Al Imam Al Hafizh Ibnul Qayyim berkata selepas menjelaskan tentang hasad, sihir,dan ‘ain: “Kejahatan orang yang hasad terhadap yang dihasadi dapat ditolak dengan 10 cara, diantaranya:

  1. Berlindung Kepada Allah Dari Kejahatannya
  2. Bertakwa Kepada Allah
  3. Bersabar Atas Musuhnya
  4. Bertawakkal Kepada Allah
  5. Mengosongkan Hati Dengan Tidak Memikirkannya
  6. Bertaqarrub Dan Mengikhlaskan Diri Untuk Allah
  7. Memurnikan Taubat Untuk Allah
  8. Bersedekah Dan Berbuat Kebajikan Semampunya
  9. Memadamkan Kedengkian Permusuhan Dan Gangguan Orang Dengan Berbuat Baik Kepadanya
  10. Memurnikan Tauhid Untuk Allah

Berikut penjelasannya:

  1. 1. Berlindung Kepada Allah Dari Kejahatannya

    قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ.مِن شَرِّ مَا خَلَقَ.وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ.وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ.وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

    “Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai waktu subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang si­hir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki” (QS. AlFalaq)

    Meminta perlindungan kepada Allah سبحانه و تعالي ser­ta naungan dari-Nya merupakan inti daripada surat ini. Allah Ta’ala Maha Mendengar terha­dap bisikan hamba yang berlindung kepada-Nya, Ia Maha Mengetahui atas apa yang daripadanya si hamba berlindung kepada-Nya.

    Maksud dari kata ‘mendengar’ di sini ialah mendengar sekaligus mengabulkan dan bukan sekedar mendengar. Sebagaimana sabda Nabi:

    سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

    “Allah mendengar (memperkenankan) doa orang yang memuji-Nya.”

    Demikian juga perkataan Al-Khalil (Ibrahim):

    إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاء

    “Sesungguhnya Tuhanku benar-benar mendengar (memperkenankan) doa” (QS. Ibrahim: 39)

    Kadang kala Allah mengaitkan sifat men­dengar dengan sifat mengetahui dan kadang ka­la mengaitkannya dengan sifat melihat. Hal ini sesuai dengan tuntutan keadaan orang yang berlindung kepada-Nya. Tatkala seorang ham­ba minta perlindungan atas musuh yang dia ta­hu bahwa Allah melihatnya dan tahu akan kejahatan dan tipu dayanya, maka Allah mengabar­kan kepada hamba tersebut bahwa Ia mende­ngar permintaannya – yakni memperkenankan­nya — dan Ia tahu akan tipu daya musuhnya, Ia melihat dan mengawasinya, sehingga besarlah harapan si hamba akan perlindungan Allah dan hatinya pun tergerak untuk bermunajat kepa­da-Nya.

    Cobalah anda renungkan kecermatan bahasa Al-Qur’an ketika menyinggung tentang bagai­mana meminta perlindungan dari syaithan yang kita yakini keberadaannya namun tidak kita lihat wujudnya, dengan menggunakan lafazh: السََّمِيعُ العَلِيم yang berarti: ‘Yang Maha Mende­ngar lagi Maha Mengetahui’, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al A’raf dan As Sajdah.

    Namun ketika menyinggung tentang bagai­mana meminta perlindungan dari kejahatan ma­nusia yang terlihat dengan mata, ia mengguna­kan lafazh: السََّمِيعُ البَصِيرُ yang berarti: ‘Yang Ma­ha Mendengar lagi Maha Melihat’, sebagaimana dalam surat Al Mu’min (Ghafir). Allah ber­firman:

    إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِن فِي صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

    “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebat­kan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Ghafir:56).

    Hal ini karena perbuatan manusia adalah perbuatan yang kasat mata, sedangkan ganggu­an syaithan merupakan angan-angan dan bisi­kan yang dicampakkan ke dalam hati manusia, dan ini berkaitan dengan sifat ‘mengetahui’. Maka dalam hal ini Allah memerintahkan un­tuk meminta perlindungan kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Ada­pun untuk sesuatu yang kasat mata dan dapat dengan penglihatan. Allah perintahkan untuk meminta perlindungan kepada Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wallahu a’lam

  2. 2. Bertakwa Kepada Allah

    Yaitu dengan menjaga perintah Allah dan menghindari larangan-Nya. Karena barang-siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah sen­dirilah yang akan menjadi penjaga dan pelin­dungnya, dan Ia tidak akan menyerahkannya kepada selain-Nya.

    Allah berfirman:

    وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُواْ بِهَا وَإِن تَصْبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئاً

    “Dan jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemu-dharatan bagimu.” (QS. Ali Imran: 120)

    Nabi صلي الله عليه وسلم berkata kepada Abdullah bin Abbas :

    “Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Ja­galah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya dihadapanmu.”

    Maka barangsiapa menjaga (perintah dan la­rangan) Allah, maka Allah akan menjaganya dan ia akan mendapati Allah dihadapannya ke mana saja ia menghadap. Jika Allah telah men­jadi pelindung dan penjaganya maka siapa lagi yang ia takuti dan ia cemaskan…?!

  3. 3. Bersabar Atas Musuhnya

    Yaitu dengan berusaha untuk tidak mela­wan atau mengeluhkannya, bahkan tidak terbe­tik sedikitpun di hatinya untuk berusaha mengu­sik musuhnya ini. Karena ia tak akan dapat me­ngalahkan musuh dan orang yang hasad ke­padanya dengan senjata yang lebih ampuh dari pada kesabaran dan tawakkal kepada Allah. Janganlah ia menganggap lama dan besar akan kezhaliman musuhnya, karena setiap kali si mu­suh menzaliminya, kezhaliman tersebut akan menjadi pasukan dan kekuatan bagi orang yang dizalimi yang dengannya orang yang zalim ter­sebut memerangi dirinya sendiri tanpa ia sada­ri. Kezhalimannya ibarat anak panah yang ia lemparkan menuju dirinya sendiri. Seandainya hal ini dapat dilihat oleh orang yang dizalimi itu niscaya ia akan senang dengan kezhaliman ter­sebut. Akan tetapi karena lemahnya penglihat­annya, ia tidak melihat kecuali eksistensi dari kezhaliman tersebut, tanpa mampu melihat akibat dan hasil akhirnya.

    Padahal Allah berfirman:

    وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنصُرَنَّهُ اللَّهُ

    “Dan barangsiapa membalas dengan setimpal penganiayaan yang pernah ia terima kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya” (QS. Al Hajj: 60)

    Bila Allah telah menjamin pertolongan atas­nya padahal ia pernah membalas sebelumnya, maka bagaimana halnya dengan orang yang di­aniaya namun sabar dan tidak membalas sedikitpun…?? Padahal tidak ada dosa yang le­bih disegerakan balasannya dari pada dosa ke-zhaliman dan memutuskan tali silaturahmi.

    Sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah) bahwa jikalau ada sebuah gunung yang berla­ku zhalim terhadap gunung yang lain maka Allah akan menjadikannya hancur berkeping-keping.

  4. 4. Bertawakkal Kepada Allah

    Barangsiapa bertawakkal kepada Allah nis­caya Allah akan mencukupi kebutuhannya. Ta-wakkal merupakan cara paling ampuh bagi se­seorang untuk menolak apa-apa yang tak mam­pu ditolaknya, seperti penganiayaan, kezhaliman dan permusuhan. Tawakkal merupakan cara terampuh untuk itu karena Allah akan mencu­kupinya, dan barangsiapa yang Allah telah mencukupi dan menjadi penjaganya maka tak ada lagi musuh yang berselera kepadanya.

    Orang tersebut tidak akan mendapat gang­guan sedikitpun dari musuhnya kecuali berupa gangguan yang tidak bisa tidak dia harus me­rasakannya, seperti kepanasan, kedinginan, ke­laparan dan dahaga. Adapun gangguan-gang­guan yang dapat menghantarkan orang tersebut kepada keadaan yang diinginkan musuhnya maka hal tersebut tak akan pernah terjadi.

    Adalah berbeda antara gangguan yang se­cara zhahir merupakan gangguan namun haki­katnya merupakan kebaikan atas orang yang diganggu dan penganiayaan atas diri sendiri, dengan gangguan yang betul-betul dapat mele­gakan hati si pengganggu tersebut.

    Sebagian salaf mengatakan: “Allah telah menjadikan bagi setiap perbuatan balasan yang setimpal dari jenisnya, dan Ia menjadikan ba­lasannya tawakkal berupa kecukupan dari-Nya atas orang yang bertawakkal tersebut.”

    Allah berfirman:

    وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

    “Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3)

    Allah tidak mengatakan: “…niscaya Kami akan memberinya pahala ini dan itu,..” sebagai­mana yang Dia sebutkan untuk amal shalih lain­nya, namun Ia menjadikan diri-Nya sendiri yang akan mencukupi hamba-Nya yang berta­wakkal tersebut… Ia sendiri yang akan menjaga dan melindunginya.

    Seandainya seorang hamba bertawakkal ke­pada Allah dengan tawakkal yang sebenar-be­narnya lalu langit dan bumi beserta penghu­ninya bersatu untuk membuat makar atasnya niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya, mencukupi dan menolongnya.

    Mengenai hakikat tawakkal, faedah dan man­faatnya yang besar, serta betapa besarnya hajat seorang hamba akan tawakkal telah kami jelas­kan dalam kitab Al Fathul Qudsy. Di sana kami jelaskan tentang rusaknya pendapat orang yang menjadikan tawakkal termasuk dalam ‘maqaamat’1yang tidak berdasar itu, dan bahwasanya ia merupakan maqam (tingkatan)nya orang awam. Pendapat tersebut telah kami bantah dari berbagai segi dan telah kami jelaskan bah­wa tawakkal merupakan maqam paling mulia yang dicapai oleh orang-orang arif. Makin ting­gi maqam seorang hamba semakin besar pula hajatnya kepada tawakkal, dan tawakkal se­seorang sebanding dengan kadar keimanannya.

    Adapun di sini kami hanya bermaksud men­jelaskan cara-cara untuk menolak kejahatan orang yang hasad (dengki), bahaya sihir dan sihir ‘ain.

    1). Salah satu istilah kaum sufi yang maknanya: tingkatan-tingkatan tertentu yang dapat diraih seorang sufi setahap demi setahap hingga akhirnya ia dapat beribadah tanpa terikat dengan syariat -pent)

  5. 5. Mengosongkan Hati Dengan Tidak Memikirkannya

    Hendaknya seseorang berusaha melupakan­nya setiap kali fikiran tersebut muncul di be­naknya. Jangan sampai ia menggubris dan men­cemaskannya, apalagi sampai menyibukkan ha­ti dengan memikirkan hal itu – yakni kejahatan orang yang hasad, bahaya sihir dan sihir ‘ain.

    Ini merupakan obat paling mujarab dan cara paling ampuh yang dapat menolong se­seorang untuk menolak bahaya-bahaya ter­sebut. Ibarat orang yang dikejar-kejar musuh untuk ditangkap dan disiksa, namun tiba-tiba musuh tersebut diam tidak mengapa-apakannya, keduanya pun tak saling bersentuhan, bah­kan musuh itu pun menyingkir dan tak kuasa mengganggunya.

    Namun jika keduanya bersentuhan dan satu sama lain saling bersinggungan barulah bahaya tersebut terjadi.

    Demikianlah, keadaan ruh (alam fikiran) pun juga seperti itu. Jikalau ruhnya masih terikat dengan fikiran-fikiran tersebut kemudian alam fikiran musuhnya pun bertautan dengan alam fikirannya baik ketika sadar maupun terlelap tanpa berpisah darinya, – padahal inilah sesungguhnya yang dikehendaki oleh yang ha­sad tersebut – maka saat itulah hatinya menjadi gelisah dan merasa bahwa bahaya tersebut se­lalu mengintainya hingga salah satu dari ke­duanya binasa.

    Namun jika ia segera menarik ruh (alam fikirannya dari musuhnya kemudian menjaga­nya dengan tidak memikirkan atau mengingat­nya, bahkan tatkala fikiran tersebut terlintas di benaknya segera ia lupakan lalu ia menyibuk­kan fikirannya dengan hal-hal yang lebih pen­ting dan bermanfaat, niscaya musuh itupun akan tinggal sendirian tanpa lawan sehingga lambat laun ia ‘menerkam’ dirinya sendiri. Karena ke­dengkian (hasad) itu ibarat api, tatkala api ter­sebut tidak lagi mendapati apa yang bisa diba­karnya maka ia akan membakar dirinya sendiri.

    Ini merupakan pintu keluar besar yang ti­dak diberikan kecuali kepada jiwa-jiwa yang mulia dan tinggi. Adapun jiwa pendendam yang hanya ingin melampiaskan dendamnya dan merasa lega dari musuhnya, maka jiwa sema­cam ini jauh dari pintu tersebut.

    Alangkah jauhnya perbedaan antara orang yang arif dan bijak dengan orang semacam ini. Seseorang tidak mungkin dapat mengetahui ka­pasitas dirinya sebelum mencicipi ‘manis’ dan ‘nikmat’nya ujian ini. Seakan ia melihat bahwa siksaan batin yang terbesar ialah dengan sibuk memikirkan musuhnya serta merasa terikat dengannya. Tak ada yang lebih menyiksa hatinya dari pada itu…

    Yang dapat membenarkan hal ini hanyalah jiwa-jiwa yang tenang dan lembut yang telah ridha Allah menjadi wakilnya, dan tahu bahwa pembelaan Allah atasnya adalah lebih baik dari pada pembelaan dirinya sendiri atau orang lain. Ia beriman kepada Allah dan merasa tenang berada bersama-Nya… ia yakin bahwa jaminan Allah itu haq dan janji-Nya adalah benar… tak ada yang lebih menepati janji dari Allah dan tak ada yang lebih benar perkataannya selain Dia.

    Ia sadar bahwa pertolongan Allah atasnya le­bih kuat, mantap, langgeng dan bermanfaat da­ri pada pertolongannya sendiri atau orang lain.

  6. 6. Bertaqarrub Dan Mengikhlaskan Diri Untuk Allah

    Yaitu dengan menjadikan rasa mahabbatullah (cinta kepada Allah), berharap akan ridha-Nya dan inabah (kembali kepada-Nya) senantiasa mengisi hatinya dan menjadi cita-cita yang ber­jalan bersama hatinya sedikit demi sedikit se­hingga dapat mengalahkan pengaruh buruk orang yang hasad kepadanya dan mengikisnya per­lahan-lahan hingga hilang sama sekali.

    Dengan demikian yang tinggal di hatinya hanyalah cita-citanya mendapatkan kecintaan Allah, bertaqarrub kepada-Nya, mencari ridha-Nya, mendapat belas kasih-Nya dan selalu ingat ke­pada-Nya seperti seseorang yang selalu ingat akan kekasihnya yang senantiasa berbuat baik kepadanya. Hatinya dipenuhi kerinduan ke­padanya sehingga tak sekejap pun ia dapat me­lupakannya dan tak akan kosong hatinya dari kecintaannya tersebut

    Jikalau hati telah seperti itu keadaannya, maka bagaimana mungkin ia akan rela mengisi kembali hati dan alam fikirannya dengan me­mikirkan kejahatan orang yang hasad kepada­nya?? Hal itu tak akan pernah terfikirkan ke­cuali oleh hati yang rusak yang tak pernah me­nerima sentuhan mahabbatullah dan Kemuliaan-Nya serta mengharapkan keridhaannya!

    Bahkan ketika sebersit dari fikiran jelek ter­sebut melewati ‘gerbang’ hatinya, seketika itu pula para ‘penjaga gerbang’ tersebut meneriaki­nya: “Hati-hati kamu, jangan coba-coba men­dekati wilayah kekuasaan ‘raja’ kami! Enyahlah kamu ke ‘tempat-tempat penginapan’ yang mau menerima siapa saja yang singgah kepada­nya… kamu tidak ada urusan dengan ‘benteng kerajaan’ yang telah terjaga ketat ini…!”

    Allah berfirman ketika mengisahkan tentang Iblis musuh-Nya yang berkata:

    قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

    “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka” (QS. Shaad: 82 – 83)

    إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ

    Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekua­saan bagimu terhadap mereka, (QS. Hijr: 42)

    Dia pun menjawab:

    إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُم بِهِ مُشْرِكُونَ

    “Sesungguhnya syaithan itu tidak ada kekuasaan baginya atas orang-orang yang beriman dan ber-tawakkal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekua­saan syaithan itu hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” (QS. An Nahl: 99-100).

    Allah berfirman tentang Yusuf Ash Shiddieq

    كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

    “Demikianlah agar Kami memalingkan dari pa­danya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24).

    Alangkah bahagianya orang yang masuk ke dalam ‘benteng’ tersebut, ia telah bertahan da­lam benteng yang kokoh, siapa saja yang berta­han di dalamnya maka ia tidak akan takut dan terlantar, dan musuh pun tak berselera mende­katinya.

    ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

    “Demikianlah karunia Allah, diberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mem­punyai karunia yang besar” (QS. AlJumu’ah : 4). “

  7. 7. Memurnikan Taubat Untuk Allah

    Yaitu dengan mengkhususkan taubat kepa­da Allah atas dosa-dosa yang menyebabkan mu­suh mampu menguasainya. Sebagaimana fir­man Allah:

    وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

    “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS. Asy Syura:30).

    Allah berfirman kepada generasi terbaik, yaitu para sahabat Rasulullah bukan yang lainnya:

    أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَـذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنْفُسِكُمْ

    “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menim­pakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-mu­suhmu (pada peperangan Badar) kamu mengatakan: “Dari manakah datangnya (kekalahan) ini?” Ka­takanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS. Ali Imran:165).

    Tidaklah seorang hamba dapat dikuasai oleh musuhnya kecuali karena dosa yang di­perbuatnya, baik yang dia ketahui maupun yang tidak diketahuinya. Sedangkan dosa-dosa yang tak diketahuinya jauh lebih banyak-dari pada yang ia ketahui. Dosa-dosa yang telah dilupa­kannya pun jauh lebih banyak dari pada dosa-dosa yang masih dia ingat.

    Dalam sebuah doa yang masyhur dise­butkan:

    اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ

    “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku minta ampun kepada-Mu atas apa-apa yang tidak aku ketahui.”(HR. Ahmad dan Lainnya, lihat Shahihul Jami’ 3/233, dan Shahihut Targhrib wat Tarhib oleh Al-Albani 1/19)

    Jadi seorang hamba harus lebih banyak ber-istighfar atas dosa-dosa yang tidak diketahuinya, dibandingkan dosa-dosa yang dia ketahui.

    Salah seorang salaf suatu ketika bertemu de­ngan seorang lelaki kemudian tiba-tiba lelaki itu berkata kasar dan mencaci-makinya. Maka dia pun berkata kepada lelaki tersebut: “Tunggulah sebentar hingga aku masuk ke rumah kemudi­an keluar lagi untuk menemuimu”, maka ia pun masuk ke rumahnya lalu sujud bersimpuh kepada Allah bertaubat dan kembali kepada-Nya. Kemudian ia keluar menemui lelaki tersebut, lelaki itu bertanya: “Apa yang barusan kamu la­kukan?”, maka jawabnya: “Aku bertaubat ke­pada Allah dari dosa yang menjadikanmu da­pat merendahkanku.”

    Insya Allah akan kami jelaskan bahwa di dunia ini sebenarnya tidak ada kejahatan me­lainkan dosa-dosa yang kita perbuat dan se­bagai akibatnya. Maka jika seorang hamba telah selamat dari dosa-dosa ia pun akan selamat da­ri akibat-akibatnya. Oleh karena itu tak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba tatkala ia di­aniaya dan dikuasai musuhnya kecuali taubat nasuha.

    Tanda orang yang bahagia ialah ketika ia mulai melihat dirinya sendiri dan mengoreksi semua dosa dan kekurangannya lalu ia sibuk dengannya membenahi kekurangan tersebut dan memperbanyak taubat, sehingga tak ada lagi peluang baginya untuk memikirkan hal lain. Hatinya tergerak dengan sendirinya untuk bertaubat dan mengoreksi kesalahannya, kemu­dian Allah lah yang kelak akan menolong dan menjaganya serta menolak darinya dan ini ada­lah suatu keharusan.

    Alangkah bahagianya hamba semacam ini, alangkah besar keberkahan yang diterimanya dan alangkah baik pengaruh keberkahan itu pa­da dirinya. Akan tetapi hidayah dan taufik itu hanyalah di tangan Allah, tak ada seorang pun yang dapat menolak pemberian-Nya dan tidak ada yang dapat memberi sesuatu yang ditolak-Nya.

    Tidak setiap orang beruntung mendapatkan taufik untuk bertaubat, dan tidak setiap orang mengenal taubat itu kemudian tergerak hatinya untuk melaksanakannya. Tidak ada pengeta­huan, kehendak dan kemampuan hamba dan tiadalah daya dan upaya melainkan dari Allah.

  8. 8. Bersedekah Dan Berbuat Kebajikan Semampunya

    Sedekah dan kebajikan memiliki kemam­puan yang luar biasa untuk menolak bala, men­cegah sihir ‘ain dan melenyapkan sifat hasad. Cukuplah apa yang dialami oleh umat-umat baik yang terdahulu maupun sekarang menjadi bukti akan hal ini.

    Hampir tidak pernah kita dapati ada orang baik dan dermawan yang dimusuhi, sihir ‘ain, atau didengki orang. Seandainya pun ia menga­laminya maka ia akan hadapi orang tersebut dengan lemah lembut dan uluran tangan se­hingga kebaikan itu pun kembali kepadanya. Orang yang baik dan gemar bersedekah akan berada dalam penjagaan kebaikan dan sede­kahnya, ia akan mendapat ‘perisai’ dari Allah yang akan melindunginya.

    Secara umum, mensyukuri nikmat Allah me­rupakan cara terbaik untuk menjaganya dari se­bab-sebab yang dapat menghilangkannya.

    Di antara sebab yang paling dominan dalam hal ini ialah hasad dan sihir ‘ain. Hal itu dise­babkan karena orang yang hasad hatinya tidak akan puas dan lega hingga ia melihat kenik­matan itu lenyap dari orang yang didengkinya. Ketika itulah ‘rintihan’nya terhenti dan api ke-dengkiannya padam – semoga Allah tidak memadamkannya! .

    Jadi seorang hamba tidak bisa menjaga nik­mat Allah dengan cara yang lebih baik dari pa­da mensyukurinya. Dan tak ada cara yang lebih cepat untuk melenyapkan kenikmatan tersebut selain dengan mempergunakannya untuk ber­maksiat kepada Allah. Itulah kufur nikmat yang dapat menghantarkan pelakunya kepada ke­kafiran.

    Orang yang baik dan dermawan ibarat sese­orang yang memiliki tentara dan pasukan yang siap berperang membelanya sedangkan ia tidur nyenyak di atas kasurnya. Siapa yang memiliki musuh namun tidak punya pasukan maka ia se­perti orang yang hampir saja dikalahkan mu­suhnya, meski kekalahan tersebut terjadi be­lakangan, Wallahul musta’aan.

  9. 9. Memadamkan Kedengkian Permusuhan Dan Gangguan Orang Dengan Berbuat Baik Kepadanya

    Ini merupakan cara yang paling berat bagi hawa nafsu, tak ada yang sanggup melaksana­kannya kecuali orang yang mendapat keberun­tungan yang besar dari Allah; yaitu memadam­kan kedengkian permusuhan dan gangguan orang lain dengan berbuat baik kepadanya. Setiap kali gangguan keburukan permusuhan dan kedengkian itu bertambah, bertambah pula kebaikannya kepada musuhnya. Ia justru semakin iba dan kasihan kepada musuhnya… hatinya pun tergerak untuk menasehatinya.

    Saya rasa Anda sulit mempercayainya apa­lagi mencobanya, maka renungkanlah firman Allah berikut:

    وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.

    “Dan tidaklah, sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah ia menjadi teman yang se­tia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan me­lainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan maka mohonlah perlindungan kepada Allah, se­sungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Me­ngetahui.” (QS. Fushshilat: 34-36).

    أُوْلَئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُم مَّرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَؤُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

    “Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kabaikan, dan sebagian dari apa yang kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.” (QS. Al-Qashash: 54)

    Perhatikanlah, bagaimana Nabi bercerita tentang dirinya tatkala ia dianiaya kaumnya hing­ga berdarah, lalu sembari beliau mengusap da­rah dari tubuhnya beliau berdoa:

    اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَيَعْلَمُونَ

    “Ya Allah ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui!”

    Lihatlah bagaimana beliau mengumpulkan dalam dua kalimat ini empat kebaikan yang de­ngannya beliau menghadapi kejahatan yang be­sar dari kaumnya;

    Pertama: memaafkan mereka,

    Kedua: memintakan ampunan untuk mere­ka,

    Ketiga: memberikan udzur atas mereka bahwa mereka tidak mengetahui, dan

    Keempat: simpati beliau kepada kaumnya dengan menisbatkan mereka kepada dirinya ketika mengatakan: “…ampunilah kaumku”. Seperti layaknya ketika seseorang hendak me­mintakan syafaat untuk orang lain maka ia akan mengatakan kepada orang yang dimintainya: “Ini puteraku atau anak buahku atau sahabat­ku, maka tolonglah dia demiku..”

    Guna melunakkan dan melembutkan hati anda, perhatikanlah sekarang uraian berikut;

    “Ketahuilah bahwa anda memiliki banyak dosa antara anda dengan Allah, anda takut akan siksa-Nya dan berharap akan ampunan magh-firah dan pemberian-Nya. Padahal Allah tidak akan sekedar mengampuni dan memaafkan sa­ja, Dia bahkan akan mencurahkan nikmat-Nya kepada anda, memuliakan anda, dan menda­tangkan kepada anda banyak manfaat dan ke­baikan di luar yang anda bayangkan.

    Jika anda menghendaki cara yang demikian dari Allah ketika Ia ‘membalas’ dosa dan keje­lekan yang anda perbuat, maka alangkah afdhal-nya jika anda melakukan hal yang sama terha­dap hamba-Nya. Kejahatan mereka anda balas dengan kebaikan agar Allah membalas dosa anda dengan cara yang sama, karena sesungguhnya balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan.

    Sebagaimana anda membalas kejahatan orang lain kepada anda, seperti itulah Allah akan ‘membalas’ dosa-dosa anda sebagai balasan yang setimpal.

    Jadi, anda boleh pilih; balas dendam atau maafkan… santuni atau biarkan! Karena barang siapa menyemai benih ia akan menuai hasil, dan sebagaimana anda memperlakukan hamba-hamba Allah demikian pulalah Allah akan memperlakukan anda.

    Barangsiapa mampu menghayati makna di atas dan merenungkan dengan akal fikirannya, niscaya akan ringan baginya untuk berbuat baik terhadap orang yang jahat kepadanya. Apalagi jika di samping itu ia akan mendapatkan perto­longan Allah dan kebersamaan khusus dari-Nya (ma’iyyatullah), sebagaimana yang dikata­kan Nabi kepada orang yang mengeluhkan ten­tang kerabatnya yang senantiasa dia santuni namun mereka berlaku jahat kepadanya, kata beliau:

    وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيْرٌ مَادُمْتَ عَلَي ذَلِكَ

    “Allah akan senantiasa menolong dan bersamamu selama kamu tetap seperti itu.”

    Apalagi di samping itu ia juga akan men­dapat pujian manusia dan mereka akan bersatu memihaknya melawan musuhnya. Karena sia­pa saja yang mendengar tentang orang baik yang menyantuni orang yang jahat kepadanya pasti akan bersimpati kepadanya, membelanya dan mendoakannya… dan ini merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya.

    Dengan kebaikannya ia seakan-akan memiliki bala tentara yang dia tidak mengenal mere­ka, dan mereka pun tak mengenalnya. Mereka siap membelanya tanpa imbalan sedikitpun darinya. Apalagi jika ia tahu bahwa keadaan­nya dengan orang yang hasad dan memusu­hinya tak lepas dari satu diantara dua hal;

    Pertama: Ia dapat menguasai, ‘memperbu-dak’ dan menaklukkan musuhnya dengan ke­baikan. Bahkan musuh itu akan luluh di hada­pannya dan menjadi teman setianya, atau

    Kedua: Ia dapat menjatuhkan mental mu­suhnya bahkan membinasakannya, jika si mu­suh terus-menerus dalam permusuhannya. Ka­rena dengan kebaikan tersebut pada hakikatnya ia telah menimpakan kekalahan yang berlipat ganda kepada musuhnya dari pada kalau ia membalas dendam.

    Siapa yang berani mencoba niscaya akan benar-benar merasakannya…

    Allah lah yang memberi taufik dan perto­longan… di tangan-Nya lah segala kebaikan… tiada Ilah melainkan Dia… kepada-Nya lah kita berharap agar Dia menggerakkan hati kita dan seluruh kaum muslimin untuk mewujudkan­nya dengan karunia dan kemuliaannya.

    Singkatnya, amalan ini memiliki lebih dari seratus manfaat baik duniawi maupun ukhra­wi, insya Allah kami akan menjelaskannya di lain kesempatan.

  10. 10. Memurnikan Tauhid Untuk AllahMemurnikan Tauhid Untuk Allah

    Ini merupakan penghulu dari apa-apa yang kita bahas sebelumnya dan padanya terletak keberhasilan setiap cara, yaitu memurnikan tauhid untuk Allah.

    Kita akan beralih dari berfikir tentang sebab kepada Yang Menyebabkan, yaitu Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

    Perlu diketahui bahwa sebab-sebab tadi ibarat hembusan angin yang bergantung kepada Dzat yang menghembuskannya, Dialah pencipta angin tersebut. Angin tersebut tak akan ber­manfaat atau mencelakakan kecuali atas seizin-Nya.

    Dialah satu-satunya yang menghembuskan angin tersebut kepada siapa saja yang Ia ke­hendaki dari hamba-Nya, dan memalingkannya dari siapa saja yang Ia kehendaki dari mereka. Tiada dzat lain selain-Nya.

    Allah berfirman:

    وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ

    “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tiada yang dapat menghilangkan­nya kecuali Dia, dan jika Allah menghendaki ke­baikan bagi kamu maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya” (QS. Yunus : 107).

    Nabi berkata kepada Abdullah bin Abbas:

    وَاعْلَمُ أَنَّ الأَمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَي أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَئٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَئٍ قَدْكَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُواعَلَيْ أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَئٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَئٍ قَدْكَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ

    “Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini bersatu padu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu niscaya mereka tak akan mampu memberimu man­faat sedikit pun kecuali berupa apa yang telah Allah tentukan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk mencelakaimu niscaya mereka tak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali berupa apa yang telah Allah tentukan atasmu” (H.R. Tirmidzi).

    Tatkala seorang hamba berhasil memurni­kan tauhid untuk Allah maka hatinya akan terbebas dari rasa takut kepada selain-Nya. Mu­suhnya pun menjadi tak seberapa menakutkan baginya dibanding rasa takutnya kepada Allah, bahkan hanya Allah lah yang ditakutinya. Maka Allah pun mengamankannya dari musuhnya hingga lenyaplah segala uneg-uneg dan fikiran yang menghantuinya.

    Rasa takutnya, cintanya, tawakkalnya, inabah-nya dan perbuatannya hanya ia peruntukkan bagi Allah saja.

    Ia sadar bahwa sibuk memikirkan keadaan musuh dan takut kepadanya merupakan sesua­tu yang dapat menodai kemurnian tauhidnya, karena seandainya ia benar-benar memurnikan tauhidnya maka cukuplah hal itu menyibukkan dirinya dari hal lain. Kelak Allah lah yang akan bertugas menjaga dan membelanya karena Allah akan senantiasa menjadi pembela orang-orang yang beriman.

    Jika ia termasuk orang yang beriman maka Allah pasti akan membelanya, dan pembelaan tersebut sesuai dengan kadar keimanannya. Jika imanya sempurna maka ia akan mendapat pem­belaan maksimal dari Allah, dan jika imannya ter­kontaminasi maka pembelaan Allah pun akan mengendur. Begitu pula jika imannya mengala­mi ‘pasang-surut’ maka pembelaan Allah pun akan seperti itu.

    Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf: “Barangsiapa menghadap Allah sepenuh­nya maka Allah pun akan menyambut sepe­nuhnya, dan barangsiapa berpaling dari Allah sepenuhnya maka Allah pun akan berpaling se­penuhnya darinya. Dan barangsiapa sesekali menghadap dan sesekali berpaling maka Allah pun akan seperti itu terhadapnya.”

    Singkatnya, tauhid merupakan benteng Allah yang paling kokoh, siapa saja yang memasuki­nya akan merasa aman.

    Sebagian salaf mengatakan: “Barangsiapa takut kepada Allah maka segala sesuatu akan takut kepadanya, dan barangsiapa tidak takut kepada Allah maka segala sesuatu akan mena­kutkan baginya.”

    Inilah sepuluh cara untuk menolak kejahat­an orang yang hasad, bahaya sihir dan sihir ‘ain. Tak ada cara yang lebih bermanfaat untuk ini melainkan dengan menghadap kepada Allah, tawakkal dan yakin kepada-Nya, serta tidak menyekutukan-Nya dalam rasa takut dengan se­lain-Nya, akan tetapi rasa takutnya hanya ke­pada Allah semata. Demikian juga dengan ti­dak berharap kepada selain Allah namun hanya berharap kepada-Nya.

    Hendaknya ia tidak menggantungkan hati­nya kepada selain-Nya, tidak beristighasah kepada selain-Nya dan tidak berharap kecuali hanya kepada-Nya.

    Ketika hati seseorang mulai bergantung ke­pada selain Allah, berharap dan takut kepada selain-Nya, seketika itulah ia akan dikuasakan’ kepada yang ditakutinya dan menjadi hina di hadapannya. Karena barangsiapa takut kepada selain Allah maka ia akan dikuasakan kepada­nya dan barangsiapa yang berharap sesuatu ke­pada selain Allah ia akan hina dihadapannya dan terhalang dari karunia Allah.

    “Demikianlah sunnatullah (ketetapan) Allah atas hamba-Nya dan kamu tidak akan menda­pati perubahan dalam sunnatullah itu.”