—————————————————–

Ringkasan Transkrip Audio:
Minhajul Anbiya fi Tazkiyaun Nufus
Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim, Lc.
—————————————————

Pendahuluan

Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tazkiyatun nafsi atau tazkiyatun nufus. Ketahuilah bahwasanya tazkiyatun nafsi atau tazkiyatun nufus memberisihkan jiwa, hati dan batin seseorang, ini merupakan hal yang amat penting, merupakan hal yang menjadi misi para nabi dan misi para rasul ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus mereka ke muka bumi ini. Diantara misi mereka adalah untuk mengajak manusia membersihkan jiwa-jiwa mereka, hati-hati mereka, dari kesyirikan kepada tauhid, dari kemunafikan kepada keikhlasan. Dari kekufuran kepada iman, dari bid’ah kepada sunnah dan seterusnya. Maka dari itu banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang tazkiyatun nufus, bahwa misi para rasul alaihimus shalatu was salam, adalah untuk mensucikan jiwa manusia. Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang juga akan dibahas secara panjang lebar pada bab-bab, pada pembicaraan yang akan datang, adalah surah Al-Jumu’ah ayat 2.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS Al-Jumu’ah [62] : 2)

Nah, ayat ini adalah serbagai bukti terkabulnya doa nabiyullah Ibrahim as tatkala dia memohon kepada Allah azza wa jala dengan doanya

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah [2] : 129)

Kemudian ayat berikutnya yang disebutkan dalam Al-Qur’anul Karim tentang mensucikan jiwa yaitu firman Allah dalam surat Al-Imran ayat yang ke 164, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Imran [3] : 164)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala, tatkala menerangkan firman Allah وَيُزَكِّيهِمْ – mensucikan jiwa-jiwa mereka – beliau mengatakan: “Rasul itu memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari kemungkaran, agar menjadi suci jiwa-jiwa mereka, dan agar menjadi bersih dari noda-noda kotoran yang dahulunya mereka tercemar dengan kotoran-kotoran dan noda-noda itu, tatkala mereka dalam keadaan kesyirikan dan kejahilan mereka.”

Ayat yang ketiga, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2] : 151)

Kata Al-Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini beliau mengatakan وَيُزَكِّيكُمْ dan Dia mensucikan diri-diri kamu sekalian – artinya Dia mensucikan kamu dari akhlak-akhlak yang bejat dan dari kotoran-kotoran jiwa, dan pekerjaan atau perbuatan-perbuatan jahiliyah, dan Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.

Inilah diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang pensucian jiwa, pensucian hati yang diutusnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Adapun dari hadits-hadits nabi alaihis shalatu was salam, maka banyak hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang mengajarkan kepada kita tentang pensucian jiwa, pensucian diri. Diantaranya sebuah doa yang diajarkan Rasulullah sallallahu alaihi wassalatu wassalam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tatkala beliau berdoa:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

“Ya Allah berikanlah kepada diriku akan ketakwaannya dan sucikanlah dia Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya Engkaulah yang melindunginya dan yang memeliharanya.” (HR Muslim, Ahmad, An-Nasa’i)

Kemudian banyak diantara doa-doa kita pula untuk mensucikan diri kita yang diajarkan oleh Nabi alaihi shalatu was salam, seperti:

اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّ قَلْبِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَبَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Ya Allah bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dosa-dosaku dari air salju dan embun dan sucikanlah hatiku dari kesalahan-kesalahan sebagaiamana engkau mensucikan pakaian yang putih dari noda. Dan jauhkanlah aku antara aku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau telah menjauhkan jarak antara timur dan barat.” (HR Muslim)

Ini diantara doa-doa yang diajarkan untuk mensucikan diri dari dosa, dari perbuatan-perbuatan yang mengotori jiwa manusia itu. Maka dari itu semua amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang itu akan mensucikan jiwanya. Dan setiap amal kejelekan yang dilakukan oleh seseorang, itu akan merusak jiwanya, akan mengotori hatinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala mensyariatkan ibadah, baik itu shalat, baik itu puasa, baik itu zakat, dan lain-lainnya, semuanya itu dalam upaya untuk mensucikan diri manusia, membersihkan diri mereka. Karena dengan ketaatan-ketaatan itu jiwa seseorang akan menjadi bersih dari kotoran-kotorannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat yang ke 103 tentang zakat, tatkala Allah berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,” (QS At-Taubah [9] : 103)

Kemudian juga hadits yang lain – dalam suatu hadits yang shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: ashalawtul khamsu wal jumuatu ilal jumuati wa Ramadhan ila Ramadhan dst
“Sahalat yang lima (yang wajib) dan dari shalat Jum’at ke Jum’at yang berikutnya, dan dari puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan yang berikutnya (semuanya itu) merupakan penghapus-penghapus dosa yang membersihkan manusia diantara itu semuanya, apabila dosa-dosa besar dijauhi.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menerangkan tentang puasa

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS Al-Baqarah [2] : 183)

Dan taqwa adalah pembersihan jiwa dengan ketaqwaan kepada Allah azza wa jala.

Kemudian dengan memerintahkan kepada seluruh manusia Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2] : 21)

Maka inilah diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang tazkiyatun nufus. Dan bahwasanya Allah telah menciptakan dalam diri seorang manusia dua kekuatan: Kekuatan untuk bertakwa dan kekuatan untuk yang mungkar. Makanya Allah berfirman dalam surat Asy-Syams:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

Jadi manusia mempunyai dua pontensi. Potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi jelek. Tergantung bagaimana manusia itu, dimana tinggalnya, bagaimana lingkungannya, makanan-makanan apa saja yang didapat orang itu, oleh jiwanya, maka semua itu akan membentuk seseorang. Kemudian Allah mengatakan (dalam surat Asy-Syams : 9-10):

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

Beruntung orang-orang yang membersihkan jiwanya, membersihkan dirinya,

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Maka kata para ulama: ‘setiap amal ketaatan itu akan mensucikan diri seseorang, dan setiap kemaksiatan itu akan mengotori jiwa seseorang. Maka barangsiapa yang mengamalkan ketaatan-ketaatan berarti dia telah mensucikan dirinya, dan barangsiapa yang melakukan suatu kemaksiatan berarti dia telah mengotori jiwanya’.

Makna Khutbatul Hajjah

Dalam memulai khutbahnya, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam senantiasa menyampaikan apa yang dikenal dengan Khutbatul Hajjah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahmatullahu alaihi, ketika menerangkan tentang khutbatul hajjah ini beliau mengatakan bahwa khutbatul hajjah adalah merupakan buhul / ikatan yang kokoh bagi keteraturan dalam Islam dan Iman. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena khotbah yang amat penting ini dan banyak dilalaikan oleh kaum Muslimin, Karena khotbah ini mencakup rambu-rambu manhaj Nabi alaihis salatu was salam dalam tiga hal penting, di dalam aqidah, di dalam pensucian jiwa, dan yang ketiga di dalam mengambil sumber Islam ini.

Jadi Khutbatul Hajjah ini mengandung tiga unsur yang sangat penting. Yang pertama berkaitan dengan aqidah, yang kedua berkaitan dengan tazkiyatun nufus, dan yang ketiga berkaitan dengan bagaimana metode kita di dalam mengambil agama ini dan di dalam memahami Islam.

Adapun potongan yang pertama: إنّ الْحَمْدَ ِللهِ Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah نَحْمَدُهُ kami hanya memuji kepada-Nya وَنَسْتَعِينُهُ kami hanya memohon pertolongan kepada-Nya وَنَسْتَغْفِرُهُ dan memohon ampun kepada-Nya, وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kamiوَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعمَالِنَا، keburukan amal-amal kami. مَنْ يَهْدِهِ الله فَلاَ مُضِلَّ لَهْ، Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada orang yang mampu untuk menyesatkannya. وَمَنْ يُضِلَلْ dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, فَلاَ هَادِيَ لَهْ maka tidak ada orang yang memberi petunjuk kepadanya.

Kemudian Nabi mengucapkan kalimat syahadah, yang mana pada kalimat syahadat ini dengan menggunakan dhamir tunggal ‘saya’ : وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهُ إِلاَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ dan aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah, Yang Satu, Yang Maha Esa, tiada seikutu bagi-Nya وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul Allah. Ini adalah manhaj nabi di dalam aqidah.
Jadi kalimat-kalimat yang diucapkan Nabi alaihi shalatu was salam dalam khutbatul hajjah ini adalah tentang aqidah.

Di dalam ketiga ayat yang dibacakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam pada khutbatul hajjah ini berkaitan erat dengan tazkiyatun nufus, bagaimana mensucikan diri, bagaimana mensucikan jiwa, yang mana untuk mensucikan jiwa seseorang itu terletak pada ketakwaannya kepada Allah azza wa jala. Maka Nabi saw pada ayat yang pertama beliau menyebutkan sebuah ayat yang menerangkan hak Allah subhanahu wata’ala yang mana merupakan tujuan utama dari ketakwaan itu adalah kepada Allah. Maka Nabi membacakan ayat ini: يَا أَيُّهَا الَذِيْنَ آَمَنُوا wahai orang-orang yang beriman اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَََاتِهِ bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Ini adalah tujuan dari ketakwaan itu, yaitu Allah subhanahu wata’ala. Karena yang paling patut untuk ditakuti adalah Allah azza wa jalla. Makanya ayat ini Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika membacakan ayat ini, karena ayat ini menerangkan tentang ‘ghaayatut-taqwa’ -tujuan dari semua ketakwaan itu adalah Allah azza wa jalla

Kemudian pada ayat yang kedua, ketika Nabi r membacakan surah An-Nisa ayat pertama: رَبَّكمُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا bertakwalah wahai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Rabb kamu الَّذِيْ خَلَقَكُمyang telah menciptakan kamu مِنَ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ dari jiwa yang satu, dari diri yang satu yaitu Adam alaihis salam وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan dari Adam itu Dia menciptakan pasangannya, yaitu isterinya Hawa, وَبَثَّ مِنْهُمَا رِِجَالاً كَثِيراً وَنِساءً dan Dia menyebarkan dari keduanya –Adam dan Hawa- kaum laki-laki yang banyak dan kaum wanita. Nah disini, ayat ini menerangkan tentang pendorong untuk orang bertakwa. Tatkala dia menyadari bahwa dia diciptakan oleh Allah dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla, dan Allah mengatakan: “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mereka beribadah kepadaku” (QS Adz-Dzariyat : 56). Maka ini merupakan pembangkit seseorang untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla. Karena dia mengetahui bahwa tujuan dia diciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah kepada Allah. Yang mana dengan beribadah kepada Allah berarti seseorang bertakwa kepada Allah azza wa jalla.

Kemudian ayat yang ketiga disini ayat yang dibacakan oleh Nabi saw yaitu surah Al-Ahzab ayat 70 dan 71 menerangkan tentang buah dari ketakwaan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا wahai orang-orang yang beriman اتَّقُوا اللهَ bertakwalah kamu kepada Allah وقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً dan berkata jujurlah kalian, berkata benarlah kalian يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمالَكمْ niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal perbuatan kalian ويَغْفِرْ لَكمْ ذُنوبَكُمْ dan akan mengampuni dosa-dosa kalian ومَن يُطِعِ اللهَ ورَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً dan barangsiapa yang takut kepada Allah dan Rasul-Nya berarti dia telah beruntung atau mencapai kemenangan dengan kemenangan yang besar.

Di dalam ayat ini, yang pertama, buah dari ketakwaan yang disebutkan dalam ayat ini yaitu al-qaulul sadiid وقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً ‘dan berucaplah dengan perkataan yang sadiid’. Dalam menafsirkan qaulun sadiid ini, para ulama menyebutkan artinya ‘at-tauhid’. Inilah al-qaulu sadiid – perkataan yang benar. Tatkala seseorang bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana Allah telah memberikan persaksian dalam dirinya:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Imran [3] : 18)

Ini merupakan al-qaulus-sadid. Bahwa buah dari ketakwaan adalah seseorang mengucapkan perkataan sadid. Tatkala dia bertauhid kepada Allah azza wa jalla yang mana tauhid merupakan kewajiban manusia kepada Allah subhanahu wata’ala.

Kemudian yang kedua, diantara buah ketakwaan adalah tazkiyah an-nafs – pensucian diri, karena orang yang bertakwa kepada Allah azza wa jalla dan dia bertauhid kepada-Nya, maka Allah akan memberikan balasan kepadanya, يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمالَكمْ Allah akan memperbaiki amal-amal perbuatan kalian. Orang yang jujur, orang yang benar, orang yang bertauhid, yang takut kepada Allah azza wa jalla, dia akan mendapat ganjaran berupa Allah memberikan taufik kepadanya untuk memperbaiki amal perbuatannya. Maka dia akan berbuat yang benar, berkata benar, mendengar yang benar, melihat yang benar, melangkah kepada yang benar, dan seterusnya. Kemudian ويَغْفِرْ لَكمْ ذُنوبَكُمْ dan Allah akan mengampuni dosanya. Ini sebagai buah daripada ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Kemudian pada ayat ini pula ada manhaj bagaimana cara menimba ilmu pada ayat yang ketiga ini, yaitu pada firman Allah subhanahu wata’ala: ومَن يُطِعِ اللهَ ورَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزا عَظِيمًا dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya berarti dia telah memperoleh kemenangan dengan kemenangan yang besar. Disini manhaj talaqqi – bagaimana seseorang mengambil ilmu – yaitu dia tidak melihat kepada selain Allah dan Rasul-Nya, dia mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw dengan tidak melihat kepada yang lainnya. Tidak mendahulukan perkataan manusia siapapun, mendahului perkataan Allah dan Nabi saw. Ini buah dari ketakwaan seseorang kepada Allah azza wa jalla.

Adapun yang berkaitan dengan manhaj talaqqi, menimba ilmu Islam dengan sebenarnya, dan bagaimana manhaj kita dalam menimba ilmu, kalau kita lihat pada khutbatul hajjah terdapat pada potongan kalimat-kalimat beliau yang ketiga. Tatkala Nabi saw bersabda: إن أحسن الكلام كلام الله sesungguhnya perkataan yang paling baik adalah kalam Allah وخير الهدا هدا مُحَمَّد صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad r. Ini menunjukkan bahwa sumber pengambilan ilmu yang benar adalah dari Kalamullah dan dari perkataan Rasulullah r, dan itu adalah sebaik-baik perkataan dan sebaik-baik petunjuk yang ada di muka bumi ini.

Kemudian وَشَرُ الأُمُوْرِِ مُحْدَثْاتُهَا dan sejelek-jeleknya urusan yaitu melakukan sesuatu yang baru di dalam agama ini. Oleh karena itu Ahlus Sunnah tidak mengambil aqidah mereka dari ahlul bid’ah, tidak mengambil aqidah mereka dari Asy-‘Ariyah, tidak mengambil aqidah mereka dari Maturidiyah, tidak mengambil aqidah mereka dari Syi’ah, Mu’tazilah dan seterusnya. Karena itu semuanya, di dalam masalah-masalah ini, mereka telah menyimpang dan Sunnah Nabishallallahu alaihi wasallam. Maka Ahlus Sunnah, orang-orang yang mengikuti manhaj Rasul shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya, mereka menjadikan kalamullah sebagai ahsanal kalam –sebaik-baik perkataan, demikian pula mereka menjadikan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai sebaik-baik petunjuk. Maka dari itu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk berpegang kepada Kalamullah dan menjadikan sumber aqidah mereka Kalamullah, dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Az-Zumar ayat yang ke 17 dan 18:

وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِي الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Dengan demikian, bahwasanya perkataan yang terbaik adalah Kalamullah. Maka Allah memberikan berita gembira kepada orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur’anul Karim, kemudian kepada Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang mana Sunnah Nabi adalah bagian dari wahyu -yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, karena Nabi tidak mengucapkan kecuali apa yang diwahyukan oleh Allah azza wa jalla kepada beliau.

Maka barangsiapa yang berpegang teguh kepada Kalamullah dan kalam Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, berarti dia telah diberi petunjuk oleh Allah kepada jalan yang lurus. Kepada jalan yang benar, yang mana mengikutinya merupakan jalan yang terbaik dan bid’ah adalah jalan yang jelek dalam kehidupan ini.

Kemudian penulis, Syaikh Salim bin Id Al-Hilali, menyebutkan – setelah menenrangkan khutbatul hajjah yang terdiri dari tiga unsur utama yang terdapat di dalamnya, beliau kemudian mengupas secara panjang lebar tentang poin yang kedua, yaitu tazkiyatun nufus. Yaitu tiga ayat yang disebutkan dalam khutbatul hajjah yang berkaitan dengan tazkiyaun nufus.

Hal ini akan dibahas secara panjang lebar dengan alasan sebagai berikut:

  1. Karena manhaj Nabi shallallahu alaihi wasallam saw di dalam mensucikan jiwa manusia adalah manhaj seluruh rasul-rasul Allah subhanahu wata’ala. Maka harus dibicarakan, agar umat mengetahui tentang manhaj Nabi di dalam mensucikan jiwa mereka, sehingga tidak perlu mencari manhaj-manhaj lain dalam mensucikan jiwa, manhaj-manhaj tariqoh ini dan tariqoh itu yang terkesan mensucikan jiwa, namun pada hakekatnya mengotori jiwa-jiwa manusia. Jadi hakekatnya mensucikan jiwa manusia itu yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wasallam.
  2. Bahwasanya tazkiyatun nufus, mensucikan jiwa, adalah salah satu diantara tonggak, salah satu diantara rukun bagi diutusnya Nabiyullah Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wasallam. Jadi tazkiyatun nufus, pensucian jiwa, pensucian hati, ini merupakan salah satu rukun diantara rukun-rukun yang sangat penting tatkala Allah mengutus Nabi shallallahu alaihi wasallam. Baik dalam perkataan, baik dalam perbuatan maupun dalam dakwah. 
  3. Pembahasan tentang tazkiyatun nufus ini adalah salah satu diantara fondasi/dasar untuk kita bertolak menuju kepada kehidupan Islami yang baru. Karena melihat kondisi umat yang demikian parahnya, penyakit-penyakit yang menimpa umat ini demikian parahnya, maka kita untuk memulai kehidupan yang Islami sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, maka kita memulai dari bagaimana mensucikan jiwa.

Inilah diantara alasan-alasan yang dikemukakan beliau (Syaikh Salim –ed), tatkala memilih untuk mengkaji tentang tazkiyatun nufus.

Kemudian, mengapa kita harus memilih manhaj Rasul di dalam tazkiyatun nufus, mengapa kita memakai manhaj Nabi shallallahu alaihi wasallam. Hal ini disebabkan karena tatkala kita melihat keadaan kaum Muslimin di zaman ini dengan perbedaan dan perpecahan yang ada pada mereka, maka timbullah manhaj-manhaj, cara-cara masing-masing kelompok di dalam pensucian diri, yang mana cara-cara itu mereka ada-adakan, tidak pernah diturunkan oleh Allah azza wa jalla, dan tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka merupakan suatu hal yang sangat mendorong penulis untuk menyampaikan dan memilih manhaj Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam tazkiyatun nufus, agar kaum Muslimin mengetahui dan mengamalkan dan mengambil cara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Kita ketahui bahwasanya takwa kepada Allah adalah tazkiyatun nufus. Karena orang yang tidak takwa kepada Allah Azza wa Jalla sulit untuk bersih jiwanya, sulit untuk bersih hatinya. Orang-orang yang bisa bersih hatinya, jwanya, adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali berkata bahwa ‘Persamaan antara Takwallah dengan tazkiyatun nufus ibarat sejengkal sama dengan sejengkal yang lain, sehasta sama dengan sehasta yang lain.’

Allah berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,” (QS Asy-Syams {91] :7-8)

Kemudian Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syam {91] : 9-10)

Maka setiap amal ketaatan kepada Allah azza wa jalla yang dilakukan seseorang berarti dia telah mensucikan jiwanya.

Contohnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’la: قَد أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى sungguh telah beruntung ornag-orang yang mensucikan diri mereka… lalu dia mengingat nama tuhannya, nama rabbnya lalu kemudian dia melakukan shalat. Apalagi sebuah hadits yang disebutkan tadi:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Shalat yang lima (waktu), shalat dari Jum’at ke Jum’at, puasa dari Ramadhan ke Ramadhan merupakan penebus dosa-dosa yang berada diantaranya, selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Maktabah Syamila v1.0 2/23 no. 344)

Ini menunjukkan bahwa amalan-amalan kebaikan, amalan-amalan ketaatan yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ini adalah sebagai sarana mensucikan jiwa seseorang yang dengannya dia mendapatkan keuntungan. Demikian sebaliknya bahwa وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا dan telah merugilah orang-orang yang telah mengotori jiwanya. Mengotori dengan kemaksiatan, baik maksiat hati, maksiat pandangan, maksiat pendengaran. Semua kemaksiatan-kemaksiatan itu akan mengotori jiwa seseorang. Sulit untuk bersih selama orang itu bermaksiat. Nah disini firman Allah Allah memberikan pada diri seseorang itu dua kemampuan, untuk ketakwaan dan kemaksiatan. Kemudian Allah menyebutkan قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَاْ Setelah mengilhami manusia dengan ketakwaan dan kefasikan, kemudian Allah menyebutkan beruntunglah orang-orang yang mensucikannya yaitu bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan merugilah orang-orang yang mengotori dirinya, yaitu orang-orang yang berbuat kefasikan, berubat kemaksiatan. Jadi sangat erat hubungannya antara ketakwaan dengan tazkiyatun nufus.

Di dalam surat yang lain, surat An-Najm ayat 32 Allah berfirman: فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ “maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci” – maka janganlah kalian mensucikan diri kalian, artinya kalian mengatakan bahwa kami ini orangorang shalih, jangan! Kemudian apa kata Allah: هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى “karena Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang bertakwa”. Setelah Allah melarang – janganlah kalian mensucikan diri kalian, kalian mengatakan kalian paling shalih, kalian paling taat, jangan, karena Dialah yang paling mengetahui tentang siapa yang bertakwa.

Kemudian juga di dalam surat Al-Lail Allah berfirman:

وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,” (QS Al-Lail : 17-18)

Neraka akan dijauhkan dari orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Siapa orang yang bertakwa itu? Yaitu orang yang mengeluarkan hartanya untuk mensucikan dirinya. Maka disini ada kata ‘atqa – berkaitan dengan takwa. Siapa yang bertakwa itu? Salah satu bentuk ketakwaan tatkala dia mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk membersihkan dirinya. Jadi dengan demikian bahwa ayat-ayat ini membukitakan kepada kita tentang hubungan antara ketawaan dan tazkiyatun nufus. Bahwa takwa itu adalah tazkiyatun nufus, dan tazkiyatun nufus adalah ketakwaan.

Juga Nabi shallallahu alaihi wasallam berdoa: اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ‘Ya Allah Berikanlah pada jiwa ini ketakwaannya, وَزَكِّهَا– dan sucikanlah dia. Yaitu dengan ketakwaan tadi. Setelah Allah memberikan ketakwaan, Allah mensucikan, ini permintaan beliau shallallahu alaihi wasallam. Karena kalau jiwa itu takwa kepada Allah – أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا – sesungguhnya engkau sebaik-baik yang mensucikannya. أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا –Engkau pemelihara dan pelindungnya.(HR Muslim dari Zaid bin Arqam, Maktabah Syamilah v1.0 13/251 no. 4899).

Pensucian jiwa manusia merupakan salah satu diantara rukun diutusnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Hal ini disebutkan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafizahullahu ta’ala bahwasanya pensucian diri manusia dan pembersihannya dari sifat-sifat yang jelek, dari sifat-sifat yang buruk serta pemurniannya dari noda-noda yang mengotorinya, serta mengangkat jiwa itu kepada akhlak yang mulia dan akhlak yang shaleh ini diantara salah satu dari misi-misi yang disampaikan atau yang dengannya Allah mengutus Nabi alaihis shalatu wassalam. Dimana pada saat itu zaman tersebut telah kosong dari kenabian setelah diangkatnya Nabi Isa alaihis salam maka ada tenggang waktu dimana Allah tidak mengutus seorang rasul kurang lebih 500 tahun. Kemudian Allah mengutus Nabi alaihis shalatu was salam. Yang dengannya, atau dengan perantaraann Nabi ini Allah menurunkan kitab Al-Qur’an, dan melalui dengan beliau pula kita diajarkan sunnah Nabi alaihis shalatu was salam yang suci. Ayat-ayat Al-Qur’an sudah dibacakan pada awal pembukaan pembahasan kita pada hari ini. Diantara firman Allah tersebut adalah surat Al-Baqarah ayat 151:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2] : 151)

Kemudian juga ada surat Al-Imran ayat 164 : -sungguh Allah telah memberikan anugerah, Allah telah memberikan nikmat kepada orang-orang Mukminin – tatkala Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan manusia dengan bahsa mereka, – yang mana nabi itu atau rasul itu membacakan ayat-ayat-Nya – dan mensucikan jiwa-jiwa mereka – dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah – padahal mereka sebelumnya termasuk orang-orang berada dalam kesesatan yang nyata.

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Jadi tujuan atau misi yang dibawa oleh Nab alaihis shalatu was salam adalah untuk mensucikan orang-orang beriman. Kalau kita melihat urutan ini, dimana Allah mengatakan pada dua ayat ini وَيُزَكِّيكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا dalam surat Al-Baqarah : 151, kemudian dalam surat Al-Imran وَيُزَكِّيكُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ .
Juga pada surat Al-Jumu’ah ayat 2: يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ Rasul membacakan kepada mereka ayat-ayat kami dan mensucikan jiwa-jiwa mereka.

Ini membuktikan bahwa Al-Qur’anul Karim adalah kitab yang benar-benar dapat membersikan jiwa seseorang apabila kitab itu dibaca, dibaca, direngungkan maknanya dan diamalkan. Karena pada ayat-ayat ini sebelum mereka disucikan jiwanya, Allah menyebutkan dia (Nabi shallallahu alaihi wasallam) membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membacakan kepada mereka Al-Qur’an, mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an. Kemudian dengan Al-Qur’an itu ajaran tauhid, ajaran-ajaran keimanan dan seterusnya, itu membersihkan jiwa mereka.

Kemudian dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2 Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS Al-Jumu’ah [62] : 2)

Demikian pula dakwah atau misi Nabi alaihis salatu was salam dalam mensucikan jiwa manusia, misi ini pun telah dibawa pula oleh seorang Nabi sebelumnya, yaitu Nabi Ibrahim alaihis shalatu was salam, yaitu tatkala dia berdoa kepada Allah Azza wa Jalla ::

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqara [2] : 127-129)

Disini menunjukkan bahwa wahyu Allah, Al-Qur’an dan Sunnah itulah yang dapat dan mampu mensucikan jiwa manusia, hati manusia, dan inilah ajaran Nabi Ibrahim aalaihis shalatu was salam, dia meminta kepada Allah, agar Allah mengutus seorang rasul yang mengajarkan kepada umatnya kitab Allah dan Sunnah Rasul, kemudian mensucikan jiwa-jiwa mereka. Maka dari itu wahai kaum Muslimin, sesungguhnya pensucian jiwa adalah salah satu diantara tuntunan millah Ibrahim, tuntunan agama Nabi Ibrahim alaihis salam. Dan ini adalah diantara wasiat Nabi Ibrahim untuk membangun ummat yang pasrah dan tunduk kepada Allah Azza wa Jalla. Maka kita harus menerima dan orang yang tidak senang kepada millah Ibrahim adalah orang yang bodoh dan tidak mengerti. Oleh karena itu Allah mengatakan dalam Al-Qur’anul Karim :

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (QS Al-Baqarah [2] : 130)

Kemudian selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.”

Kemudian wasiat ini disampaikan Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya:

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.”

Ini diantara dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim bahwasanya salah satu misi yang dibawa oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika dia diutus oleh Allah Azza wa Jalla adalah mensucikan jiwa-jiwa manusia, mensucikan jiwa-jiwa orang-orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla.

Adapun dalil-dalil dari Sunnah, diantaranya adalah sabda Nabi alaihis shalatu was salam yang berbicara tentang akhlak, yang merupakan bagian dari tazkiyatun nufus. Diantara sunnah-sunnah Nabi yang menerangkan tentang masalah ini, yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhak yang mulia.”(HR Al-Baihaqi, dalam Sunan Al-Kubra 10/129, dari Abu Hurairah dalam Maktabah Syamilah v1.0)

Dalam riwayat yang lain

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku ditutus untuk menyempurnakan akhlak yang shaleh.“ (HR Ahmad dalam Musnadnya dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 18/137 no. 8595)

Hadits ini dihasankan oleh para ulama, diantaranya Syaikh Albani dan Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali hafizahullahu ta’ala.

Di dalam hadits ini, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhak yang mulia.” Dalam hadits ini merupakan keterangan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwasanya salah satu kepentingan beliau tatkala diutus oleh Allah Azza wa Jalla yaitu untuk menanamkan qawaid, menanamkan tonggak-tonggak, fondasi akhlak yang mulia, dan menyempurnakan agar menjadi akhlak yang shaleh yang mulia dan akhlak yang terpuji. Disini kata Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafizahullahu ta’ala, bahwa hadits ini menunjukkan bahwasanya tazkiyatun nufus – mensucikan jiwa- memiliki peranan yang sangat penting di dalam membentuk sebuah masyarakat yang berada di bawah khilafah ar-rasyidah, yaitu masyarakat tyang berakhlak yang mulia di atas manhaj Nabi alaihis shalatu was salam. Bahwa akhlak yang mulia merupakan bagian daripada kehidupan Islam dan tidak bisa dipisahkan. Tidakkah kita melihat bagaimana akhlaf shalafus shaleh ridwanallahu ajma’in, bagaimana akhlak mereka dalam masyarakat yang dibentuk oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka dari itu apabila ada orang yang memisahkan antara akhlak dengan manhaj, antara akhlak dengan aqidah, ini adalah suatu kesalahan dan kekeliruan. Bahwa manhaj salaf tidak lepas dari akhlak yang mulia. Maka kita lihat, bagaimana akhlak para ulama, bagaimana mereka terhadap orang tua mereka, bagaimana mereka terhadap isteri-isteri mereka, bagaimana mereka terhadap keluarga mereka. Ini semua menunjukkan dengan akhlak yang mulia yang dimiliki oleh salafus shaleh ridhwanallahu ajma’in.

Akhlak yang Mulia dan Tazkiyatun Nufus

Kalau ada orang yang bertanya – pada Syaikh Salim bin Ied al-Hilali – bahwa hadits yang dibawakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ini adalah berkaitan dengan akhlak, maka apa kaitannya dengan tazkiyatun nufus? Kata beliau jawabannya adalah: “Bukankah pensucian diri itu juga terbentuk dari akhlak yang mulia, dan istiqamah diatas akhlak yang mulia ini? Dan berpegang pada akhlak-akhlak yang tinggi dan mulia itu? Bukankah termasuk bagian dari tazkiyatun nufus adalah mengajak manusia untuk berakhlak yang mulia? Dan apabila anda ingin – kata beliau – untuk menambah pengetahuan atau keterangan dalam masalah ini, ketahuilah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah qudwah hasanah, contoh teladan yang telah beliau shallallahu alaihi wasallam berikan kepada umat ini.
Dimana beliau shallallahu alaihi wasallam sebagai contoh yang bergerak di antara manusia dengan akhlaknya yang mulia. Maka Allah Subhahanu wa Ta’ala dalam firman-Nya memuji Nabi shallallahu alaihi wasallam, Allah mentazkiah Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan rekomensasi diantara adab-adab dan akhlaknya. Allah memberikan tazkiyah kepada akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Allah menjadi saksi atas kemuliaan akhlak beliau, makanya Allah berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam [68] : 4)

Banyak ulama yang memberikan penafsiran tentang ayat ini, dan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali bahwa penafsiran yang paling benar dalam menafsirkan ayat ini adalah perkataan Aisyah radhiallahu anha, as-siddiqah binti as-siddiq – seorang yang benar puteri seorang yang benar- tatkala dia ditanya tentang akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka dijawab oleh Aisya radhiallahu anha:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

 

“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an”[HR Ahmad dalam Musnadnya – Maktabah Syamilah v1.0 50/116 no. 23460]

Yaitu apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an diwujudkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam kehidupan sehari-hari. Beliau ibarat Al-Qur’an yang berjalan, artinya apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an ditampakkan dengan amal perbuatan beliau. Ini menunjukkan tentang kemuliaan akhlak dan budi pekerti beliau,

Makna “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an” yaitu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadi seorang yang benar-benar melaksanakan Al-Qur’an, baik pada perintah-perintah Al-Qur’an atau larangan-larangan Al-Qur’an, ini seakan-akan menjadi tabiat bagi beliau shallallahu alaihi wasallam. Maka perintah apapun yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan larangan apapun yang dilarang oleh Allah dalam Al-Qur’an ditinggalkan oleh beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini suatu realita dalam kehidupan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka Allah memberikan kepada beliau semacam perangai yang mana perangai bersumber dari Al-Qur’anul Karim, menjadi tabiat beliau. Apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an menjadi kepribadian Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka dari itu segala pujian yang disebutkan dari akhlak dan moral yang diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam itu selalu baik. Nabi shallallahu alaihi wasallam senantiasa mendapat pujian dalam masalah akhlak beliau, perbuatan serta perangai Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Berkaitan dengan masalah akhlak, ada beberapa hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menerangkan tentang keutamaan akhlak dan bahwasanya akhlak itu tidak terlepas dari iman, tidak terlepas dengan manhaj, tidak terlepas dengan aqidah. Hal ini terbukti dari hadits-hadits yang menggambarkan tentang kemuliaan akhlak dan budi pekerti yang mulia.

Keutamaan-keutamaan akhlak yang mulia:

Keutamaan yang pertama:

Diantara hadits-hadits yang menerangkan tengtng kemuliaan akhlak adalah bahwasanya akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan amalan seseorang di hari kiamat. Jadi antara keuataman-keutamaan akhlak yang merupakan buah dari tazkiyatun nufus. Yang pertama adalah akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan di hari kiamat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dari Abi Hurairah dari Abu Darda radhiallahu anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ

 

“Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang Mu’min pada hari kiamat yang melebihi timbangan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah benci kepada sesuatu yang keji dan ucapan-ucapan yang jelek.” [HR Tirmidzi, Maktabah Syamilah v1.0 7/284 no. 1925 ]

Maka salah satu bentuk akhlak yang mulia adalah dengan berbicara dengan perkataan yang baik dan sopan. Hadits shahih lighairihi (menurut Syaikh.

Hadits ini menunjukkan bahwasanya akhlak yang baik salah satu diantara amal-amal shalih yang besar, yang mana seorang hamba akan mendapatkan pahala yang besar itu pada catatan amalnya di hari kiamat kelak dan tatkala ditimbang amalan-amalan tersebut.

Dan bahwa perkataan yang jelek, perkataan yang kotor, perkataan yang keji itu adalah dibenci Allah subhanahu wa ta’ala. Allah membenci ucapan-ucapan yang kotor dan keji.

Keutamaan yang kedua:

Bahwa akhlak yang mulia adalah salah satu penyebab yang sangat banyak memasukkan seorang hamba ke surga. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah radhiallahu ta’ala anhu, dia berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

 

“Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang apakah yang banyak memasukkan seseorang ke surga? Nabi menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”.”

 

وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

 

Kemudian beliau ditanya tentang apakah yang paling banyak memasukkan seseorang kepada ke neraka. Nabi menjawab: “Mulut dan kemaluan.” [HR Tirmdzi Maktabah Syamilah v1.0 7/286 no. 1927]

Jadi yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka, yaitu orang yang tidak menjaga lisannya dan yang tidak memelihara kemaluannya, tidak memelihara kehormatannya.

Dari hadits ini menunjukkan perintah agar seseorang senantiasa takwa kepada Allah azza wa jalla dan berperangai yang baik, berakhlak yang mulia. Kemudian hadits ini juga menunjukkan larangan, agar kita berhati-hati dalam berbicara, menjaga lisan kita, karena semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah azza wa jalla. Kita menjaga lisan dari ucapan-ucapan kufur, dari ghibah, adu domba (namimah), bersaksi palsu, menuduh orang berzina dengan lisan-lisan ini. Berhati-hatilah dengan semua itu, karena semua itu akan memasukkan seseorang ke dalam neraka. Atau menuduh seorang Muslim dengan sesuatu yang tidak ada padanya, ini termasuk diantara hal-hal yang akan membahayakan seseorang, ancaman bagi dirinya.

Keutamaan yang ketiga

Bahwa akhlak yang mulia adalah penyempurna iman seseorang. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam, dari Abu Hurairah, ia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

 

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantarta kalian adalah orang yang paling baik kepada isterinya.” [HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 4/390 no. 1082]

Banyak sebelum ini kejadian-kejadian yang dahsyat yang kami mengetahui dan mendapat input dari beberapa isteri-isteri orang-orang yang mengaku mereka salafi, dalam manhaj, yang berteriak di atas mimbar-mimbar bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang kepada manhaj salaf, tetapi isteri-isteri mereka menangis karena dipukul, mengeluhkan tentang perbuatan suami-suami mereka terhadap mereka. ini merupakan pelajaran bagi kalian supaya kalian mengetahui, jangan cepat mempercayai seseorang. Kalau kita ingin mengukur orang itu baik atau tidak baik, kita melihat bagaimana orang itu terhadap isterinya. Mudah-mudahan mereka (yang berbuat tidak sepatutunya terhadap isteri-isterinya) kembali bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan menjadi lebih baik.

Jadi hadits ini menunjukkan tentang bahwa iman itu bertingkat-tingkat sampai pada derajat kesempurnaan. Dan yang menyempurnakan iman adalah akhlak yang mulia. Jadi orang Mu’min yang paling sempurna imannya yaitu orang yang paling baik akhlaknya. Yang paling baik budi pekertinya.

Kemudian perlu juga anda memahami apa yang dimaksud dengan akhlak. Seorang berjalan di depan orang tua sambil menunduk sambil ruku’ itu bukan akhlak, karena Islam tidak mengajarkan seseorang untuk ruku’ di hadapan orang lain. Kita berjalan biasa, tegak, kita bisa menggantikan sikap tunduk itu dengan ucapan “permisi”, atau “maaf saya akan lewat”, itu pun suatu tata cara yang baik. Tidak mesti harus tunduk, bahkan ini tidak diperbolehkan. Jadi tidak dibolehkan seorang menunduk, ruku’ kepada orang lain walaupun itu dikatakan kesopanan, etika yang mulia, tidak. Selama bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka etika itu tidak benar, siapapun yang membuat etika itu.

Keutamaan yang keempat

Bahwasanya akhlak yang mulia dapat mengangkat derajat seseorang sama dengan orang yang senantiasa berpuasa dan sholat di malam hari. Hal ini berdasarkan hadits Aiysah radhiallahu anha, ia berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

 

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya seorang Mu’min benar-benar dengan akhlaknya yang mulia akan bisa mencapai derajat orang yang banyak berpuasa dan yang banyak shalat di malam hari.” [HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/420 no. 4165]

Dengan demikian bahwasanya akhlak yang mulia dapat melipatgandakan pahala seseorang, atau pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sehingga mencapai derajat orang-orang senantiasa berpuasa di siang hari dan bangun untuk shalat di malam hari.

Keutamaan yang kelima

Diantara keutamaan-keutamaan akhlak yang mulia, bahwasanya orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi dengan akahlaknya yang mulia. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam dari Abu Umamah Al-Bahiliyyah radhiallahu anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Saya sebagai pemberi jaminan sebuah rumah di sruga yang bawa bagi orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia benar. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dia hanya bercanda. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi mereka yang mulia akhlaknya. [HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/422 no. 4167]

Keutamaan yang keenam

Bahwasanya orang-orang yang berakhlak mulia mereka adalah orang-orang yang paling dekat tempat tinggalnya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam pada hari kiamat nanti di surga kelak, Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ

 

“Sesungguhnya orang yang paling kucintai diantara kamu sekalian dan orang yang paling dekat tempat duduknya dengan tempatku di hari kiamat yaitu orang-orang yang paling baik budi pekertinya di antara kamu sekalian. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kamu sekalian dan orang yang paling jauh tempat duduknya di hari kiamat yaituats-tsarnaruuna, al-mutasyaddiquuna (orang yang paling banyak berbicara). Para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Kami telah mengetahui makna ats-tsarnaruuna[Yakni orang-orang yang katsirul kalam takallufan – banyak berbicara walaupun tidak ada kepentingan (dinukil dari penjelasan al-ustadz)] dan al-mutasyaddiquuna[Yaitu orang yang kadang-kadang berbicara tentang seseorang apa-apa yang tidak ada pada orang itu, melampaui batas kepada seseorang dengan pembicaraannya dan membuat-buat mulutnya ketika berbicara agar orang tertarik dengan pembicaraannya dan seterusnya (dinukil dari penjelasan al-ustadz)] lalu apakah al-mutafaihikun?” Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Yaitu orang-orang yang takabur.” [HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 7/309 no. 1941]

Jadi intinya adalah orang-orang yang paling dekat dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang paling dekat majelisnya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam di hari kiamat kelak adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang paling baik.

Itulah diantara keutamaan akhlak yang mulia yang mana di zaman ini, jangankan orang yang awam yang mungkin tidak mengerti tentang diin, orang-orang yang paham agama yang membawa dakwah salafiyah dab sebagaubta, justru mereka tidak memberikan contoh tentang akhlak yang mulia kepada pengikut mereka. Sehingga banyak diantara manusia yang tadinya mereka senang dan cinta kepada dakwah ini, karena mereka mendapatkan kebenaran dalam dakwah ini, mereka lari dan meninggalkan dakwah ini tatkala melihat akhlak-akhlak segelintir manusia yang demikian bejat dan rusak, yang merusak dakwah ini. Banyak terjadi seperti itu.

Maka dari itu dengan demikian kita telah mengetahui tentang bagaimana akhlak yang mulia itu sangat mempengaruhi dalam tazkiyatun nufus, membersihkan jiwa manusia.

MAKNA TAQWA

Taqwa menurut Bahasa

taqwaSecara langsung, makna taqwa yang menurut istilah atau secara bahasa, taqwa dari kata-kata al-wiqayah (yang bermakna) memelihara (atau menjaga sesuatu). Orang yang bertaqwa yaitu orang yang menjadikan antara dia dan apa yang ditakutinya diberi pembatas. Kalau seseorang taqwa kepada Allah artinya dia menjadikan sesuatu untuk menghalangi dia dari murka Allah subhanahu wa ta’ala, dari azab Allah subhanahu wa ta’ala. Ini hakikatnya, seseorang yang bertaqwa kepada Allah artinya dia menjadikan sesuatu sebagai pelindung antara dia dengan kemurkaan Allah. Bagaimana caranya? Diantaranya adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Ini merupakan ketaqwaan.

Disini disebutkan ketaqwaan seorang hamba kepada Rabb-nya yaitu dengan menjadikan antara dirinya dan antara apa-apa yang dia takuti dari Tuhannya, berupa kemaharan Allah, kemurkaan Allah, sangsi atau azab Allah dia jadikan ada pemisa supaya dia tidak terjerumus pada hal-hal yang ditakutinya, dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah azza wa jalla dan menjauhi kemaksiatan terhadap Allah azza wa jalla.

Pernah suatu ketika Umar bin Khaththab radhiallhu anhu bertanya kepada Ubay bin Ka’ab ra tentang ketaqwaan, apa yang dimaksud taqwa? Maka Kata Ubaid ra: “bukankah anda pernah berjalan di suatu jalan yang berduri? Umar menjawab; “Benar.” Ubaid berkata; “Apa yang anda lakukan (ketika berjalan di atas jalan yang ada durinya)?” Kata Umar; “Aku berhati-hati Ubaiy berkata: “Itulah taqwa.”

Jadi ibarat orang yang berjalan di jalan yang banyak durinya tentunya dia berhati-hati agar tidak terkena duri. Demikianlah ketaqwaan, ibarat dunia ini penuh dengan duri. Kita memiliki tanggungjawab yang banyak, shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, yang merupakan kewajiban-kewajiban, kemudian amar ma’ruf nahi mungkar, kita mempunyai kewajiban kepada isteri, kepada anak-anak, memberi nafkah kepada mereka, kemudian kita juga dibebankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjauhi larangan-larangan-Nya, dari ghibah, menipu, berzina, minum khamr dan lain sebagainya. Nah ini sebuah ibarat duri, maka selalu lah berhati-hati dalam berjalan. Bagaimana dia melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi kehidupan ini memang penuh dengan rambu-rambu dalam perjalanan. Maka seseorang harus pandai-pandai mengetahui dimana saat dia berhenti, dimana saat dia berjalan, dimana saat dia berhati-hati. Semua ini gambaran-gambaran tentang kehidupan.

Jadi apa yang digambarkan oleh Ubaiy bin Ka’ab ra dengan taqwa ini ada dalam gambaran kehidupan kita, dari tugas dan tanggung jawab kita. Apalagi hidup di zaman seperti ini, durinya lebih banyak, kemaksiatan di mana-mana, setiap saat sekarang ini siapa yang melakukan kemaksiatan ada jalannya, dengan mudah mendapatkannya. Rasa malu seakan-akan hilang dan lenyap. Kalau dahulu ada wanita yang hamil di luar pernikahan itu terjadi kiamat kecil di kampung dan demikian malunya anak itu disingkirkan dari kampungnya. Tetapi zaman sekarang seakan-seakan biasa, kecelakaan kecil. Jadi demikian rusaknya zaman ini. Waiyyazubillah. Maka dari itu, kita harus lebih waspada dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.

Taqwa dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Kalimat taqwa yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.

1. Disebutkan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, hafizahullahu ta’ala, bahwa di dalam Al-Qur’anul Karim kalimat taqwa kadang-ladang digandengkan dengan nama Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti dalam firman-Nya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Ma’idah [5] : 96)

Kalimat taqwa ini digandengkan dengan Allah, dikaitkan dengan ketaqwaan kepada Allah.

Juga dalam ayat yang lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah.” (QS Al-Hasyr [59] : 18)

Kemudian pada Surat Al-Baqarah ayat 96 Allah berfirman:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Baqarah [2] : 196)

Kemudian sangat banyak ayat-ayat yang lain yang menernangkan penggunaan kalimat taqwa dalam Al-Qur’anul Karim kadang-kadang dengan menyambung antara taqwa dengan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala, jadi agar kita takut kepada Allah.

Apabila demikian, kalau kata-kata itu disambung dengan nama Allah, takutlah kamu kepada Allah, ini artinya takutlah kamu kepada murka Allah, dan kemarahan-Nya, karena yang paling harus ditakuti yaitu kemurkaan Allah dan kemarahan Allah. Jadi ayat-ayat Al-Qur’an apabila kita diperintakan ‘takutlah (bertaqwalah) kamu kepada Allah’, maka maksudnya kamu kepada murka dan kemarahan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan dari kemurkaan itulah timbulnya azab baik di dunia dan di akhirat. Maka Allah mengatakan dalam surat Al-Imran ayat 28:

وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِ

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Al-Imran [3] : 28)

Mengapa Allah yang paling ditakuti? Karena disebutkan dalam Al-Qur’an:

هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

“(Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS Al-Mudatsir [74] : 56)

Arti ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala adalah sangat pantas untuk ditakuti, dan Dia yang paling dimuliakan dan paling diagungkan dalam hati hamba-hamba-Nya. Sehingga dengan demikian jika seorang menanamkan dalam dirinya bahwa Allah yang paling ditakuti, ini akan mendorong dia untuk menyembak kepada Allah Azza wa Jalla dan taat kepada-Nya. Karena Allah yang memiliki segala sifat-sifat kemuliaan dan kebesaran. Allah mampu berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Dia memiliki kekuatan, Dia memiliki adzab, Apabila seorang berbuat demikian, dia bertaqwa kepada Allah, mengangungkan Allah, maka Allah pasti akan memberikan kepada dirinya ampunan-Nya.

2. Karena diantara yang ditakuti itu adalah kemurkaan Allah, maka dalam Al-Qur’anul Karim, kadang-kadang kata taqwa digandengkan dengan azab (siksa) Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’anul Karim surat Al-Baqarah ayat 24:

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,” (QS Al-BAqarah [2] : 24)

Kemudian dalam surat Al-Imran ayat 131 Allah berfirman:

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”

Kata taqwa digandengkan dengan kata zaman (yakni waktu siksaan tersebut). Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 241:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.;”

Jadi kata taqwa digandengkan dengan zaman atau hari, yaitu hari kiamat. Karena pada hari itu akan berlangsung perhitungan, akan ditampakkan amalan-amalan manusia.

Kemudian dalam surat Al-Baqarah ayat 123 Allah berfirman:

وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا

“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikit pun.”

Jadi dalam Al-Qur’anul Karim kata taqwa yang pertama dikaitkan dengan Allah, yang kedua dengan sangsi (siksa) yang terdiri dari dua, yaitu zaman (waktu), yakni hari kiamat, dan makan (tempat) yakni neraka.

3. Adapun di dalam sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selain dari apa yang disebutkan tadi kata taqwa dihubungkan dengan larangan-larangan), seperti kata taqwa disambung dengan kalimat kezaliman dan sifat pelit dan kikir.

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Takutlah kamu dari berbuat aniaya (zalim) karena berubat zalim itu merupakan kegelapan-kegelapan di hari kiamat.”

Semakin banyak orang melakukan kezaliman, semakin kegelapan yang didapatinya. (lalu kelanjutan hadits di atas)”

وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

“Dan takutlah kamu kepada sifat pelit yang amat sangat, sesungguhnya sifat pelit ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, sifat pelit ini telah membawa mereka untuk menumpahkan darah diantara mereka, dan menjadikan mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah azza wa jalla.” [1]

Kemudian dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam kalimat taqwa dikatikan dengan doa orang-orang yang dizalimi. (Maka) berhati-hati kita mendzalimi orang lain, menuduh seseorang apa yang tidak pernah dilakukannya, inilah kezaliman. Kalau orang tersebut mendoakan yang jelek bagi si penuduh ini maka akan kena cepat atau lambat, meskipun itu orang kafir, atau orang jahat, kalau dia dizalimi dan dia berdoa kepada Allah azza wa jalla maka doanya terkabul.

Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiallau anhu ke Yaman, diantara wasiat beliau kepada Mu’adz:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Takutlah engkau kepada doa orang-oang yang dizalimi, karena antara doa orang yang dizalimi dengan Allah tidak ada pembatas.” [2]

Kemudian kalimat taqwa juga dikaitkan dengan dunia dan berbagai syahwat yang ada dalam dunia ini. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam:

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ

“Takutlah engkau kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada wanita.”[3]

Kemudian kalimat taqwa ini di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam dikaitkan dengan hal-hal yang diharamkan.

اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ

“Takutlah engkau dari hal-hal yang diharamkan. Niscaya engkau akan menjadi hamba yang paling baik ibadahnya. Hal ini karena seorang yang meninggalkan kemaksiatan dia memiliki banyak waktu untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla.”[4]

Kata-kata taqwa dikaitkan dengan syubhat, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat/samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan agamanya dan. kehormatan” [5]

Setelah kita simpulkan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah maka makna taqwa itu adalah kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah Azza wa Jalla, karena mengharapkan pahala di sisi Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dari bimbingan cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau takut dari sangsi Allah. Ini adalah perkataan ini dari Thallab bin Habib radhiallahu anhu.

Dengan demikian apabila seseorang sampai pada derajat ketaqwaan yang sebenarnya, yang hakiki, maka pada saat itu lah orang ini akan terbimbing dalam kehidupannya. Jadi pada hakekatnya makna taqwa ini adalah mendalam. Kalimat ini banyak diucapkan tapi tidak pernah ditafsirkan. Maka dari itu kalimat taqwa itu ibarat sesuatu yang murah. Setiap saat kita dengar dalam ceramah-ceramah, tapi apa makna taqwa kepada Allah? Banyak! taqwa kepada Allah dalam ibadah kita; taqwa kepada Allah dalam tanggung jawab kita, rumah tangga dan anal-anak kita; taqwa kepada Allah dalam tugas-tugas kita, dalam pekerjaan dan amanah-amanah yang diberikan kepada kita. Semuanya ini ada kaitannya dengan ketaqwaan kepada Allah Azza wa Jalla. Apabila seseorang benar-benar taqwa kepada Allah dalam pekerjaannya dalam amanah yang diberikan kepadanya pada tugas dan tanggung jawabnya, maka terciptalah masyarakat yang taqwa kepada Allah yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.

Lalu dimanakah tempat taqwa itu? Tempat taqwa adalah di hati seseorang. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“taqwa itu tempatnya di sini (beliau mengisyaratkan ke dadanya tiga kali).”[6]

taqwa itu tempatnya di hati seseorang. Itulah sebabnya dalam hadits shahih Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan:

وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwasanya di dalam jasad seseorang ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baik pula jasad seluruhnya, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka jasad pun akan rusak semuanya. Ketahuilah itulah dia jatung.”[7]

Itulah dia jantung, yang diartikan dengan hati manusia, tempat beredarnya darah, yang mana ketika seseorang marah maka berdenyut jantungnya. Itulah yang dimaksud ‘qalbun’.

Ketahuilah bahwa aqidah dan manhaj salaf tidak terlepas dari tazkyatun nufus, tidak terlepas dari akhlak dan moral, tidak terlepas dari ketaqwaan kepada Allah Azza wa Jalla.

_________________
Catatan kaki:

[1] (HR Muslim dari Jabir dari Abdullah. Maktabah Syamilah v1.0 12/456 no. 4675)
[2] HR Muslim dari Ibnu Abbas dari Mu’adz bin Jabal, Maktabah Syamilah 1/111 no. 27.
[3] HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu. Maktabah Syamilah v1.0 13/286 no. 4935.
[4] HR Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Maktabah Syamilah v1.0 8/275 no. 2227.
[5] HR Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 8/290 no. 2996.
[6] HR Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 12/426 no. 4650
[7] HR Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 8/290 no. 2996

download-audio

Sumber ringkasan:http://www.khayla.net/