بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
𝕂𝕒𝕛𝕚𝕒𝕟 ℝ𝕒𝕓𝕦 𝕄𝕒𝕝𝕒𝕞
Penceramah: Abu Abdillah Nefri bin ‘Ali bin Muhammad Sa’id, Lc. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Edisi: Rabu, 3 Rabi’ul Akhir 1445 / 18 Oktober 2023
Facebook live: klik di sini
E-Book: Mata Air yang Jernih
IMAN KEPADA KITAB – KITAB
3. Beriman Kepada Al-Qur’an Al-Karim
Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk melihat saudara kita di Palestina, dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling melengkapi. Bangunan tidak akan berdiri kalau salah satu komponennya tidak ada ataupun rusak. Hal itu menggambarkan betapa kokohnya hubungan antara sesama umat islam.
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” [Shahih Muslim No.4684]
🏷️ Para ulama memberi defenisi tentang Al-Qur’an:
“Kalamullah (firman Allah) yang diturunkan dari langit kepada Nabi Muhammad ﷺ penutup para nabi dan rasul, melalui perantaraan Jibril alaihissalam dengan suara dan huruf, sebagai Mu’jizat lafazh dan maknanya, ditulis dalam mushaf, beribadah bagi yang membacanya, mudah dihafal dalam dada, di riwayatkan dengan cara Mutawatir, dimulai dari surat Al-Fatihah, dan di akhiri surat An-Nas”.
Lihat kitab Mabaahist fii ‘Ulumi Al-Quran 1/325, syaikh Manna’ Al-Qattan. Bayaanu Al-Ma’aanii 2/294, karya Abdul Qadir Ali Ghazii. Mausu’ah ‘Uluumi Al-Quran 1/26 karya Abdul Qadir Muhammad Mansur Ad-Da’wah ilaa At-Tamassuk bi Al-Quran 1/11 Dr. Abdurrahim bin Muhammad.
💡 Dalil-dalil definisi di atas:
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS. As-Syu’ara: 192-195)
“Alif laam miim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 1-2)
Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu , Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa saja yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Quran), maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatkan menajdi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, akan tetapi Aliif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf”. (HR. At-Tirmizi (no. 2910).
Diriwayatkan dari Hafs ibnu ‘Inan Al-Hanafi Rahimahullah, bahwa sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata:
“Sungguh rumah yang dibaca Al-Quran didalamnya akan terasa luas bagi penghuninya, dihadiri Malaikat, syaithan akan lari darinya, akan banyak kebaikan. Sebaliknya rumah yang tidak dibaca Al-Quran didalamnya maka akan terasa sempit bagi penghuninya, Malaikat akan lari dari rumahnya, syaithan akan hadir didalamnya, dan sedikit kebaikannya”. (Hadits Mauquf, perkataan Abu Hurairah diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi (w. 255 H) dalam sunannya 4/2085 (no. 3325). Dishahihkan oleh Syaikh Husain Salim Asad Ad-Daarini).
Semoga Allâh ﷻ meridhai sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu, betapa banyak rumah-rumah mewah, harga milyaran, mengundang kekaguman orang yang melihatnya. Namun kemewahan itu membuat bahagia penghuninya. Pertengkaran menjadi perhiasan rumah tangga. Ternyata kemewahan tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan pemiliknya.
Al-Quran yang dibaca didalam rumah membawa keberkahan dan kebaikan bagi penduduk rumah, namun sebagian umat Islam justru meletakkan tulisan ayat kursi disetiap pojok, namun tidak pernah dibaca dan dipelajari. Yang ironisnya justru suara musik dan kemaksiatan didalamnya. Dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Bacalah Al-Quran, karena Al-Quran akan datang pada hari kiamat memberi syafaat bagi sahabatnya”.
“Bacalah surat Al-Baqarah, karena membacanya adalah keberkahan, meninggalkannya penyesalan, dan Al-Batalah tidak mampu menghadapinya”. Berkata Mu’awiyah Radhiyallahu’anhu; telah sampai kepadaku bahwa “Al-Batalah” maksunya tukang sihir”. (HR. Muslim (no. 804).
Al-Quran telah dijamin oleh Allah dengan terjaga lafazh, makna, dan tafsirnya. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr: 9)
Al-Quran terdiri dari 30 juz, 114 surat, dimulai dari surat al Fatihah sampai surat An-Nas. 86 surat Makkiyah, 28 surat Madaniyyah. Siapa saja yang meyakini Al-Quran telah terjadi penambahan atau pengurangan, perkataan makhluk, terjemahan Nabi Muhammad ﷺ , kiasan inspirasi (majaz) utusan-Nya, bahkan mengingkari satu huruf saja Al-Quran maka dia kafir kepada Allâh ﷻ . Al-Quran diriwayatkan secara Mutawatir dan Qat’i (secara pasti) dari generasi ke generasi dan disepakati oleh umat akan hal itu. Tidak ada yang meragukan keabasahan Al-Quran kecuali pengikut hawa.
Kandungan Al-Qur’an
Kandungan Al-Quran secara umum berbicara tentang ‘Aqidah, Tauhid yaitu keimanan kepada Allah k dan ini konsep yang paling banyak, hari berbangkit, padang mahsyar, surga dan neraka. Tentang Adab, seperti konsep muamalah, adab dan akhlaq, juga konsep pemerintahan dan aturan kenegaraan.
Berkata Imam Ibnu Qoyyim rohimahulloh: “Setiap ayat dalam Al-Quran mengandung nilai tauhid, saksi dan mengajak kepada Tauhid. Karena Al-Quran berisi informasi tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan Allah. Itulah Tauhid Al-‘Ilmi Al-Khabari, atau seruan untuk beribadah kepadanya semata tanpa syirik, meninggalkan semua yang disembah selain-Nya, itulah Tauhid Al-Iradi At-Talabi, atau tentang perintah dan larangan, kewajiban taat dalam suruhan dan larangan-Nya, hal itu merupakan hak dan penyempurna Tauhid”. (Madariju As-Salikin, 3/ 417-418 (Maktabah As-Syamilah).
Juga berisi tentang sejarah, kisah Para Nabi dan Rasul sebagai manusia yang mulia dan terbaik, juga kisa-kisah tauladan, kisah umat-umat terdahulu yang membangkang kepada Allâh ﷻ dan Rasul-Nya, untuk dijadikan cerminan dan pelajaran bagi generasi belakangan.
4. Tahapan Kewajiban Seorang Muslim Terhadap Al-Qur’an
Kewajiban setiap muslim kepada Al-Quran adalah setelah beriman bahwa AlQuran Kalaamullah, maka hendaklah ia belajar membacanya dengan mempelajari cara membaca yang benar, tentang makhraj dan ilmu tajwid yang shahih, kemudian berusaha membacanya dengan tartil rutin setiap hari, menghafal ayat-ayat Al-Quran sesuai kemampuan, lebih penting dari itu mempelajari kandungan dan tafsirnya dengan baik dan pemahaman yang benar, karena lafazh dan tafsir al-Quran datang dari Allâh ﷻ, yang diajarkan kepada Nabi ﷺ , tafsir setiap lafazhnya sesuai yang Allah inginkan. Kemudian berusaha mengamalkan dan mendakwahkan kepada manusia.
💡 Membaca Al-Qur’an adalah jalan (wasilah) bukan tujuan. Yaitu untuk memahami kandungannya, yaitu bacaan yang paham dengan maknanya agar mampu mengamalkannya. Allâh ﷻ berfirman:
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. (QS. Shad: 29)
Salah satu musibah terbesar dewasa ini, sedikitnya perhatian umat Islam untuk mempelajari dan memahami Al-Quran. Sebagian para ilmuan akademisi yang bertitel seorang muslim telah meraih sederet gelar Doktor bergengsi dari universitas luar dan dalam negeri, buku-buku karya manusia mereka baca dan ditamatkan berkali-kali, namun tidak demikian dengan Al-Quran yang suci. Mereka zuhud terhadap Al-Quran dan menyibukkan diri dengan karya manusia, melupakan petunjuk Zat Yang Maha Terpuji.
Yang lebih menyedihkan masih banyak generasi Islam yang tidak bisa membaca Al-Quran dengan baik, bagaimana petunjuknya akan bisa diraih. Terlebih dizaman IT dengan fitnah gadget dan alat komunikasi yang super canggih semakin membuat kaum muslimin jatuh pada kelalaian kecuali yang diberi taufiq oleh Allâh ﷻ.
وَقَالَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰنَ مَهْجُوْرًا
Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqan: 30)
Bentuk mengacuhkan Al-Quran tidak lagi mau membaca, mendengarkan dan menghafal Al-Quran, tidak mau mempelajari tafsir dan ilmunya, tidak beramal sesuai petunjuknya, tidak membenarkan informasi Al-Quran, tidak mau merenungkan dan memahaminya, melanggar aturannya, dan menyibukkan diri dengan musik, sya’ir, cerita-cerita yang tidak bermanfaat, itu semua merupakan bentuk sifat acuh dan meninggalkan Al-Qur’an. (Lihat tafsir Ibnu Katsir).
Berkata seorang ahli ilmu:
Kita telah acuh terhadap Mushaf Al-Quran Sehingga kitapun diuji dengan gadget yang melalaikan
Sungguh sangat menyedihkan jika Al-Quran dijadikan sebagai ajang perlombaan semata, namun perbuatannya justru bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca. Munculnya para qari yang ahli menyenandungkan Al-Quran, disimak oleh dewan juri yang didepannya tersedia secangkir kopi susu dan sebungkus rokok, mangguk-mangguk mendengar tilawah peserta musabaqah, tak jarang diselingi kalimat “Allah, Allah”, tidak kira ayat yang dibaca tentang surga atau laknat dan peringatan azab neraka. Namun ayat-ayat itu tidak memberi pengaruh dalam hati dan perbuatan.
Mempelajari Al-Quran dan memahami maknanya untuk diamalkan adalah ibadah yang agung dan dituntut bagi setiap muslim. Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu’anhu dia berkata: “Suatu kali Rasulullah n keluar sementara kami sedang berada di “As-Suffah” (sebuah tempat di masjid Nabawi), dan beliau bersabda: “Siapa diantara kalian yang mau berangkat pagi-pagi setiap hari ke Buthan atau ke Al-‘Aqiq (pasar tempat jual beli onta dekat Madinah), kemudian kembali dengan membawa dua ekor onta gemuk tanpa berbuat dosa dan memutus hubungan Rahim. Maka kami menjawab: “Setiap kita tentu mau wahai Rasulullah!” Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah salah seorang diantara kalian pergi ke mesjid untuk mempelajari atau membaca dua ayat dari Al-Quran lebih bernilai dari pada dua ekor onta yang gemuk, tiga ayat lebih baik dari pada tiga ekor onta, empat ayat lebih baik dari pada empat ekor onta. Demikian setiap jumlah ayat dinilai lebih baik dari pada nilai setiap ekor onta”. (HR. Muslim (no. 803).
Imam Al-hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata: “Al-Quran diturunkan untuk dipelajari dan diamalkan. Tapi kebanyakan manusia mencukupkan tilawahnya sebagai amalan”. (Nadhratu An-Na’im fii Makaarimi Akhlaqi Ar-Rasul 3/914, syaikh Shaleh bin Abdillah bin Humaid Imam Khatib Al-Haram).
5. Larangan Berbicara Tentang Al-Qur’an Tanpa Dasar Ilmu
Para ulama sepakat bahwa berbicara tentang Al-Quran dengan akal dan pendapat yang kosong dari bimbingan ilmu maka hukumnya haram. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa saja yang berbicara tentang Al-Quran dengan akal dan pendapatnya, maka hendkalah ia memesan tempat duduknya di neraka”. (HR. An-Nasai dalam Sunan Al-Kubra 7/286 (no. 8031) Syarhu As-Sunnah 1/258 (no. 118), Imam AlBaghawi).
Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid Al-Qosim bin Salam Radhiyallahu’anhu dia berkata; “Bahwa sahabat Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu’anhu ditanya tentang makna Al-Abb dalam firman Allah “Wa Faakihatan wa Abbaa” maka beliau menajwab; “Langit mana yang akan menaungiku, bumi yang akan aku pijak, jika aku berkata tentang Kitabullah yang aku tidak punya Ilmu tentangnya”. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (no. 30103), Mabaahist Fii ‘uluumi Al-Quran 1/363, Syaikh Manna’ bin Khalil Al-Qattan (w. 1420 H).
Dari Imam As-Sya’bi Rahimahullah, dari Masruq Rahimahullah dia berkata: “Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al-Quran), karena sesungguhnya tafsir itu riwayat dari Allah”. (Tafsir Ibnu Katsir 1/13).
Diriwayatkan Imam Al-Laist dari Yahya bin Sa’id ia berkata bahwa Sa’id bin Musayyab Rahimahullah bertitah; “Bahwa beliau tidak berbicara apapun sama sekali kecuali tentang sesuatu yang telah di ketahui ilmunya dari Al-Quran”. (Tafsir Ibnu Katsir 1/12).
Maksud para ulama tidak berbicara tentang tafsir Al-Quran adalah berkata yang tidak didasari ilmu, kaidah dan pengetahuan yang jelas. Jika dasar dan pengambilan ilmu dan tafsirnya diketahui berasal dari kebenaran, maka ini tidak terlarang bahkan para ulama menyampaikan dengan baik, diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka agar manusia mengetahui tentang petujuk dan keagungan Al-Quran. Karena mendiamkan tentang suatu ilmu dan kebenaran hal yang dilarang dalam agama, bersamaan berbicara tanpa ilmu juga dilarang dalam Islam.
6. Metodologi Memahami dan Menafsirkan Al-Qur’an
Al-Quran diriwayatkan secara Mutawatir, terjaga secara lafazh dan makna. Maka wajib difahami dengan kaidah tafsir yang benar. Haram hukumnya memahami AlQuran dengan serampangan, disebabkan dia adalah firman Allâh ﷻ , maka tidak halal berbicara tentang ayat Al-Quran tanpa Ilmu. Al-Quran tidak boleh difahami dengan ijtihad dan pendapat yang kosong dari bimbingan ilmu dan wahyu.
Seperti sahabat Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhuma.
Para sahabat telah menerima dan mempelajari Al-Quran langsung dari lisan dan kehidupan Rasulullah ﷺ , bagaikan mata air yang jernih, yang diserap dari sumber dan hulu secara langsung, belum terkontaminasi dengan sampah dan kotoran apapun. Tidak hanya mengetahui ilmu, tapi Para sahabat benar-benar telah mengamalkan petunjuk al-Quran secara langsung dengan sempurna, bagaimana cara beribadah, bermuamalah dan beraqidah yang benar sesuai yang Allah inginkan. Kemudian para Sahabat gmengajarkan dan meriwayatkan apa yang pernah mereka terima dari Rasulullah ﷺ kepada para Tab’in, sehingga para ulama berupaya mengumpulkan riwayat-riwayat itu dengan baik didalam kitab-kitab tafsir mereka secara bersanad. Berkata Abu Abdirrahman as-Sulami Rahimahullah;
“Telah menceritakan kepada kami, orang-orang yang membacakan kepada kami AlQuran, dari ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan selain mereka berdua Radhiyallahu’anhuma, bahwasanya para sahabat dahulu bila mereka membaca dan mempelajari 10 ayat AlQuran dari Nabi ﷺ , mereka tidak menambahnya sampai benar-benar mengetahui kandungan ilmu dan amal yang terdapat padanya. Para sahabat g berkata; “Kami belajar al-Quran, ilmu dan amal secara bersamaan”. (Tafsir at-Tabari 1/80, dari Jalan al-Husain bin Waqid dari Al-A’masy. Dinukil dari Syarah Muqaddimah Tafsir Ibnu Taymiyah).
Berkata Sahabat yang mulia Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu berkata; “Dahulu di zaman sahabat, jika ada seorang yang hafal dan faham surat AlBaqarah dan Ali Imran, maka mereka mulia di mata kami”. (Al-Muharrar Al-Wajiz fii Tafsir Al-Quranil ‘Aziz, 5/379 Abdul Haq Ibnu ‘Athiyyah (w. 542 H).
Sahabat Anas Radhiyallahu’anhu melanjutkan; “Dan sahabat Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu’anhuma menghabiskan waktu 8 tahun untuk menghafal dan mempelajari surat Al-Baqarah”. (Asrar Tartibi al-Quran, 1/17, Imam- As-Suyuthi).
Berkata Imam Mujahid Rahimahullah, “Aku membacakan Al-Quran dihadapan Ibnu ‘Abbas dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir al-Quran, aku berhenti disetiap ayat dan akupun bertanya kepada Abdullah bin Abbas tentang makna dan tafsirnya”. (Tafsir Ibnu Katsir 1/10).
Istinbath: mengambil kesimpulan hukum dari ayat sesuai dengan realita hari ini.
Intinya, Rasulullah ﷺ telah menjelaskan dengan sempurna kandungan tafsir AlQuran kepada para sahabat g dan puncak Tafsir (Ta’wil) sudah selesai di zaman keemasan Islam yaitu di zaman Rasulullah n dan para sahabat. Maka tidak benar perkataan “Tafsir itu relative, hanya Allah yang mengetahui tafsir dan maksud Al-Qur’an”. Ini kalimat Bid’ah dan celaan terhadap Allâh ﷻ, karena seakan menuduh Allâh ﷻ menurunkan firman-Nya dengan bahasa yang tidak di fahami dan tidak mampu menjelaskan keinginan-Nya. Maha suci Allah dari ucapan itu. Jika undangundang raja atau dekrit penguasa suatu negara tidak di fahami oleh rakyat, maka ini celaan untuk penguasanya, walaupun hal itu mustahil dan tidak pernah di dengar. Bagaimana lagi dengan Al-Hakiim Allah Yang Maha Bijaksana.
Cara menafsirkan Al-Qur’an yang terbaik:
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan sahabat. Seperti Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu.
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan tabiin. seperti : Sa’ad bin Juba’ir, Thawus. Mujahid, dan lain-lain.
5. Menafsirkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab.
7. Bentuk penyimpangan dalam Iman kepada Kitab-Kitab dan Al-Qur’an
Tidak meyakini salah satu dari kitab yang pernah Allâh ﷻ turunkan. Merubah rubah isi Al-Kitab dengan menambah atau mengurangi, memalingkan tafsirnya sesuai nafsu dan kepentingan tertentu sebagaimana perbuatan umat-umat terdahulu. Mengatakan Al-Quran makhluk, sebagaimana yang terjadi di zaman Imam Ahmad Rahimahullah ketika ulama mu’tazilah membisikkan ke telinga penguasa Aqidah “Khalqul Quran”. Sehingga pemerintah menjadikan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab negara. Al-Quran Kallamullah, bukan makhluk.
Penyimpangan yang lain terhadap Al-Quran seperti, menafsirkan Al-Quran dengan metoda hermeunetik.
Dari bahasa Yunani Hermeneuein (interpretasi/penafsiran). Istilah ini berkaitan dengan tokoh mitos Hermes (Mercurius) duta dewa Jupiter, yang menyampaikan pesan kepada manusia. Sebuah metodologi penafsiran Bible. Para pendukung faham hermeunetik ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris alaihissalam.
Memahami Al-Quran dengan akal dan hawa nafsu, sebagaimana penafsiran menghalalkan kesyirikan dan maksiat, seperti penafsiran salah satu ayat dalam surat Maryam untuk membolehkan “Ucapan selamat natal” oleh seorang professor hadaahullah, atau disertasi doctoral disalah satu universitas Islam di Indonesia dalam menafsirkan ayat tentang “Milkul Yamin” untuk membolehkan zina atas dasar suka sama suka.
Oleh karenanya, tidak hayal seorang kandidat Doktoral di Indonesia berhasil meraih gelar ke doktorannya dengan “predikat terbaik” yang lolos sidang dihadapan para professor ahli akademis, menghalalkan konsep zina atas dasar ridha dan tidak ada paksaan. Padahal Islam telah sepakat akan keharaman Zina.
Hermeunetik teks-teks agama Barat berawal dari masalah besar dan kontradiktif ajaran agama mereka yang kacau dan tidak memuaskan pemeluknya. Diantara sebab dan pemicunya adalah:
▪️Pertama: Ketidakyakinan para tokoh ilmuan atas validitas keshahihan teks-teks dan aturan sumber agama, karena tidak ada bukti ilmiyah yang menguatkan validitas tersebut.
▪️Kedua: Tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni tidak ada sanad yang mutawatir dalam periwayatan, consensus kesepakatan (Ijma’) dikalangan tokoh-tokoh agama Barat.
▪️Ketiga: Tidak adanya sekelompok manusia atau generasi terpercaya (tsiqqah) yang mampu menghafal teks-teks yang hilang ataupun yang ada.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.