Imam Ibnul Qayyim dalam Kitabal-Fawaa’id menjelaskan syarat untuk mendapatkan pengaruh dan mukjizat Qur’an ada empat:
Pertama, Muatsir Muqtadhin [arab: مؤثر مقتض]: Sumbernya adalah sumber otentik yang mengandung kebenaran.
Kedua, Mahalun Qobil [arab: محل قابل]: Adanya hati yang hidup dan siap menerima petunjuk Qur’an [kelayakan objek yang menerima pengaruh].
Ketiga, Ishghois Sam’i [arab: إصغاء السمع] Pendengarannya Normal [tidak tertutup]. Yaitu terpenuhinya syarat sampainya petunjuk.
Keempat, Syaahidul Qolbi [arab: شاهد القلب] Hadirnya persaksian hati atau tidak adanya ‘dinding’ yang menghalangi sampainya petunjuk tersebut [عدم المانع].
Keseluruhan syarat ini dirangkum secara padat dalam ayat 37 Surah Qaaf. Allah ta’aala berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Pada kata إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ “Inna Fii Dzalika La Dzikra”, “Pada yang demikian itu ada petunjuk”. Dan ini adalah syarat pertama. Bahwa sumber petunjuk itu harus mengandung kebenaran, diturunkan dengan benar, dan bersumber dari Tuhan yang maha Benar. Sebagaimana firman Allah (QS. Asy-Syuara: 192), Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
Sehingga seseorang yang ingin memperoleh petunjuk tidak akan bisa mendapatinya dari kitab-kitab suci yang lain. Yang merupakan kitab suci ‘teks’ yang dianyam dari interaksi sosial, sejarah dan kepentingan politis atau otoritas agamawan seperti dalam agama Nasrani dan Yahudi. Apalagi jika ternyata kitab-kitabnya sudah mengalami penyimpangan dan tidak tidak memiliki metodologi standar tafsir untuk menjaga otentisitas wahyu mereka sendiri.
Demikian juga dalam menuntut ilmu, harus diambil dari Ustadz yang dipercaya. Karena tidak semua orang layak diambil ilmunya. Karena itulah, ulama masa silam tidak sembarangan dalam mencari guru. Mereka sadar bahwa tidak semua orang yang dianggap berilmu, layak untuk diambil ilmunya.
Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata :
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab].
Para ulama juga memahami, dalam mencari sumber ilmu, mereka akan mempertanggung jawabkan hal itu di hadapan Allah ta’ala. Imam As-Syafii pernah mengatakan tentang gurunya, Imam Malik,
رضيت بمالك حجة بيني وبين الله
“Saya ridha imam Malik sebagai hujjah antara aku dengan Allah.”
Karena mencari sumber ilmu tidak lepas dari keterlibatan hawa nafsu. Bisa saja seseorang memilih ulama yang sesuai seleranya, sekalipun dia sadar, pendapat itu jelas bertentangan dengan kebanaran. Anggapan sebagian orang, biar nanti Pak Kyai yang bertanggung jawab di hadapan Allah, saya hanya mengikuti, ini adalah anggapan yang berbahaya. Sekalipun kita mengikuti, tapi kelak di hadapan Allah, masing-masing akan mempertanggung jawabkan amalnya sendiri-sendiri.
Yang kedua لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ “Liman kaana Lahu Qalbun”, “Bagi orang-orang yang mempunyai hati”. Yaitu tempat sampainya petunjuk Qur’an adalah hati yang hidup yang memikirkan Allah, sebagaimana dalam QS. Yaasin: 69-70,
إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ , لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ
Al-Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir. (Yaasin: 69-70)ز
Hati yang mati akan susah untuk menerima kebenaran. Allah ta’aala mencela keadaan orang-orang munafik yang hidup disekitar Nabi dan para sahabat dalam surat Muhammad ayat 24:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Demikianlah kondisi orang-orang JIL yang berKTP Islam, akan tetapi hatinya terkunci dari segala macam hidayah.
Kemudian, أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ Au Alqa as-Sam’a, “Atau yang mengunakan pendengaran” yaitu syarat ketiga. Mengarahkan pendengaran, memfokuskan indera kepada yang diungkapkan al-Qur’an atau guru pada saat ceramah atau khutbah. Menggunakan segala potensi dari akal dan jiwa untuk masuk ke dalam ayat-ayat Qur’an atau ilmu yang dipelajari. Mendalami dan mengumpulkan hati dan pendengaran agar petunjuk al-Qur’an sampai pada jiwa. Karena ini adalah syarat penting yang menjadi standar kelayakan hati agar Qur’an dapat menembuskan mukjizatnya sampai pada jiwa sang pembaca. Jika tidak, maka mukjizat Qur’an akan berlalu begitu saja. Sebagaimana air yang turun ke dalam sebuah botol, namun botol itu digerak-gerakkan, atau justru menghadap ke bawah. Sehingga kesempurnaan pengaruh ilmu diin atau Qur’an akan parsial. Tidak dapat menggerakkan dan mengantar kepada hidayah.
Selanjutnya pernyataan, وَهُوَ شَهِيدٌ Wahuwa Syahiid, “dan dia Menyaksikan”. Maksudnya adalah hadirnya persaksian hati. Ibnu Qutaibah mengatakan tentang ayat ini, maksudnya “mendengarkan kitabullah sedang dia menghadirkan hati, dan pemahaman, tidak lalai dan tidak pula lupa”. Ini adalah syarat keempat yang merupakan isyarat bahwa pengaruh Qur’an hanya akan sampai jika tidak ada penghalang yang membatasi petunjuk tersebut. Dan penghalang itu adalah kelalaian hati berupa kealpaan hati dari mencermati dan memperhatikan pesan-pesan ilahiyah al-Qur’an.
Dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jika keempat syarat ini terpenuhi, yaitu:
– (Hashala al-Mua’tsir wahuwa al-Qur’an) Kebenaran sumbernya yakni al-Qur’an,
– (Wa mahalla al-Qaabil, wahuwa al-Qalbu al-Hayy), Kelayakan tempat yang dituju oleh pengaruh mukjizat atau hidayah, yaitu bersihnya hati,
– (Wa wujudu as-Syarth, wa Huwa al-isghha’) Terpenuhinya syarat diperolehnya petunjuk tersebut yaitu berfungsinya pendengaran dan hati dengan memahami, mendalami, dan menghayati qur’an,
– (Wantafa’ al-Maani’ wahuwaisytighaal al-Qalb, wa Dzuhuulu ‘an Ma’na al-Khithaab, wa Inshiraafu ‘anhu ilaa Syay’in Aakhar) Tidak adanya penghalang sampainya petunjuk tersebut yaitu kesibukan hati dan kaburnya makna pembicaraan, serta berpalingnya hati kepada yang lain,
Maka kata beliau Hashala al-Atsar wahuwa al-intifaa’u wa at-tadzkiir(sampailah pengaruh Qur’an yaitu Manfaat berupa hidayah dan peringatan serta petunjuk.
Ikuti pemaparan kajian bersama Ustadz Ammi Nur Baits Hafidzahullah berikut ini: