari segala penyakit dan dari keburukan orang yang hasad dan keburukan orang yang menyebabkan ‘ain) (HR. Muslim no.2185).
Atau membaca doa-doa ruqyah dari hadits-hadits shahih yang lainnya, serta ayat-ayat Al Qur’an. Dan semua ayat-ayat Al Qur’an bisa untuk meruqyah.
🏷️ Kandungan Hadits:
1. Penetapan sifat Kalam bagi Allah ﷻ.
2. Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan Allah memiliki kedudukan yang agung dan magam yang mulia di tempat yang disenangi di sisi Rabb alam semesta.
3. Dibolehkan mendambakan (iri) dalam kebaikan yang dimiliki orang lain, dan hal itu tidak dikategorikan sebagu dengki yang tercela.
4. Terkadang, pada diri orang yang lebih rendah keutamaannya terdapat satu sifat yang dinginkan oleh orang yang lebih mulia.
5. Keinginan para Nabi untuk memperoleh kebaikan seperti orang-orang yang saling mencintai karena Allah itu tidak berarti mereka (orang-orang yang saling mencintai) lebih baik daripada para Nabi. Sebab, sebaik-baik makhluk adalah para Nabi.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم